Jagat twitter sedang diramaikan dengan tren nikah di KUA. Saya jadi mengenang pesta pernikahan saya dulu. Di satu sisi, saya nggak mau nikah dengan sederhana dan hanya di KUA. Inginnya nikah mewah dengan baju yang bagus, makanan enak-enak, panggung besar dan mewah, dan sebagainya. Soalnya saya berniat hanya menikah sekali seumur hidup dan ingin tampil cantik di kursi pengantin.
Sebagai anak pertama, ibu saya (saya sebut: Mama) juga maunya pesta besar-besaran. Kalau ayah saya sih terserah saja secukupnya dana. Apalagi waktu itu kan Mama sedang kena kanker. Bahkan, dua bulan sebelum menikah, Mama keburu meninggal dunia.
Baca Juga: Tips Agar Suami Tak Selingkuh
Namun, Mama sudah merencanakan pestanya seperti apa. Baju akad sudah dijahit oleh Mama yang memang punya pekerjaan sampingan sebagai penjahit. Mama juga sudah membuatkan baju-baju untuk para pendamping pengantin. Selebihnya diserahkan kepada adik Mama yang juga berusaha mewujudkan pesta itu. Sedangkan calon suami saya inginnya pesta yang sederhana, karena tabungannya pas-pasan. Padahal, orangtuanya juga menginginkan pesta yang bagus karena anaknya pun anak pertama.
Jadi, masalahnya memang di orangtua. Sesulit apa pun kondisi keuangannya, orangtua menginginkan pernikahan anak itu besar-besaran. Calon mertua laki-laki menyuruh untuk menunda menikah sampai tahun depan supaya bisa mengumpulkan tabungan dulu. Saya yang tidak mau, karena khawatir mengundang fitnah dan gagal nikah. Terlalu lama bertunangan (khitbah) itu bisa membolak-balik hati nantinya. Apalagi sepupu calon suami saya juga mengalami gagal nikah itu setelah bertunangan selama 1,5 tahun.
Akhirnya, dalam kondisi keterbatasan dana, kami menikah dengan pesta yang cukup besar. Pakai prosesi adat Sunda pula. Untuk mewujudkannya, kami menguras tabungan, bahkan sampai berutang. Saya berutang ke tante saya yang memang diamanahkan untuk membantu pesta tersebut. Uang hadiah dari para undangan, hanya bisa untuk membayar dekorasi panggung dan sewa baju pengantin. Iya, mahal sekali memang itu pilihan tante saya. Sampai menyentuh puluhan juta.
Sedangkan kateringnya dibayar oleh tante saya yang kemudian baru dilunasi oleh ayah saya setelah mendapatkan uang. Selesai menikah itu, saya benar-benar sudah tidak punya uang. Tabungan ludes dan tidak ada uang hadiah pula. Yang lebih mengecewakan, banyak orang yang diundang itu tidak datang sehingga kateringnya tersisa. Sedih rasanya lihat makanan dibuang, walaupun sudah dibagikan kepada saudara-saudara juga. Bahkan dibagikan kepada pemulung, satpam, tukang ojek yang lewat depan rumah.
Dari kejadian itulah saya sedikit menyesal sih ya karena menghamburkan uang untuk resepsi. Melihat tren nikah di KUA yang sekarang baru muncul, saya jadi berpikir andai dulu hanya menikah di KUA dan pesta sederhana di rumah dengan mengundang orang yang benar-benar mau datang. Pasti banyak dana yang bisa ditekan dan menjadi tabungan kami. Alhamdullillah, meskipun ada sedikit penyesalan tentang pesta resepsi itu, rumah tangga kami adem ayem dan sudah mencapai kondisi keuangan mapan.
Barangkali ada peran dari sedekah makanan yang kami berikan selepas pesta. Dari amplop undangan pun ada yang memberikan amplop kosong atau uang isi Rp 5000. Anggap saja kami memberikan sedekah makanan, sehingga kondisi ekonomi kami sekarang ini mencapai taraf yang mapan dan rumah tangga juga baik-baik saja.
Jadi diambil sisi positifnya saja. Toh, pesta pernikahan itu kan seharusnya memang bertujuan untuk memberitakan bahwa kami sudah menikah dan mensyukuri pernikahan ini dengan berbagi makanan. Jadi, tidak berpikiran untuk mendapatkan amplop yang banyak.
Namun, nikah di KUA dan pesta sederhana itu solusi yang bagus untuk pasangan dengan dana pas-pasan. Memang sebaiknya jangan memaksakan diri untuk mengadakan pesta besar-besaran jika dananya tidak banyak. Dari pengalaman saya, lebih baik mengundang sedikit orang saja yang hubungannya memang dekat. Jangan mengundang orang satu RW yang bahkan nggak kenal kita. Di kampung-kampung nih, sudah biasa mengundang sampai satu RW, padahal nggak saling kenal.
Saya sendiri dulu waktu masih tinggal di kabupaten Bogor, sering banget dapat undangan dari orang yang nggak saya kenal dan rumahnya jauh dari rumah saya. Rupanya mereka mengundang orang satu desa. Itu kan hanya menghamburkan uang ya. Uang untuk mencetak undangan dan juga memesan makanan. Padahal, yang diundang itu belum tentu datang.
Baca Juga: Syarat Menikah: Bisa Masak dan Gaji 30 Juta Sebulan
Nah, sebaliknya nih, kalau calon pengantin itu sangat mampu untuk mengadakan pesta resepsi yang besar dan mewah, ya kenapa enggak? Apalagi kalau dia orang terkenal dan temannya banyak. Jujur saja, saya sangat senang datang ke pesta pernikahan yang mewah dan makanannya enak-enak. Itu memberikan kebahagiaan untuk para tamu.
Dulu saya pernah datang ke pesta pernikahan teman suami saya yang sangat mewah. Diadakan di hotel bagus dan makanannya juga enak-enak sekelas makanan restoran. Jadi nggak ada salahnya juga kalau memang mampu untuk mengadakan pesta.
Sampai hari ini saya masih ingat dengan pesta pernikahan itu, karena memang nggak lain dari yang lain. Pestanya di hotel mewah, makanannya western dan chinene, serta suvenirnya elegan. Mereka memang mampu mengadakan resepsi tersebut, karena memang orang kaya raya. Jadi di sini intinya sih, pesta pernikahan itu tergantung kemampuan ekonomi kita saja. Kalau mampunya nikah di KUA dan pesta sederhana, ya nggak apa-apa. Tapi kalau memang uangnya banyak, ya boleh juga dong pesta mewah. Nggak ada pro kontra di sini, karena dua-duanya itu bagus jika sesuai kemampuan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^