Wednesday, 13 October 2021

Syarat Menikah: Bisa Masak dan Gaji 30 Juta Sebulan

 "Syarat jadi istri saya adalah harus bisa masak." 

"Syarat jadi suami saya adalah punya gaji 30 juta sebulan."

Andai dulu saya dan suami menetapkan syarat seperti itu, pastilah kami tidak jadi menikah. Saya tuh nggak bisa masak sebelum menikah dengan suami. Masak air saja, airnya sampai kering di panci. Apalagi masakan lainnya yang susah-susah. Saya baru bisa masak setelah menikah, itupun diajarin suami dan ibu mertua. Coba gimana kalau suami saya maunya punya istri yang bisa masak seperti ibunya? Baru seleksi tahap satu aja, saya udah nggak lolos wkwkwk.... 


 

Apakah saya nggak diajarin memasak? Oh, sebagai anak perempuan pertama dari 4 bersaudara yang semuanya perempuan juga, sudah tentu saya juga diajarin memasak oleh almarhumah ibu saya. Ibu saya itu seorang wanita karir yang sangat banyak kerjaannya. Pagi sampai sore bekerja sebagai PNS, malamnya masih menjahitkan baju orang-orang pula. Jam tidurnya sedikit sekali. Tapi mama saya masih sempat memasak. Memang waktu saya kecil, lebih sering dimasakin pembantu. Mama saya memasak sepulang dari kantor atau saat akhir pekan. 

Saat memasak, Mama mengajak anak-anaknya untuk membantu, tapi saya kebagian ngiris-ngiris saja. Itulah kenapa saya nggak bisa masak, karena cuma bisa ngiris-ngiris. Kemudian saya kuliah di luar kota dan makanannya sudah tentu beli. Pernah sih saya bareng-bareng masak dengan teman satu kontrakan, tapi saya hanya kebagian menggoreng. Intinya, saya kebagian yang gampang-gampanglah. 

Bukan cuma nggak bisa masak, saya juga nggak bisa ngurus rumah. Barang-barang berantakan di mana-mana. Nyuci piring, eh masih bau sabun. Bahkan pernah saya disindir kakak tingkat, karena saat dia masukin air ke gelas, eh muncul busa-busa sabun akibat nyuci gelasnya nggak bersih. Sabunnya masih nempel. Hari itu giliran piket saya nyuci piring hahaha..... Sedih sih disindir, tapi emang bener. Saya nggak bisa nyuci piring.  Kalau ada tes seleksi calon  istri berdasarkan kepiawaian mengurus rumah, pastilah saya nggak lolos seleksi. 

Saya cuma bisa belajar dan menulis, karena sejak SD sudah hobi menulis. Meskipun bercita-cita menjadi ibu rumah tangga, semata hanya agar saya bisa leluasa menulis. Jadi ibu RT yang punya ART dong. Sampai tibalah saya menikah dan untungnya suami saya nggak mencari calon  istri yang bisa memasak dan urus rumah. Bagi suami saya, yang penting istrinya mau belajar. Nggak bisa masak, ya belajar masak. Gitu lho. 

Setelah menikah, dimulailah proses belajar memasak. Tiap hari saya mengirim sms ke ibu mertua, menanyakan resep-resep masakan. Bahkan pernah juga ibu mertua menceritakan curhatan anaknya (yaitu suami saya), kalau saya nggak bisa masak. Cuma bisa goreng-goreng dan numis-numis. Saya pernah memasak ati ayam tanpa membersihkan kotorannya. Suami saya sampai hampir muntah. Ya mana saya tahu kalau di dalam ati ayam itu ada kotorannya? Udah sering tuh masakan keasinan dan gosong. Bahkan, ayah saya saja bilang kalau, "Ela itu masaknya suka asal." 

Iya, asal banget memang, yang penting jadi. Alhamdulillah, setelah belasan tahun memasak, akhirnya masakan saya sudah lumayan dan udah bisa masak dengan bumbu-bumbu yang banyak. Bukan cuma irisan bawang dan cabai. Memasak itu bisa dipelajari walaupun nggak bisa sejago chef restoran. Sebab, memasak adalah keterampilan dasar yang harus dikuasai, kecuali kita suka makan mentahan. Nggak selamanya kita dibantu orang seperti ART dan ojol food. Buktinya, saat awal pandemi covid-19 lalu. 

Kita semua sempat dibayangi ketakutan yang luar biasa. Kalau beli makanan di luar, aman nggak ya? Takutnya itu virus nempel di makanan. Selama sebulan saya sempat merasakan memasak semua makanan di rumah, dari makan besar sampai cemilannya. Belanja sayuran seminggu sekali supaya nggak sering ketemu orang. Nggak pernah beli makanan. Pokoknya masakan sendiri, mau gampang atau susah. Memang capek sih, tapi merasa aman. Artinya, ada kalanya kita memang harus masak sendiri. 

Untung saja calon suami saya nggak mewajibkan calon istrinya harus bisa masak, walaupun ibunya (alias ibu mertua saya) sangat jago memasak bahkan pernah punya restoran.  Di awal menikah pun, suami saya sempat ngidam masakan ibunya. Seiring berjalannya waktu, soal masakan bukan lagi hal utama. Saya belajar masak. Kalau kangen masakan mertua, ya tinggal ke rumah mertua. Kalau mau makan enak, ya ke restoran. Gitu aja. Nggak perlu dibuat susah.

Sekarang kita ngomongin gaji suami. Berapa gaji suami saya saat kami pertama bertemu? Rp 2,5 juta per bulan. Sekitar 14 tahun lalu, rasanya cukup besar ya karena saya orangnya sederhana sih. Saya sendiri nggak menetapkan syarat tinggi untuk gaji suami. Apalagi gajinya dua kali gaji saya. Tapi, 30 juta sebulan? Alamaak. Untuk orang yang baru bekerja di tahun sekarang, gaji Rp 5 juta aja udah mending ya. Kalau mau yang gajinya 30 juta sebulan, kayaknya calon suaminya itu orang yang udah agak "berumur" alias perjaka tua atau duda. Memang sih, ada juga kok lelaki muda yang bergaji 30 juta bahkan lebih dalam sebulan, tapi apakah dia berada di lingkup pergaulanmu?

Kalau mau yang usianya masih di bawah 30, ya bersiap dengan gaji 5-10 juta sebulan. Kalau saya sih yakin menikah itu membawa rezeki. Gaji suami saya yang tadinya cuma 2 jutaan, sekarang sudah puluhan juta. Tentu berkat kerja keras, doa, dan kesabaran. Coba kalau dulu saya menolak suami karena gajinya nggak sampai 30 juta? Belum tentu dapat suami yang lebih baik. Karena syarat menikah dari saya dulu itu hanya seorang suami yang memiliki pekerjaan, bertanggung jawab, dan mau bekerja keras. Saya nggak menentukan nominal gajinya harus berapa. 

Siapa sangka ternyata gaji suami saya setiap tahunnya bertambah terus? Bahkan sekarang suami saya dapat kerja di perusahaan BUMD yang mapan dengan gaji yang ehem. Ya, semuanya tak terbayangkan. Padahal, saya cuma pengen suami yang bertanggungjawab, karena saya bukan cewek matre dan boros. Alhamdulillah, mungkin itulah berkah "pernikahan sederhana" karena sederhana dalam memilih calon pasangan.

Pada akhirnya, menikah itu bukan hanya untuk bersenang-senang punya istri yang jago masak dan suami bergaji 30 juta. Menikah itu penuh pengorbanan. Bersiap dengan kondisi pasangan yang mungkin nggak sesuai dengan bayangan, tapi kalau dihadapi dengan tenang, pasti akan memberikan akhir yang membahagiakan. 

Curhatan lainnya: Tak Sengaja Childfree


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^