Suatu ketika, saya bertanya
kepada Ismail,
“Kakak, gimana bu gurunya, ada
yang galak nggak?”
Ismail menjawab, “enggak. Ustazah
nggak ada yang galak, kok.”
“Bener nggak ada yang galak?”
saya memastikan.
“Enggak. Ustazah baik semua.”
Ismail memanggil guru-gurunya dengan sebutan “Ustazah” dan “Ustaz,” itu bahasa
Arab untuk “Guru.”
Alhamdulillah…. Saya lega
mendengar jawaban jujur Ismail. Setelah beberapa bulan masuk sekolah dasar, saya
merasa perlu menanyakan hal tersebut karena khawatir dengan kejadian-kejadian bullying. Memang, tugas ibu mendidik anak-anaknya,
tetapi saya juga membutuhkan bantuan orang lain, dalam hal ini adalah guru,
karena mereka bisa melengkapi kekurangan-kekurangan saya dalam mendidik
anak-anak. Kini, setelah 1,5 tahun bersekolah di SDIT (Sekolah Dasar Islam
Terpadu), Ismail sudah hapal doa-doa salat, sudah mau diajak salat, sudah hapal
beberapa doa harian, dan yang lebih menakjubkan, dari segi akhlaknya jauh lebih
baik daripada orangtuanya.
Suatu ketika, Ismail yang baru
selesai makan cemilan, kebingungan mencari tempat sampah.
“Mah, ini buang di mana?”
tanyanya.
Saya yang sedang kerepotan
memegangi adiknya, dan akan naik ke atas motor setelah mampir di sebuah warung,
menjawab dengan asal, “Itu di selokan aja tuh. Banyak sampahnya di sana.”
Sebenarnya saya tahu, membuang sampah sembarangan itu tidak boleh, tapi memang
sayanya saja yang sedang “bandel”. Di selokan itu sudah menumpuk sampah dari
orang-orang yang bandel seperti saya. Ismail tidak mau menuruti perintah saya.
Dia masih memegangi sampah cemilannya.
“Di mana sih ini buangnya? Di
sini nggak ada tong sampah,” ia kecewa. Di sekolahnya, tempat sampah ada di
mana-mana dan dibedakan: organik dan non organik. Ismail tertib sekali membuang
sampah, sehingga dia tak enak hati membuang sampah sembarangan.
“Ustazah bilang, kita nggak boleh
buang sampah sembarangan,” katanya, menyentil telinga saya.
“Oh iya, betuul… Sini, sampahnya
taruh di motor saja. Nanti kita buang kalau sudah nemu tong sampahnya ya.” Saya
ambil sampah itu dan meletakkannya di laci motor.
Setiap Ismail melakukan
kesalahan, dengan sadar dia akan segera beristighfar, salah satu bentuk hukuman
yang diterapkan oleh para guru di sekolah Ismail kepada anak-anak yang
bersalah. Bukan dengan kekerasan verbal dan nonverbal. Lain waktu, ibu guru
Ismail mengembalikan uang jajan Ismail kepada saya saat pulang sekolah, dengan
bisikan:
“Bu, jangan bilang ke Ismail ya
kalau uang jajannya saya kembalikan. Tadi uang jajannya saya sita, karena
Ismail naik-naik ke atas meja. Itu salah satu bentuk hukuman, karena kami tidak
mau menghukum dengan kekerasan.”
Sejak itu, Ismail tidak mau
naik-naik ke atas meja lagi, karena dia tidak mau uang jajannya disita. Sekolah
memiliki kantin sendiri dengan makanan dan minuman yang telah diseleksi
kebersihan dan kesehatannya.
Adik Ismail, Sidiq, juga sekolah
di sekolah yang sama. Gurunya pernah mengirimkan foto-foto kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan di luar kelas dengan catatan, “ini sedang belajar di
luar kelas, supaya anak-anak nggak bosan, Bunda. Mereka gembira sekali.”
Saya pun gembira memandangi
foto-foto itu. Terlihat gambar anak-anak yang ceria menjalani proses belajar
mengajar. Komunikasi antara guru dan orangtua pun terjalin akrab melalui whatsapp. Terima kasih, bapak dan ibu
guru telah membantu saya mendidik anak-anak. Engkau bukan hanya pahlawan untuk
anak-anak saya, tapi juga pahlawan saya.
Guru sekarang melek teknologi ya mbak, jadi setiap kegiatan bisa diabadikan dikirim ke orang tua.
ReplyDeleteSepertinya Guru dan sekolah IT memang sudah punya standar baku ya mbak. Pengalamanku anak-anak sekolah di IT juga begitu. Benar-benar guru mengabdi tulus, dengan niat ibadah dan berdakwah.
ReplyDeleteasyiknya belajar di luar kelas hehehe...gurunya pasti punya suara yang cukup keras tapi tetap lembut :)
ReplyDeleteHihihi...
ReplyDeleteMama jadi malu sama Ismail.
Gurunya keren yah. Selain teori ada prakteknya juga jadi bisa meninggalkan jejak di otak anak
Pingin ikut sentil juga deh mamanya Ismail yang nyuruh Ismail buang sampah ke selokan.
ReplyDeleteAnak-anak shalih.... doain tente punya anak shalih juga ya.. :*
ReplyDeleteternyata masih ada ya mak, guru yg bnr2 memiliki niat dan sungguh2 dlm mendidik murid2nya. alhamdulillah.
ReplyDeleteabang ismail emang keren dah ah
sekrang ngobrol aau bertanya tentang anak sm guru bisa kapan aja ya n ga perlu datang ke sekolah ...tinggal WA an heheheh
ReplyDelete