Maaf ya Nak, kalau Mama masih sering galak |
Assalamu'alaikum. Mumpung kerjaan rumah tangga nggak begitu banyak, saya mau ngobrol-ngobrol lagi di blog. Kerjaan rumah tangga kapan sih nggak banyaknya? Hehe... sebenarnya hari ini juga banyak, berulang terus itu lagi-itu lagi, tapi ditunda dulu yah. Udah kangen sama blog nih. Ceritanya begini, sudah agak lama saya ketemu dengan ibu itu yang masih warga komplek perumahan tempat tinggal saya. Dulu, ibu itu sering meminjam uang sama saya, sebulan bisa tiga kali, sampai akhirnya saya stop. Bukan apa-apa sih, tapi saat itu saya belum kerja dari rumah kayak sekarang, jadi belum bisa bantu keuangan keluarga. Uang belanja dari suami kan ngepas, malah sering kurang, alhasil saya juga keberatan dipinjami uang terus.
Nggak hanya itu. Kalau saya sedang beli nasi uduk dan semacamnya, ibu itu juga beli dan belinya itu banyak, karena anggota keluarganya ada banyak. Ironis sih, menurut saya. Setiap meminjam uang, dia mengaku nggak punya uang sama sekali, anak-anaknya belum makan, yah seperti orang yang sangat kekurangan. Eh, tapi kok beli nasi di warung. Namanya beli nasi yang udah jadi itu kan lebih mahal daripada masak sendiri. Kalau benar-benar kekurangan, kenapa enggak masak sendiri? Anak-anaknya juga gendut-gendut, anak-anak saya malah kurus-kurus kayak nggak dikasih makan. Waktu itu, saya yang masih pas-pasan saja, jarang banget beli nasi di warung. Lebih sering masak untuk menghemat. Jadi, kan aneh, ya yang minjam uang sama yang dipinjami kok kondisinya berkebalikan.
Balik lagi ke kondisi setelahnya. Ketika ibu itu masih pinjam uang, anak-anaknya masih sekolah semua. Cuma satu yang udah kerja, itupun udah nikah. Justru itu masalahnya, si ibu merasa kesal karena anak pertamanya itu nikah sambil kuliah dan kerja. Bukannya kerja dulu, kasih uang ke ibunya, eh malah dikasih ke istrinya. Alhasil, ibu itu nggak dapat bagian dari gaji si anak sulung. Malah si sulung itu minta uang terus untuk urusan rumah tangganya. Ibu itu punya anak lima. Sekarang, dua anaknya yang lain juga udah tamat sekolah. Anak keduanya ini nih yang membuat saya prihatin. Anak laki-laki, mungkin sudah sekitar tiga tahunan lulus SMK, tapi sampai sekarang belum kerja juga. Masih luntang-lantung, dan kadang-kadang mengasuh anak tetangganya. Itu yang saya tanyakan ke si ibu.
"Anaknya belum kerja ya, Bu?"
"Belum, nih. Susah ya cari kerjaan. Nggak ada yang cocok."
"Nggak cocok, gimana?"
"Ya, waktu itu pernah kerja, tapi kecapean. Kerjanya jauuh.... Gajinya kecil. Dari jam 5 udah berangkat. Saya kasihan, jadi saya suruh berhenti saja, nunggu dapat yang lebih enak kerjanya."
Saya melongo dibuatnya. Dan dari sejak saya nanya itu, sampai sekarang si anak laki-lakinya masih belum kerja. Enaknya, setiap pagi masih bisa nongkrong di warung nasi uduk, makan dengan kenyang sampai perutnya buncit seperti orang yang sudah nikah saja. Hiyaa aampuuun... zaman sekarang yah, apalagi hanya lulusan SMK, mana ada yang ngasih kerjaan nggak capek dan gajinya besar? Apalagi itu anak laki-laki, kok ibunya "kasihan"? Kasihan atau memanjakan? Saya jadi ingat zaman saya baru lulus kuliah dulu dan luntang-lantung cari kerjaan. Jangankan yang lulusan SMK, saya aja yang lulusan sarjana, susahnya minta ampun cari kerja. Almarhumah ibu saya, setiap hari nanyain nggak bosan-bosan, "Kapan kerja? Kapan kerja? Kapan kerja?" Bukan itu saja. Saya udah nggak dikasih UANG SAKU!
"Kamu kan udah nggak kuliah, jadi sekarang Mamah udah nggak kasih uang lagi ya," kata Mamah, dengan kejam.
AAAPPPAAAH?!
Tanpa uang, apalah artinya saya? Saya nggak bisa BELI apa-apa. Tiap mau makan di rumah pun, kedua mata ibu saya menyipit, seperti nggak ridho ada pengangguran makan di rumahnya. Hasil kerja kerasnya. Mungkin itu hanya perasaan saya aja, mana ada sih ibu yang kejam begitu sama anaknya heheh.... Pokoknya, saya merasa nggak enak hati, deh. Berasa membebani orangtua. Saya hanya dikasih uang kalau mau kerja. Untungnya, saat itu saya udah kirim-kirim naskah ke penerbit, majalah-majalah, jadi lumayanlah dapat sedikit-sedikit.
Saya sampai bolos ikut pengajian mingguan dengan alasan NGGAK ADA UANG BUAT ONGKOS. Ditambah lagi di pengajian itu, saya mesti ikut infak, sedekah. Bukan apa-apa ya, kayaknya kondisi saya waktu itu justru harus disedekahin wkwkwk..... Jadi, boro-boro saya mau jajan di warung, beli nasi uduk setiap hari sampai perut buncit. Masih dibolehin makan di rumah aja udah syukur. Sampai kemudian akhirnya saya dapat pekerjaan, HANYA menggantikan pekerjaan karyawan yang cuti hamil. Waktu magangnya pun hanya tiga bulan! Saya jalani itu demi bisa dapat uang saku.
Berapa gajinya? Hanya 700 ribu! Sekitar 10 tahun lalu, uang segitu sudah tergolong kecil. Untuk transport dan makan siangnya aja sudah Rp 400.000. Kemudian saya ngekos, karena tempat kerjanya memang jauh banget. Gaji segitu nggak ada sisanya. Sebelum ngekos, saya berangkat dari rumah jam 6 pagi, naik bus dan gelantungan di pintu karena nggak kebagian tempat. It's okay! Pulangnya juga begitu. Saya anak perempuan, mana pakai gamis dan jilbab lebar. Gelantungan di pintu bus kayak kenek.
Nah, itu, anak LAKI-LAKI, kok dikasihani sih, Bu? Ibu saya saja nggak kasihan sama saya, pokoknya saya harus kerja. Harus kuat. Makanya, saya nggak setuju dengan sistem pengasuhan anak di mana orangtua kudu mesti baik terus sama anak. Pernah saking baiknya, ada seorang bapak yang NGGAK MAU MENYUNAT anaknya, sebelum anaknya sendiri yang memutuskan mau disunat atau enggak. Alasannya, kasihan, nanti anaknya TRAUMA kesakitan disunat. Ya elah, disunat kan saat masih umur 4-8 tahun ya. Anak segitu belum bisa memutuskan mau disunat atau enggak. Kalau sakit, ya pasti sakit dan pasti nggak mau sakit. Tapi, apa iya kita terus menerus menjaga anak agar tidak merasakan sakit?
Rasa sakit, susah, tidak enak, berat, letih, payah, itu harus juga dirasakan oleh anak-anak kita. Jangan selalu dikasih enak dan dikasihani. Saya yakin, ibu saya dulu bukannya kejam. Beliau hanya sedang mendidik saya agar kuat, tegar, bekerja keras, dan pantang menyerah. Sewaktu saya mau menikah, calon suami saya kemungkinan bakal dipindah ke Medan. Saya tanya ke Mamah, apa saya harus berhenti kerja. Ibu saya bilang, "Di sana juga ada cabangnya, kan?" Ealaah... tetep masih harus disuruh kerja. Kalau ibu saya masih hidup, barangkali sekarang udah cerewet ya karena anaknya nggak kerja, hehehe.... Tapi, saya ada alasannya dong, mengasuh anak-anak. Nah, kalau LAKI-LAKI, nggak kerja? Mau apa?
Noted to my self, tentu saja tulisan ini ditujukan untuk diri sendiri yang punya tiga anak laki-laki. Semoga saya bisa mendidik mereka tanpa memanjakan yang membuat mereka terlena. Aamiin...
inspiratif mbak lelya aku juga punya anak laki laki satu moga gak kebablasan memanjakan meskipun aku ini tergolong ibu yang gak tegaan
ReplyDeleteIya, mak. Anak lelaki harus tegar, kuat, mandiri. Mereka nanti kan harus jadi tulang punggung keluarga. Duh... teringat 3 anak lelakiku. Semoga kita semua bisa mendidik anak2 kita dengan baik... Aamiin
ReplyDeleteIya ya, memanjakan dan kasihan itu harus dibedakan. Dan tegas juga beda lagi sama kejam, hahaha...
ReplyDeleteMbak ibu saya juga gitu sama saya, keras tapi ada tujuan baik di balik itu semua. Semoga saya juga bisa seperti itu pada Ghifa. Terima kasih untuk sharingnya Mbak.
ReplyDeleteceritanya mengingatkan rumah kos di jalan mede :D
ReplyDeleteibu saya juga waktu kecil kalo tidur siang saya ga bangun2 kakinya diseret sampe keluar kasur disuruh solat ,....
sebagai ibu dari seorang anak laki-laki, ini juga jadi PR buat saya Mak. Harus ditanamkan nilai bahwa pantang bagi laki-laki untuk manja, malas, dan nganggur. semangat Mak!
ReplyDeletekasihan = apa? gaji kecil, jauh, mana fightnya seorang lelaki? hehee, aku punya anak lelaki, semoga kemandiriannya terjaga
ReplyDeletejadi ingat dulu waktu pertama kali kerja th 2000, 15 th yg lalu, gaji saya cuma 386 rb hihihihi....
ReplyDelete