Siang itu, gerak motor saya seakan meragu ketika langit mendadak gelap dan tetes air hujan mulai membasahi tanah yang berdebu. Hanya berselang lima menit dari sejak saya tinggalkan rumah tercinta, hujan akan turun. Saya kira, hujan itu hanya main-main, karena hari-hari sebelumnya pun demikian. Bersama dua anak kecil-kecil, saya teruskan laju motor menuju ke tempat penjual makanan. Sudah beberapa hari, asisten rumah tangga saya tidak masuk karena sakit. Semua pekerjaan rumah tangga pun saya tangani sendiri, sehingga badan kelelahan dan tidak sanggup memasak. Rencananya siang itu saya mau membeli masakan jadi di luar komplek perumahan tempat tinggal saya.
Begitu sampai di tempat yang dituju, mata saya membelalak karena hanya ada sajian ikan lele dan tongkol di rak warung favorit. Biasanya rak itu penuh dengan aneka macam lauk. Sayangnya, suami saya tidak suka ikan tongkol dan lele. Untungnya masih ada Soto dan saya pesan sebungkus Soto Babat. Hujan mulai ramai, meskipun masih bisa ditembus. Saya paksakan meneruskan perjalanan ke warung Bubur Kacang Ijo, karena suami saya ingin makan Bubur Kacang Ijo. Dia sedang tidak enak badan. Anak-anak sudah saya pakaikan jas hujan yang alhamdulillah selalu ada di bagasi motor. Saya sendiri tak mengapa kehujanan, selama belum deras benar.
Warung Bubur Kacang Ijo sedang sepi pengunjung. Saya baru sekali beli di warung itu. Perempuan separuh baya dengan tubuh kurus dan kulit yang menuju keriput, menyambut dengan ramah. Saya memesan dua bungkus Bubur Kacang Ijo, dan ketika melihat hujan sudah deras, saya menambah pesanan dengan makan di tempat. Hitung-hitung sambil menunggu hujan reda. Anak saya pun ikut bergabung, memesan mi rebus. Nyatanya, hujan malah semakin deras. Seorang pengunjung memecah kesunyian, memesan segelas kopi dan mengobrol santai dengan ibu pemilik warung. Sesekali mereka mengajak saya mengobrol, sambil mengingatkan agar menaikkan sandal karena air yang membanjir dapat menghanyutkannya.
Setelah melayani pesanan, ibu pemilik warung itu menyapu air yang hendak memasuki warungnya, sambil sesekali bertanya kepada saya. Saya pun balik bertanya, melihat spanduk di depan warung yang bertuliskan: Bubur Ayam, Bubur Kacang Hijau.
"Ibu jual Bubur Ayam juga?" tanya saya.
"Iya, sekarang juga ada bubur ayamnya, tapi saya masaknya sedikit-sedikit. Soalnya kalau pagi kan banyak tukang bubur ayam. Biasanya yang banyak beli itu malam hari."
"Kalau sudah malam pulang ke mana, Bu?"
"Nggak pulang, wong di sini juga tidurnya cuma 3-4 jam. Ini kan warungnya sampai malam."
Saya terpana, lalu menyadari tulisan di spanduk itu juga ditambahi kata: "Buka 24 Jam."
"Justru banyaknya pembeli itu malam hari. Mereka cari makanan. Banyak yang nongkrong-nongkrong juga sambil ngobrol," cerita ibu itu lagi.
Saya membayangkan ibu itu berada di tengah bapak-bapak atau anak-anak muda yang asyik nongkrong di warungnya sampai larut malam. Wajahnya yang menua mungkin menjadi jaminan bahwa ia tidak akan diganggu. Tapi, siapa yang benar-benar dapat menjaminnya? Kalau orang sudah gelap mata, nenek-nenek tua pun bisa diembat. Warung itu hanya berupa bangunan kecil dari kayu, yang sepertinya mudah didobrak kalau ada orang yang berniat jahat.
"Ibu asalnya dari mana?" tanya saya lagi. Hujan masih terlalu deras untuk membuat saya meninggalkan warung tersebut. Biar sajalah, hitung-hitung mewawancarai orang yang baru dikenal, yang bahkan saya tidak tahu siapa namanya.
"Kuningan. Suami saya dari Kuningan. Saya dari Jawa."
Ooo... Ternyata masih punya suami. Saya kira sudah janda atau malah tidak menikah, karena saya tidak melihat siapa-siapa di warungnya.
"Suaminya kerja di sini juga?" saya masih penasaran.
"Ya, endak. Suami saya di Kuningan."
JLEEEEB! AGAIN!
Saya langsung teringat ibu muda yang menjaga warung makan di kantin karyawan di sebuah Mall besar di Jakarta. Saat itu, ibu muda tersebut memandangi anak bungsu saya, Salim, kemudian bertanya,
"Anaknya umur berapa, Bu?"
"Tiga," jawab saya.
"Oh, sama dengan anak saya."
"Anak Ibu mana?"
"Ya, di kampung sama neneknya."
"Lho, nggak dibawa..??"
"Enggak. Makanya saya kangen, lihat anak Ibu jadi kangen sama anak saya."
Saya merasa hati ikut teriris, membayangkan seorang ibu meninggalkan anaknya yang masih kecil di kampung, untuk mencari nafkah sendirian di Jakarta, di sebuah kota besar yang penuh perjuangan. Suaminya? Bagaimana dengan suaminya? Saya tidak bertanya lebih jauh mengenai suaminya.
Kembali lagi ke ibu penjual Bubur Kacang Hijau itu....
""Jadi, suami Ibu di Kuningan?"
"Iya, anak saya kan kembar. Nggak ada yang jagain kalau dia ikut ke sini. Kemarin dia baru dari sini Kalau ke sini ya dua sampai tiga hari, terus pulang lagi."
Jawabannya itu membuat saya berpikir, sepertinya ibu ini usianya belum setua yang saya kira. Kalau anak kembarnya masih harus dijaga, berarti usia anak-anaknya pun masih balita. Barangkali kerasnya hidup membuat ibu ini penampilannya lebih tua daripada umurnya. Atau, dia menikah saat usia tak lagi muda.
Jawabannya itu membuat saya berpikir, sepertinya ibu ini usianya belum setua yang saya kira. Kalau anak kembarnya masih harus dijaga, berarti usia anak-anaknya pun masih balita. Barangkali kerasnya hidup membuat ibu ini penampilannya lebih tua daripada umurnya. Atau, dia menikah saat usia tak lagi muda.
Hati saya ingin berteriak. Iya, Buuu... Saya mengertiiii.... Memang, anak kembar Ibu harus ada yang menjaga, tapi mengapa bukan suami Ibu yang kerja dan Ibu yang menjaga anak-anak?
Entahlah. Saya tak ingin bertanya lagi. Saya khawatir Ibu itu kesulitan menjawabnya dan saya terlalu jauh mencaritahu. Mungkin suaminya bekerja di kampung. Mungkin ibu itu rela berjuang mencari nafkah sendirian di kota lain, bekerja 24 jam menunggui warungnya, demi masa depan yang lebih cerah. Hanya saya tak mengerti, mengapa istrinya dan bukan suaminya yang ke kota besar dan menjaga warung selama 24 jam?
Saya lalu ingat cerita seorang teman dari sebuah daerah di Jawa, bahwa laki-laki di tempatnya justru sukanya ongkang-ongkang kaki. Minta dilayani istri, sedangkan istrinya pula yang bekerja mencari nafkah dengan berjualan di pasar atau menjadi buruh cuci. Para lelaki yang kuat dan gagah, enak-enaknya merokok sambil bermain kartu, mengobrol ngalor ngidul bersama lelaki-lelaki "pemalas" lainnya. Maaf, saya selalu merasa jeri setiap mendengar cerita mengenai ini.
Sepanjang perjalanan pulang, saya hanya bersyukur dan terus bersyukur. Saya dikaruniai suami yang bertanggungjawab terhadap hidup saya dan anak-anak. Saya hanya diminta mengasuh anak-anak, suami saya yang mengambil tanggungjawab penuh menafkahi kami. Kalaupun saya ikut bekerja, hasilnya untuk saya sendiri, atau sesekali memberi jajan anak-anak. Kalaupun saya bekerja, itu bukan karena saya HARUS ikut mencari nafkah, tapi semata aktualisasi, agar ilmu yang saya peroleh di bangku sekolah tak sia-sia. Agar saya bisa terus memperbarui wawasan dan menambah teman.
Saya tak harus bekerja 24 jam untuk menafkahi keluarga, karena saya memiliki suami yang mengerti betul kewajibannya sebagai suami, dari sejak ia mengambil saya dari orangtua saya. Dan betapa sedihnya saya, karena banyak perempuan yang tak seberuntung saya. Itu membuat saya ingin bersembah sujud di kaki suami, tapi sayangnya agama saya melarangnya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, dari Abu Hurairah, "Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, maka aku akan memerintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. (HR. At Tirmidzi).
Beruntunglah para istri yang suaminya menunaikan tugas sebagai pencari nafkah dan pelindung keluarga dengan baik. Mari sayangi suami. Tidak usah terlalu diambil hati kalau ada masalah-masalah sepele, karena masih banyak perempuan lain yang tidak seberuntung kita. Itulah pengalaman saya mewawancarai orang asing, seorang ibu penjaga warung Bubur Kacang Hijau, yang harus menahan kerinduannya bercengkerama dengan anak-anak kembarnya, demi mencari nafkah untuk suami dan anak-anaknya.
Ya Allah, lindungilah para perempuan pencari nafkah utama... Jika saja mereka punya pilihan, mereka pasti memilih berada di samping anak-anaknya dan melayani suaminya.
Salut dengan ibu itu. Kebayang gimana beratnya beban yang dipikulnya. Banyak ya ibu-ibu yang seperti ini. :(
ReplyDeleteIya, satu hal yg sering kita lupa adalah bersyukur ... , makasih udah ngingetin ��
ReplyDeleteTp mak hanna perlu tanya pekerjaan suaminya si ibu apa. Bs jd suaminya tdk ongkang2 d rmh
ReplyDeleteWah jadi ada ya daerah dimana banyak suami yang ongkang-ongkang kaki dan istrinya bekerja *geleng2 kepala*
ReplyDeleteDitempat saya banyak yg seperti itu mba ley.... :-)
ReplyDeletesaya bersyukur Mak, suami saya tahu tanggungjawabnya menafkahi keluarga. jadi saya bs fokus urus anak. Alhamdulillah :')
ReplyDeleteperempuan jadi ibu sekaligus bapak (pencari nafkahh ) bisa ya tapi bapak belum tentu ...perempuan lebih bermental baca daripada laki-laki. sll salut sama ibu-ibu seperti itu
ReplyDeleteKisah yang menginspirasi dan juga bisa dijadikan sebagai bahan renungan untuk semuanya.
ReplyDeleteDi satu sisi merasa sedih membayankan ibu penjual bubur harus meninggalkan anak-anaknya untuk mencari nafkah, di satu sisi merasa salut dengan kerelaan hatinya. Jika saya berada di posisi ibu itu, belum tentu sekuat itu..
ReplyDeletebersyukur ya Mba, Inza Allah nilai syukur itu ditambahi oleh Allah. Saya juga kadang kasihan melihat wanita yang berjuang keras mencari nafkah untuk anak-anaknya, ee...suaminya jauhan.
ReplyDeleteIbu yang hebaattt. Entah apa yang melatar belakangi ia bekerja, tapi yang pasti Ia hebat...
ReplyDeleteterharu mendengar kisahnya.. banyak para suami saat ini yg kurang bertanggungjawab terhadap tugasnya, karena ia kurang ilmu agama, kondisi ekonomi yg juga susah. Kalau masalah masyarakat udah banyak, berarti kesalahan bukan semata pada masyarakatnya, tapi kita butuh perhatian pemerintah. pemerintah harus mampu menciptakan pendidikan yg terjangkau dan berkualitas,memudahkan para suami mencari nafkah,menciptkan kondisi ekonomi stabil dgn harga kebutuhan pokok yg terjangkau dan lain sebagainya..hal ini demi mewujudkan manusia-manusia yg bertanggungjawab kedepannya mbak
ReplyDeleteBagaimana dg yg memilih bekerja karena tdk sanggup ada di rumah saja atau tdk puas dg penghasilan suami?
ReplyDeletesemoga selalu diberikan kesehatan ya buat si ibu dan bisa mencari nafkah
ReplyDeleteBaca tulisan bunda siddiq saya merasa mantap untuk belum nikah dulu hhe
ReplyDeleteTp mempersiapkan dan memperbaiki diri dulu biar Allah kasih suami yg taat padaNya. Klu udah taat pasti dia ngk akan ngelakuin seperti suami yg bunda gambarkan diatas... aamiin ya Allah