Jadi, tadi malam, tiba-tiba
timeline BBM saya diisi oleh racauan seorang sobat dunia maya yang sudah
beberapa kali bertemu di dunia nyata. Seperti ini status-statusnya:
Status pertama: BBMku sepi nih
Status kedua: BBMku sepi nih,
Bunda cepet pulang
Status ketiga: I’m angry (plus
beberapa ikon marah)
Status ketiga: (ikon sedih semua)
Status keempat: (beberapa ikon
sedih) sedih rasanya ga ada Bunda
Glek. Lah ini BBM anak teman
saya, rupanya. Mungkin hapenya dikasihkan ke anaknya. Kemudian saya baru sadar,
saya berteman di BBM dengan teman saya dan anaknya. Keduanya memakai nama teman
saya. Mungkin anaknya belum sempat mengganti nama BBM ibunya. Anak teman saya
itu sudah abg (anak baru gede). Usia belasan. Teman saya menikah muda, jadi
ketiga anaknya sudah menjelang remaja. Dulu saya pernah ngobrol-ngobrol dengan
teman saya. Saya belum bisa mobile
(bepergian ke mana-mana) dengan leluasa, karena anak-anak masih kecil, masih
harus ditungguin simboknya terus. Teman saya itu bilang, “dulu saya juga gitu
kok. Nanti ada masanya Mbak bisa bepergian ke mana-mana, setelah anak-anak agak
gedean.”
Dan memang, teman saya itu
sekarang sudah agak bebas. Aktivitas luarnya bejibun. Kadang kalau saya lagi
kesal sama anak-anak di rumah, saya suka membatin, “kapan sih kalian gedenya?
Mama mau jalan-jalan sendirian!” Ya Allah, jadi ibu kok gitu amat ya, pengen
pisah sama anak-anaknya. Eh, ini saya merutuki diri sendiri lho, karena memang
sering dihinggapi perasaan itu. Tapi, setelah itu saya istighfar.
Malam itu, sebelum membaca
timeline BBM, saya juga sedang kesal sama anak-anak dan membatin hal yang sama.
Kapan sih kalian gedenya? Si bungsu, tidak mau tidur siang dan masih aktif saja
sampai jam 7 malam. Dua kakaknya, pulang sekolah, langsung membuat rumah
seperti kapal pecah. Ya Allah, ini kerjaan kapan berhentinya sih? Badan sudah
cekat-cekot rasanya, eh anak-anak masih giat saja mengacak-acak rumah. Saya
sempat mau memfoto isi rumah yang berantakan, tapi tidak jadi karena tidak
sempat pegang kameranya wong si kecil ngompol lagi di lantai. Padahal, saya
baru saja rebahan saking capainya membereskan rumah.
Status BBM saya malam itu: Salim,
cepet tidur ya…. Mamah udah capee….
Nah, saat sedang membaca timeline
BBM itulah, status teman saya bermunculan. Belakangan saya tahu kalau itu BBM
anaknya, mungkin sudah dipindahtangan ke anaknya. Tadinya saya juga bingung ya,
kok teman saya nulis statusnya seperti abege begitu hehe…. Lalu, saya
bertanya-tanya, ini teman saya lagi di mana sih? Sudah malam begitu belum
pulang. Status anaknya yang terakhir tertulis pukul 20.21 WIB. Dan itu membuat
saya merenung…. Sungguh….
Pertanyaan saya: apa benar saat anak sudah besar, saya bisa bebas…?
Ketika anak masih kecil, mereka
tidak bisa protes bundanya ada di mana. Setelah mereka agak besaran seperti
anak-anak saya sekarang ini, mereka mulai bertanya kalau saya sedang ada
kegiatan di luar rumah. “Mama tadi ke mana sih? Mama kok pulangnya malam? Mama,
besok Dede ikut Mama ya….”
Terakhir, sewaktu saya mau pergi
ikut kegiatan, Salim, si kecil yang umurnya baru 3 tahun, sudah bisa membaca
tanda-tandanya. Dia nempel terus sama saya. Triknya, saya dan suami sama-sama
mengeluarkan motor. “Salim naik ke motor Ayah, yaaa…” bujuk saya. Salim tidak
mau. Dia tetap mau sama saya. Akhirnya terpaksa dipindahkan dengan paksa sampai
menangis-nangis. Itu yang bikin saya telat naik kereta. Tapi, bagaimanapun,
tetap harus dibiasakan sesekali bersama dengan ayahnya tanpa mamanya. Bukan
apa-apa, anak-anak memang lengket betul sama saya, karena setiap hari bersama
saya. Akibatnya, mereka kurang dekat dengan ayahnya. Menurut ahli parenting,
perlu ada waktu-waktu khusus seorang ayah bersama dengan anak-anaknya tanpa
mamanya. Saat itulah, mamanya bisa “me time” untuk melakukan hobinya.
Tanpa mengikuti ahli psikologi
mana-mana, saya pun merasa perlu “me time,” dan itu bukan berarti saya egois.
Setelah 6 hari bersama dengan anak-anak, saya tidak malu mengakui bahwa saya
bosan, saya ingin punya waktu sendiri, saya butuh jalan-jalan tanpa direcoki
anak-anak, dan itu penting untuk keseimbangan mental. Coba gimana kalau mental
ibunya terganggu gara-gara tidak ada “me time,” siapa yang mau tanggung jawab?
Dari sisi anak-anak dan ayahnya,
satu hari bersama itu pun sangat dibutuhkan untuk menguatkan ikatan di antara
mereka. Hanya satu hari saja setiap minggu (kadang juga dua minggu sekali)
anak-anak bersama dengan ayahnya. Setiap hari, ayahnya pergi pagi, pulang malam
(anak-anak sudah tidur). Kapan mereka bisa bercengkerama dengan ayahnya? Kalau
ada mamanya, tetap saja larinya ke Mama. Yang penting buat saya, “me time”nya
tidak banyak-banyak. Hanya satu hari itu. Saya masih sempat berharap,
barangkali nanti kalau anak-anak sudah agak gedean, “me time” nya jadi lebih
banyak. Barangkali, lho… sampai saya membaca status-status anak teman saya itu.
APAKAH SAAT ANAK SUDAH BESAR,
BUNDA BISA BEBAS???
Pertanyaan itu bertalu-talu dalam
kepala saya. Bisa, tidak, bisa, tidak, bisa, tidak…. Lalu, saya berpikir, jika
anak merasa kesepian di masa remajanya, dia akan ke mana? Siapa yang akan
menjadi temannya? Ayahnya jauh, bundanya tidak ada. Bagaimana kalau dia
dihampiri oleh teman-teman yang “tidak benar”? Sudah banyak penyakit masyarakat
saat ini: hamil di luar nikah, pedofilia, lesbian, gay, transgender, pecandu
narkoba, bullying, pecandu video porno, dan sebagainya, barangkali salah satu
penyebabnya karena kurang dekapan orangtua. Setelah semuanya mengenai anak
kita, baru deh kita marah-marah dan menyesali kenapa bisa begini, begitu, dan
seterusnya.
Barangkali anak-anak yang sudah
besar tidak bicara langsung di depan kita bahwa mereka kehilangan kita. Barangkali
karena kita sudah berkali-kali meminta pengertian dari mereka, jadi mereka pun
tak enak hati untuk komplain. Barangkali untuk mengetahui perasaan mereka, kita
mesti membuka semua media sosial yang mereka miliki. BBM, Facebook, Twitter,
atau Blog? Coba baca status-status mereka, ada tidak yang seperti status anak
teman saya di atas itu. Kalau ada, segera dekap anak kita dan bisikkan bahwa
kita siap mendengarkan mereka kapan saja.
Terima kasih, Dek, sudah ngingetin Tante. Anak-anak, maafin
Mama ya sudah berkali-kali berdoa supaya kalian cepat gede. Hiks….
makin nambah umur anak makin nambah tugas orang tua ....anak sholeh dan anak berulah sama-sama ujian buat ayah bundanya...yang sholeh ujian agar sang ortu tidak terperangkap ujub dan riya'. yang berulah ya pasti ujian untuk menjadikannya sholeh hehehe
ReplyDeleteAku juga sering mbatin yang sama dengan Mbak Ela. Hehehe.
ReplyDeleteItu kegelisahan saya mba. Kadang saya merasa butuh waktu yang benar-benar sendiri. Tapi kadang saya berpikir, egois nggak ya. Kalau lagi jenuh banget suka terlintas pikiran, kapan ya bisa nyante. Ya ampuun..
ReplyDeletesaya termasuk barisan ibu-ibu merindu anak cepat besar. astaghfirulloh. tfs mbak.
ReplyDeleteanak tetap anak ya, akan selalu kangen sm orangtuanya terutama ibu...justru saat abege orangtua harus jd teman anaknya...
ReplyDeleteJadi ortu itu kontrak yg harus dijalani sampai mati hehe...
ReplyDeletememang kalau anak besar kontraknya tdk berlaku ya?:)
sedih bacanya, anakku sudah besar apa masih kecil ya? kadang aku selalu bilang, kakak sudah gede looh...apa benar? harus begini ngomongnya ya.
ReplyDeletejadi ingat dulu pernah nulis
ReplyDeleteingin kuinjak injak skripsi itu yang merenggut waktumu bunda
hahhaa
bahkan ketika anak sudah kuliah masih caper ama bundanya