Friday, 30 October 2015

Apakah Saat Anak Sudah Besar, Bunda Bisa Bebas?



Jadi, tadi malam, tiba-tiba timeline BBM saya diisi oleh racauan seorang sobat dunia maya yang sudah beberapa kali bertemu di dunia nyata. Seperti ini status-statusnya:

Status pertama: BBMku sepi nih
Status kedua: BBMku sepi nih, Bunda cepet pulang
Status ketiga: I’m angry (plus beberapa ikon marah)
Status ketiga: (ikon sedih semua)
Status keempat: (beberapa ikon sedih) sedih rasanya ga ada Bunda


Glek. Lah ini BBM anak teman saya, rupanya. Mungkin hapenya dikasihkan ke anaknya. Kemudian saya baru sadar, saya berteman di BBM dengan teman saya dan anaknya. Keduanya memakai nama teman saya. Mungkin anaknya belum sempat mengganti nama BBM ibunya. Anak teman saya itu sudah abg (anak baru gede). Usia belasan. Teman saya menikah muda, jadi ketiga anaknya sudah menjelang remaja. Dulu saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman saya. Saya belum bisa mobile (bepergian ke mana-mana) dengan leluasa, karena anak-anak masih kecil, masih harus ditungguin simboknya terus. Teman saya itu bilang, “dulu saya juga gitu kok. Nanti ada masanya Mbak bisa bepergian ke mana-mana, setelah anak-anak agak gedean.” 

Dan memang, teman saya itu sekarang sudah agak bebas. Aktivitas luarnya bejibun. Kadang kalau saya lagi kesal sama anak-anak di rumah, saya suka membatin, “kapan sih kalian gedenya? Mama mau jalan-jalan sendirian!” Ya Allah, jadi ibu kok gitu amat ya, pengen pisah sama anak-anaknya. Eh, ini saya merutuki diri sendiri lho, karena memang sering dihinggapi perasaan itu. Tapi, setelah itu saya istighfar. 

Malam itu, sebelum membaca timeline BBM, saya juga sedang kesal sama anak-anak dan membatin hal yang sama. Kapan sih kalian gedenya? Si bungsu, tidak mau tidur siang dan masih aktif saja sampai jam 7 malam. Dua kakaknya, pulang sekolah, langsung membuat rumah seperti kapal pecah. Ya Allah, ini kerjaan kapan berhentinya sih? Badan sudah cekat-cekot rasanya, eh anak-anak masih giat saja mengacak-acak rumah. Saya sempat mau memfoto isi rumah yang berantakan, tapi tidak jadi karena tidak sempat pegang kameranya wong si kecil ngompol lagi di lantai. Padahal, saya baru saja rebahan saking capainya membereskan rumah. 

Status BBM saya malam itu: Salim, cepet tidur ya…. Mamah udah capee…. 

Nah, saat sedang membaca timeline BBM itulah, status teman saya bermunculan. Belakangan saya tahu kalau itu BBM anaknya, mungkin sudah dipindahtangan ke anaknya. Tadinya saya juga bingung ya, kok teman saya nulis statusnya seperti abege begitu hehe…. Lalu, saya bertanya-tanya, ini teman saya lagi di mana sih? Sudah malam begitu belum pulang. Status anaknya yang terakhir tertulis pukul 20.21 WIB. Dan itu membuat saya merenung…. Sungguh….

Pertanyaan saya: apa  benar saat anak sudah besar, saya bisa bebas…?

Ketika anak masih kecil, mereka tidak bisa protes bundanya ada di mana. Setelah mereka agak besaran seperti anak-anak saya sekarang ini, mereka mulai bertanya kalau saya sedang ada kegiatan di luar rumah. “Mama tadi ke mana sih? Mama kok pulangnya malam? Mama, besok Dede ikut Mama ya….” 

Terakhir, sewaktu saya mau pergi ikut kegiatan, Salim, si kecil yang umurnya baru 3 tahun, sudah bisa membaca tanda-tandanya. Dia nempel terus sama saya. Triknya, saya dan suami sama-sama mengeluarkan motor. “Salim naik ke motor Ayah, yaaa…” bujuk saya. Salim tidak mau. Dia tetap mau sama saya. Akhirnya terpaksa dipindahkan dengan paksa sampai menangis-nangis. Itu yang bikin saya telat naik kereta. Tapi, bagaimanapun, tetap harus dibiasakan sesekali bersama dengan ayahnya tanpa mamanya. Bukan apa-apa, anak-anak memang lengket betul sama saya, karena setiap hari bersama saya. Akibatnya, mereka kurang dekat dengan ayahnya. Menurut ahli parenting, perlu ada waktu-waktu khusus seorang ayah bersama dengan anak-anaknya tanpa mamanya. Saat itulah, mamanya bisa “me time” untuk melakukan hobinya. 

Tanpa mengikuti ahli psikologi mana-mana, saya pun merasa perlu “me time,” dan itu bukan berarti saya egois. Setelah 6 hari bersama dengan anak-anak, saya tidak malu mengakui bahwa saya bosan, saya ingin punya waktu sendiri, saya butuh jalan-jalan tanpa direcoki anak-anak, dan itu penting untuk keseimbangan mental. Coba gimana kalau mental ibunya terganggu gara-gara tidak ada “me time,” siapa yang mau tanggung jawab? 

Dari sisi anak-anak dan ayahnya, satu hari bersama itu pun sangat dibutuhkan untuk menguatkan ikatan di antara mereka. Hanya satu hari saja setiap minggu (kadang juga dua minggu sekali) anak-anak bersama dengan ayahnya. Setiap hari, ayahnya pergi pagi, pulang malam (anak-anak sudah tidur). Kapan mereka bisa bercengkerama dengan ayahnya? Kalau ada mamanya, tetap saja larinya ke Mama. Yang penting buat saya, “me time”nya tidak banyak-banyak. Hanya satu hari itu. Saya masih sempat berharap, barangkali nanti kalau anak-anak sudah agak gedean, “me time” nya jadi lebih banyak. Barangkali, lho… sampai saya membaca status-status anak teman saya itu.

APAKAH SAAT ANAK SUDAH BESAR, BUNDA BISA BEBAS??? 

Pertanyaan itu bertalu-talu dalam kepala saya. Bisa, tidak, bisa, tidak, bisa, tidak…. Lalu, saya berpikir, jika anak merasa kesepian di masa remajanya, dia akan ke mana? Siapa yang akan menjadi temannya? Ayahnya jauh, bundanya tidak ada. Bagaimana kalau dia dihampiri oleh teman-teman yang “tidak benar”? Sudah banyak penyakit masyarakat saat ini: hamil di luar nikah, pedofilia, lesbian, gay, transgender, pecandu narkoba, bullying, pecandu video porno, dan sebagainya, barangkali salah satu penyebabnya karena kurang dekapan orangtua. Setelah semuanya mengenai anak kita, baru deh kita marah-marah dan menyesali kenapa bisa begini, begitu, dan seterusnya. 

Barangkali anak-anak yang sudah besar tidak bicara langsung di depan kita bahwa mereka kehilangan kita. Barangkali karena kita sudah berkali-kali meminta pengertian dari mereka, jadi mereka pun tak enak hati untuk komplain. Barangkali untuk mengetahui perasaan mereka, kita mesti membuka semua media sosial yang mereka miliki. BBM, Facebook, Twitter, atau Blog? Coba baca status-status mereka, ada tidak yang seperti status anak teman saya di atas itu. Kalau ada, segera dekap anak kita dan bisikkan bahwa kita siap mendengarkan mereka kapan saja. 

Terima kasih, Dek, sudah ngingetin Tante. Anak-anak, maafin Mama ya sudah berkali-kali berdoa supaya kalian cepat gede. Hiks….

8 comments:

  1. makin nambah umur anak makin nambah tugas orang tua ....anak sholeh dan anak berulah sama-sama ujian buat ayah bundanya...yang sholeh ujian agar sang ortu tidak terperangkap ujub dan riya'. yang berulah ya pasti ujian untuk menjadikannya sholeh hehehe

    ReplyDelete
  2. Aku juga sering mbatin yang sama dengan Mbak Ela. Hehehe.

    ReplyDelete
  3. Itu kegelisahan saya mba. Kadang saya merasa butuh waktu yang benar-benar sendiri. Tapi kadang saya berpikir, egois nggak ya. Kalau lagi jenuh banget suka terlintas pikiran, kapan ya bisa nyante. Ya ampuun..

    ReplyDelete
  4. saya termasuk barisan ibu-ibu merindu anak cepat besar. astaghfirulloh. tfs mbak.

    ReplyDelete
  5. anak tetap anak ya, akan selalu kangen sm orangtuanya terutama ibu...justru saat abege orangtua harus jd teman anaknya...

    ReplyDelete
  6. Jadi ortu itu kontrak yg harus dijalani sampai mati hehe...
    memang kalau anak besar kontraknya tdk berlaku ya?:)

    ReplyDelete
  7. sedih bacanya, anakku sudah besar apa masih kecil ya? kadang aku selalu bilang, kakak sudah gede looh...apa benar? harus begini ngomongnya ya.

    ReplyDelete
  8. jadi ingat dulu pernah nulis
    ingin kuinjak injak skripsi itu yang merenggut waktumu bunda
    hahhaa
    bahkan ketika anak sudah kuliah masih caper ama bundanya

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^