Tanggal 9 Agustus lalu, suami
saya berulangtahun. Menjelang dini hari, saya elus pipinya dan saya kecup
keningnya, lalu mengucapkan selamat tambah umur. Saya juga bertanya, “Mau
dikasih hadiah apa, nih?” Suami saya menjawab dengan mata masih terpejam,
“Nggak usah kasih apa-apa.”
Ah, dia memang begitu. Sejak
tahun pertama kami menikah, dia tidak pernah mau dikasih hadiah. Sebaliknya,
dia sering memberi saya hadiah, bahkan di saat saya sedang tidak berulangtahun.
Bagi saya, kehadiran seorang suami adalah berkah terindah yang diberikan Allah
Swt kepada saya. Dari sejak dia melamar saya menjadi seorang istri, sampai
menjalani hari-hari bersamanya dalam suka maupun duka.
Rumah tangga kami tidak serta
merta dikaruniai banyak kemudahan. Semua berjalan setapak demi setapak. Tidak
selalu berada dalam kondisi damai, pernah juga berselisih paham dan bertengkar.
Di awal pernikahan, saya bahkan beberapa kali pulang ke rumah orangtua saat
sedang bertengkar dengan suami. Saya menikah dengan suami tanpa pacaran dan
sama sekali “blank” dengan sikap,
sifat, dan karakter suami. Saya dan dia berbeda 180 derajat, dan membutuhkan
waktu adaptasi yang cukup panjang.
Suami yang Membantu Mengasuh Anak-anak
Di sosial media sedang gencar
status tentang seorang perempuan yang ingin dipoligami oleh suami orang. Kalau
tidak salah, bunyi statusnya seperti ini: “Lihat bapak-bapak ganteng lagi
nyuapin anaknya, sementara istrinya pilih-pilih baju, jadi pengen bisikin ke
telinganya, Pak, poligami itu boleh lho dalam Islam.”
Hehehe… ketika ibu-ibu lain
“panas” ingin “menonjok” si perempuan pembuat status itu, saya malah
ketawa-ketawa. Status itu menunjukkan bahwa bapak-bapak yang mau ikut mengasuh
anak itu ternyata menjadi dambaan gadis (gadis) muda. Tadinya status itu dibagikan
oleh seorang bapak (seleb facebook) sebagai peringatan untuk para istri atau
hanya sekadar candaan. Maksudnya barangkali begini, “Istri-istri, hati-hati
lho, siapa tahu suamimu yang ganteng sedang jadi incaran gadis-gadis muda,
apalagi kalau kamu menyuruh suamimu mengasuh anak.”
Ibu-ibu pun panas, “Lah memangnya
kenapa kalau bapak-bapak ikut mengasuh anak? Kan istrinya udah cape ngurus anak
selama bapaknya kerja. Wajar dong kalo
bapaknya gantian ngurusin….” Rata-rata ibu-ibu berkomentar seperti itu.
Ada pula komentar-komentar yang lebih lucu, seperti “siapa tahu itu bukan
bapaknya, tapi supir,” atau, “siapa tahu bapaknya pengangguran, jadi wajar dong
kalau ngurusin anak.”
Alhamdulillah, suami saya bukan
pengangguran dan tetap membantu mengurus anak, walaupun istrinya hanya ibu
rumah tangga yang suka tidur, ups…. Yah, tapi itu bukan sudah dari sananya.
Semua butuh proses dan waktu untuk
membuat suami saya menjadi seperti itu (membantu mengurus anak-anak). Saya
masih ingat, ucapan suami saya saat taaruf
(proses perkenalan sebelum menikah). Dia mengatakan, “Saya nggak bisa dekat
sama anak kecil.”
Jujur banget, yah? Xixixi…
Alhamdulillah, itu salah satu sifat baik suami saya. Saking jujurnya, dia tidak
pernah berpura-pura mengatakan bahwa istrinya langsing (padahal gendut),
istrinya mulus (padahal jerawatan), istrinya kalem (padahal cerewet), dan itu
bikin saya mesti nahan napas terus saking kesalnya karena dibilang gendut,
jerawatan, dan cerewet.
Nah, dia jujur mengatakan bahwa
dia tidak bisa dekat dengan anak kecil. Setelah menikah, ucapannya itu memang
terbukti. Sekarang sudah jauh berbeda. Suami saya sudah tidak keberatan lagi
mengasuh anak-anak, bahkan seorang diri bila saya minta izin ke luar rumah.
Suami saya sering memandikan, menyuapi, mengajak bermain, mengajak jalan-jalan
(tanpa saya), bahkan menyeboki. Perubahan itu bukan terjadi tanpa diusahakan.
Komunikasi itu penting sekali.
Istri jangan ragu untuk mengatakan ketidaksukaan dan keinginannya kepada suami.
Saya juga memberikan artikel yang bagus banget, tapi saya lupa keseluruhan
isinya saking panjangnya. Kira-kira isinya begini nih,
“Ayah, suapkanlah aku, supaya nanti aku juga menyuapimu saat kau sudah
tua.”
“Ayah, ajaklah aku bicara, supaya nanti aku juga tidak lupa mengajakmu
bicara saat kau sudah tua.”
“Ayah, mandikanlah aku, supaya nanti aku mau memandikanmu saat kau
sudah meninggal.”
Dan masih panjang lagi isi
artikelnya, yang membuat saya tak tahan menitikkan airmata. Itu artikel yang
sangat menyentuh. Setelah membacanya, keesokan paginya, suami memandikan
anak-anak kami sambil bicara ke mereka, “Ayah mandiin kalian. Nanti kalian juga
mandiin Ayah ya kalau Ayah sudah meninggal.”
Aaargh, mata saya seketika
berkaca-kaca. Akhirnya, suami saya bisa dekat dengan anak-anak. Malah anak
ketiga, si bungsu ini, kalau ayahnya pulang terlambat sedikit saja, sudah ribut
bertanya, “Ayah mana? Ayah mana?”
Jadi, kalau masih ada ibu-ibu
yang merasa suaminya kurang membantu mengasuh anak-anak, barangkali
komunikasinya masih kurang dan perlu ditingkatkan lagi. Saya yakin, tidak
banyak suami yang dikaruniai bakat alam “suka mengasuh anak-anak.” Sebagian
besar suami, perlu belajar untuk itu. Jangankan suami, istri saja harus belajar
dulu untuk bisa mengasuh anak-anak. Istri mesti menjadi partner suami dalam
mendekatkan hubungan antara ayah dan anak-anaknya. Jangan sampai anak merasa
tidak punya ayah. Jika hubungan ayah dan anak-anaknya dekat, itu juga akan
berdampak positif kepada kita sebagai seorang istri. Ketika suami—mungkin—punya
lintasan untuk menyakiti hati istri dengan berselingkuh atau apalah, suami akan
mengingat anak-anaknya, “Kalau saya menduakan ibu mereka, kasihan juga nanti
anak-anak kalau ibunya jadi stress.”
Karena itulah, saya merasa
diberkahi memiliki suami yang tak sungkan meringankan tugas istri dalam
mengasuh anak-anak.
Suami yang Menafkahi Istri dengan Baik
Saya sungguh-sungguh prihatin
dengan rencana perceraian sepasang artis yang baru menikah tiga bulan lalu dan
sang istri sedang hamil dua bulan. Di infotainment, sang istri mengatakan bahwa
salah satu penyebab konflik rumah tangganya adalah karena sang suami tidak
memberikan nafkah. Soal nafkah ini memang sensitif, kita semua juga paham bahwa
suami wajib memberikan nafkah. Sayangnya, tidak ada berita penyeimbang dari
kubu sang suami, jadi kita tidak tahu apakah tuduhan istrinya itu benar.
Alhamdulillah, suami saya telah
menyempurnakan kewajibannya memberikan nafkah keluarga. Semua kebutuhan
keluarga kami telah dipenuhi. Bahkan, bila saya tidak bekerja pun, suami
sanggup memenuhi. Asal saya mau lebih hemat, hehe…. Namun, itu bukan pula tanpa
proses. Yap, lagi-lagi, intinya adalah komunikasi. Istri-istri Nabi juga pernah
meminta tambahan nafkah dari Rasulullah Saw, lho. Jadi, tak ada salahnya istri
mengatakan sejujurnya bahwa uang belanja yang diberikan oleh suaminya itu tidak
cukup. Apalagi kalau suami tidak memberikan nafkah, istri wajib meminta. Yang
penting, jangan memaksa. Bila suami memang tidak punya uang lagi, kita harus
mengerti dan mencoba mencari jalan bagaimana agar nafkah dari suami bisa cukup untuk sebulan.
Sebagai istri, kita juga harus
memiliki sikap Qona’ah (merasa cukup
dengan apa yang diberikan). Materi itu tidak pernah terasa cukup jika kita
tidak merasa cukup. Sudah kaya pun, pasti masih merasa kekurangan. Seorang
istri adalah manajer keuangan dalam keluarga yang harus bisa mengelola
pemberian suami agar cukup. Kalau kurang dan merasa suaminya masih punya
kelebihan rezeki, kita berhak meminta penambahan. Tapi kalau suami memang sudah
tidak punya, ya kita kembali lagi kepada sikap Qona’ah itu.
Ketika istri-istri Rasulullah Saw
meminta penambahan nafkah dan Rasulullah benar-benar tak bisa memberikan, maka
Rasulullah meminta istri-istrinya memilih dirinya atau harta? Jika
istri-istrinya memilih harta, Rasulullah tak segan menceraikan mereka.
Istri-istri Rasulullah tentu saja memilih Rasulullah, karena apalah artinya
harta yang tak sebanding dengan kemuliaan berada di sisi Rasulullah?
Karena itulah, saya merasa
diberkahi memiliki suami yang menunaikan kewajibannya memberikan nafkah lahir
dan batin kepada istri dan anak-anaknya.
Suami yang Mendukung Karir Istri
Kalau ditanya karir saya apa?
Selain menjadi ibu rumah tangga penuh waktu di rumah, saya juga menyambi
sebagai penulis lepas. Nulis apa saja yang saya bisa. Suami sudah tahu profesi
sampingan saya itu dari sebelum menikah. Dia membaca tulisan-tulisan saya di
blog (saat itu masih Multiply), yang justru semakin memantapkannya memilih saya
sebagai istri (karena banyaknya informasi mengenai saya :D). Saya kira, itu
berarti kelak dia akan mendukung karir kepenulisan.
Suami tidak melarang saya untuk
menulis, tetapi dia melarang saya menulis kehidupan pribadi, terutama setelah
menikah. Padahal, inspirasi datang dari mana saja, termasuk kehidupan pribadi.
Yang penting kita pandai memilah dan memilih, mana yang baik untuk dibagikan,
mana yang sebaiknya disimpan untuk sendiri. Sayangnya, saya malah jadi mandeg
menulis karena khawatir apa yang menurut saya baik, ternyata tidak baik menurut
suami saya. Suami sempat memantau blog saya dan kalau saya sudah bercerita
sedikit tentang kami, dia langsung menyuruh saya untuk menghapusnya. Waduuuh!
Akhirnya, saya memilih untuk
berhenti menulis sampai tiga tahun. Saat itulah suami melihat saya seperti
orang yang tidak bersemangat, muram, dan tak bergairah. Solusinya? Komunikasi.
Lagi. Setelah menahan gejolak itu cukup lama, saya pun menceritakan semua
kegundahan itu, bahwa saya rindu menulis. Saya merasa bosan di rumah. Saya
ingin punya aktivitas lain selain menunggui anak-anak. Saya ingin menulis tanpa
dimata-matai.
Kejutaaan…. Tiba-tiba suami
menghadiahkan saya sebuah modem. Modem pertama yang menyambungkan saya dengan
dunia luar. Suami juga rutin mengisikan pulsa internet. Suami membukakan akun
facebook, bahkan menyarankan saya untuk membuat blog di blogspot. Suami juga
yang menyuruh saya untuk punya domain pribadi, tapi saat itu saya abaikan
karena saya belum tergerak untuk ngeblog. Saya hanya menulis di notes-notes
facebook, sampai kemudian berkenalan dengan ibu-ibu blogger dan mulai aktif
ngeblog. Buku-buku saya pun bermunculan kembali dan dua di antaranya berisi kisah saya dan suami, hihihi.... Judulnya: Rahasia Pengantin Baru (ehm!) dan Catatan Hati Ibu Bahagia (yang kemudian saya jadikan judul blog ini). Saat buku Rahasia Pengantin Baru itu terbit, suami membacanya sekilas. Mulanya saya khawatir dia marah karena saya sudah menceritakan sedikit tentang proses pernikahan kami, ternyata dia malah senyum-senyum dan bilang, "Aku mau pajang buku ini di meja kerjaku, ah. Nanti aku bilang ke teman-teman, istriku nulis ini buat aku." Hiks, saya terharu, ternyata suami tidak marah tapi malah bangga. Suami pula yang membukakan
akun Linkedin, Twitter, Path, dan Instagram.
Ketika komputer saya rusak, suami
pula yang membelikan laptop baru, benar-benar dari uang suami, bukan uang saya,
meskipun saya punya royalti dari penjualan buku-buku saya. Ketika modem yang
lama rusak, suami juga yang membelikan modem baru. Modem yang sekarang saya
pakai adalah modem ketiga yang dibelikan oleh suami. Ketika saya ingin sesekali
mengikuti kegiatan kepenulisan di luar dan atau kegiatan-kegiatan blogger
gathering, suami akan mendampingi atau menggantikan tugas pengasuhan anak.
Syaratnya, kegiatan itu dilakukan saat akhir pekan, karena hari-hari biasa kan
suami bekerja di kantor.
Sudah beberapa kali suami
mengantarkan saya ke tempat acara, dengan membawa anak-anak. Selagi saya
mengikuti kegiatan, baik itu sebagai pembicara dalam pelatihan kepenulisan
ataupun sekadar menjadi peserta di acara blogger gathering, suami menunggui
anak-anak di tempat yang tak jauh dari lokasi acara. Suami sabar menunggui saya
sambil mengasuh ketiga anak kami yang masih kecil-kecil. Itulah bentuk dukungan
suami kepada saya. Termasuk ketika saya ganti ke domain pribadi di blog www.leylahana.com, suami juga yang
mengutak-atiknya, meskipun dia sebelumnya tidak
mengerti IT.
Karena itulah, saya merasa
diberkahi memiliki suami yang mendukung
karir kepenulisan saya.
Di bulan Agustus ini, begitu
penuh harapan saya untuk kesehatan, kebahagiaan, dan keselamatan suami di dunia
dan akhirat. Semoga dia tetap menjadi suami yang diberkahi. Aamiin…. Tulisan ini sekadar untuk mensyukuri nikmat Allah Swt yang begitu besar bagi saya, karena kehadiran seorang suami sangat berarti.
Hiks jadi pengen punya suami juga nih mak hwaaa
ReplyDeleteMasyaallah...rezeki banget ya mbak punya suami kaya gitu...
ReplyDeleteBetewe... buku baru tuh? Kerenn..... :)
Benar2 berkah yaa punya suami. Yg pengertian
ReplyDeleteselamat atas kerberkahan yang mbak Ela terima, semoga sakinah mawaddwah warohmah hingga ke jannah :)
ReplyDeletembaa.... suami saya pun selalu membantu saya dlm pengasuhan anak, karena memang sama2 berkewajiban utk itu. Makanya anak2 saya dekat banget sama suami :)
ReplyDeletesuami setia ya mendukung pekerjaan dan aktivitas istri juga mau mengantar
ReplyDeletesenang ya kalau suami mendukung apa yang kita sukai
ReplyDeleteAlhamdulillah suami saya juga pengertian dan sabar banget dengan saya, Mbak.. suka bantu masak an nyuci pas wiken. trus bilang kalau nanti saya hami dan punya anak gak perlu pembantu cukup beliau saja yg membantu saya.. bahagiaaaa
ReplyDeleteWaaah suaminya mendukung banget yaa semua semuanyaaa.. Alhamdulillah :D
ReplyDeletewah salut mba... dan sdikit iri baca cerita mu :).. memang sih komunikasi itu ptg bgt ya... tp dlm kenyataannya, kok ya susah dipraktekkan -__-..
ReplyDeletewah ... saya baca judulnya aja udah terharu mbak , bagaimana kalau baca isi nya ... ehmmmm
ReplyDeletesemoga suamiku bisa seperti itu , ...........amin
ReplyDelete