Bekerja dari rumah |
“Maa… mbo (mobil)… mboo (mobil)….”
Salim mencoba menarik-narik mobil mainannya dari rambut
saya. Aaaarghh! Ternyata mobil mainan itu nyangkut di rambut saya! Rambut saya
membelit roda mobil sehingga mobilnya sulit ditarik. Gara-gara asyik mengetik
di komputer, saya sampai tidak sadar Salim menghidupkan mobil mainan berbaterai
itu sehingga roda mobilnya menggelung rambut saya. Ihikksss… saat itu juga, si
bibi (asisten rumah tangga yang tugasnya hanya mengurus rumah, minus menjaga
anak) memangkas rambut panjang saya, padahal saya tidak ada rencana memotong
rambut. Huhuhu… nasi sudah jadi bubur. Kejadian itu hanya satu dari ribuan
kejadian yang terjadi setiap saya mulai bekerja di rumah.
Sudah sejak 8 tahun lalu saya memutuskan bekerja dari rumah,
dimulai satu bulan setelah menikah. Saya sudah merencanakannya jauh sebelum
menikah, sampai memilih suami pun harus yang setuju dengan keputusan saya
kelak, yaitu bekerja dari rumah. Jadi, suami saya justru senang ketika saya
memutuskan resign dari kantor, sehingga
bisa fokus mengurus rumah dan anak-anak. Gaji dari kantor rasa-rasanya tidak
bisa membayar kompensasi dari meninggalkan pekerjaan rumah tangga, karena gaji
saya hanya terpaut beberapa ratus ribu dengan Upah Miminum Regional (UMR),
hehehe… Dipakai untuk ongkos transportasi dan makan saja sudah habis. Apalagi
kalau nanti saya sudah punya anak, saya harus membayar pembantu dan pengasuh
anak. Cukup tidak ya gajinya?
Selain itu, sejak masih lajang, saya juga sudah memulai
karir sebagai penulis buku (novel dan nonfiksi). Saya pikir, jika saya bisa
fokus menulis, hasilnya bisa melebihi atau minimal menyamai gaji kantoran.
Kecuali kalau gaji saya 10 juta per bulan, mungkin saya akan pikir-pikir lagi
untuk resign hehe…. Berhubung gajinya
juga ngepas, sepertinya sih tidak rugi kalau resign. Bismillah… saya ambil keputusan resign. Bulan-bulan pertama, saya masih bisa fokus menulis. Setelah
kondisi tubuh menunjukkan tanda-tanda hamil, saya berhenti menulis! Gara-gara
gagal KB, dalam waktu dua tahun, saya punya dua bayi. Ya sudah deh, saya vakum
menulis selama 3 tahun! Itu berarti, saya gagal bekerja dari rumah.
Setelah anak-anak berusia 4 dan 3 tahun, saya kembali
bekerja dari rumah. Sebelumnya, dua kali saya mendapatkan tawaran bekerja
kantoran, tapi pertimbangannya selalu anak-anak. Nanti anak-anak sama siapa?
Sepertinya ini memang sudah takdir saya ya kerja dari rumah. Mencari pengasuh
anak, susahnya bukan main. Mengandalkan ibu mertua? Tidak mungkin. Kasihan
atuhlah, sudah tua disuruh mengasuh dua anak laki-laki yang sedang
aktif-aktifnya. Lagipula, ibu mertua saya ada di kampung. Ibu saya sendiri
sudah meninggal dunia. Saya memang harus sendirian mengasuh anak-anak. Saya
mulai aktif menulis sambil mengasuh anak. Susah? Bangeeet!
Banyak kejadian menggemaskan selama bekerja sambil mengasuh
anak-anak. Kejadian di atas hanya salah satunya. Kejadian lainnya:
- Anak yang paling kecil menuangkan deterjen satu (1) kilogram ke bak mandi, saat saya sedang fokus mengetik.
- Dua anak berantem di belakang saya, saat saya sedang konsentrasi menulis. Otomatis, konsentrasi buyar dan bahan tulisan yang sudah ada di kepala pun lenyap.
- Punya ide nulis, tapi tidak bisa cepat-cepat dituangkan, karena si kecil masih asyik nyenyen (menyusu ASI). Sering kali saya mengetik sambil menyusui.
- Anak-anak protes kalau saya kelamaan mengetik, “kenapa sih Mama kerja terus? Kenapa sih Mama ngetik terus?”
- Anak-anak naik ke atas meja tempat saya mengetik, sambil tertawa-tawa dan berlari-larian. Draft tulisan hilang, tidak sengaja terhapus.
- Baru mau ngetik, laptop direbut si kecil dan dipakai untuk main game.
Dan masih banyak lagi kejadian lain yang bisa bikin
senyum-senyum kesal mengingatnya :D
Di luar itu, bekerja dari rumah memang sangat mengasyikkan, terutama
untuk ibu-ibu yang sudah beranak (anak banyak) macam saya. Di sini
keasyikannya:
- Lebih hemat, tidak keluar ongkos untuk bayar pengasuh anak, biaya beli baju dan aksesoris kantoran, minim biaya kosmetik (paling cuman pakai lipstick dan bedak, itupun dipakai kalau mau pergi saja dan perginya jarang :D), biaya transportasi dan makan di luar, dan biaya-biaya lain (termasuk biaya susu formula, diapers, tidak perlu repot memerah ASI, dan sebagainya).
- Bisa menemani anak-anak dan menyaksikan perkembangannya selama 24 jam, apalagi saat anak masih bayi dan balita. Setiap hari ada saja perkembangannya, yang mulai mengoceh, tumbuh gigi, berjalan, dan lain-lain. Terutama sekali, bisa menjaga anak saat sakit. Dulu, saya sering mendengar teman-teman kantor yang mengeluh tidak bisa menemani anaknya yang sedang sakit.
- Lebih yakin dengan mengasuh sendiri, tidak cemas dan was-was karena menitipkan anak-anak ke orang lain. Jujur, saya protektif banget sama anak-anak. Bila suatu waktu harus meninggalkan mereka dengan orang lain (meskipun dengan ibu mertua sendiri), saya suka cemas.
- Bisa tidur siang! Uhuuuii! Tidur siang ini penting buat saya. Sejak kuliah, saya terkenal senang tidur siang ahahaha… Waktu masih ngantor pun, saya memanfaatkan jam istirahat siang untuk tidur. Lumayanlah walau sebentar. Bekerja di rumah, sudah tentu saya bisa mengatur sendiri kapan mau tidur siang. Biasanya disesuaikan dengan jam tidur siang anak-anak.
- Waktu kerja yang fleksibel, mau jam berapa saja yang penting deadline tercapai. Tidak perlu dandan dulu kalau mau kerja, masih dasteran dan belum mandi pun hayo ajah.
- Tidak capai berdesakan di dalam kendaraan umum, apalagi kerja di Jakarta ya kalau mau cepat harus naik kereta listrik (KRL). Wow! Kondisinya amit-amit, deh. Gelantungan? Masih mending. Dempet-dempetan sampai jadi penyet, itu yang bikin menderita. Saya saja sampai sesak napas, ketika mencoba merasakan naik KRL di jam berangkat kantor ahahaha…. Potensi mengalami pelecehan seksual pun terbuka lebar. Teman saya sudah pernah merasakannya. Gerbong khusus wanita? Hanya ada satu, itupun rebutan. Wong penumpang wanita itu lebih banyak daripada penumpang laki-laki.
Kerja sambil melihat anak-anak yang sedang tidur :D |
Berapa hasilnya dari bekerja di rumah? Hasilnya memang tidak
tentu, karena saya penulis lepas, terkadang merangkap editor dan blogger.
Baru-baru ini saya juga membuka kursus menulis novel secara online. Saya tidak
menghitung-hitung berapa penghasilannya, tapi insya Allah sudah banyak membantu
perekonomian keluarga. Menambah uang belanja, membayar cicilan kredit dan pajak
mobil, menambahi biaya DP mobil, menambahi biaya renovasi rumah, membeli
perabotan rumah tangga, menambahi biaya sekolah anak, dan lain-lain. Sifatnya
memang “menambahi” karena tanggung jawab utama ada di tangan suami. Saya juga
bisa rutin mengirim uang untuk orangtua dan bersedekah. Buat saya, itu sudah
cukup. Yang penting, setiap ada kebutuhan, insya Allah ada uangnya.
wah mbak Leyla kerja dair rumah aja cantik gitu :) BErapapun hasilnya harus selalu disyukuri ya
ReplyDeleteWih, kerja dari rumah tapi penghasilannya lumayan gitu ya..
ReplyDeleteSemangat terus.
ReplyDeleteemang bener2 asik ya bekerja dirumah..eh itu tembok kok banyak coretannya ya..kreatif banget hehehe
ReplyDeletePengin ikut tp kehabisan ide krn sdh bbrp kali nulis ttg ini. Ibu bekerja di atau dari rumah memang paling cocok untuk mereka yg bertekad selalu mendampingi pertumbuhan anak2nya :)
ReplyDeleteHaha sama mbak kayak anakku suka protes, tanya, Mama kok kerja terus? Apa ngga capek? hihii
ReplyDeleteKeren Mak Leyla.
ReplyDeleteSemoga besok sy bisa ikut jejak Mek Leyla ^_^
pekerjaan impian banget neh jadia ibu rumah tangga heheheh
ReplyDeletewiiihh...keren mbak...semua bisa ditambahi ya...mau juga dong mbak, ajari hehe... :D
ReplyDeletewahhh keren banget mak..seabrek kesibukan di rumah, masih sangat produktif nulis novel dan baca novel ratusan pula...saluutt banget...semoga selalu dilancarkan ya Mak..Aamiin
ReplyDelete