Kakak dan selimutnya |
"Selimuuuuttt...."
Setelah sampai di Garut dan hendak melepas lelah, tahu-tahu si Kakak meneriakkan satu kata keramat itu. OH MY GOD! Saya lupa membawa selimut si Kakak. Selimut andalan untuk membuat tidurnya tenang. Malam itu, kami pun pontang-panting mendamaikan si Kakak yang rewel karena selimutnya lupa terbawa. Diganti oleh selimut yang lain, tetap nggak mau.
Selimut itu dibelikan oleh suami saat kandungan saya berumur 7 bulan. Calon anak pertama. Ya, si Kakak itu. Saya masih ingat saat membeli selimut itu, suami memilih selimut yang paling bagus dan harganya paling mahal di toko itu, Rp 42.000, lebih mahal daripada yang lain. Terbuat dari bulu-bulu yang halus, berwarna cokelat dan ada gambar hati warna merah. Gambar utamanya, wajah seekor beruang. Selimut itulah yang lebih sering dipakai setelah si Kakak lahir. Harganya jangan dibandingkan dengan harga perlengkapan bayi yang dijual di butik ya, karena saya belinya di butik pasar tradisional hehehe.....
Barangkali karena kesundulan dan harus punya adik lagi di usia setahun, si Kakak jadi lebih akrab dengan selimutnya daripada dengan saya. Dibandingkan dengan dua adiknya, memang hanya si Kakak yang bergantung pada selimut. Selimut itu bahkan dibawa ke mana-mana, menjadi benda yang wajib dibawa saat jalan-jalan. Saya pernah membaca referensi mengenai ketergantungan bayi terhadap benda-benda tertentu, seperti selimut, dikarenakan bayi butuh dipeluk. Kalau nggak ada orang dewasa yang memeluk (khususnya ibu), maka dia akan mencari benda lain yang bisa dipeluk, antara lain: boneka, selimut, bantal, dan sebagainya. Mengapa bayi butuh dipeluk? Karena bayi butuh rasa aman dan nyaman. Jika orangtua atau pengasuh sudah memberikan rasa aman dan nyaman itu, bayi tak akan membutuhkan barang-barang lagi.
Hiks, kalau ingat itu, di situ kadang saya suka sedih. Memang, sejak punya adik, saya jarang memeluk si Kakak. Saya lebih banyak memeluk adiknya yang masih bayi, karena sambil memberi ASI. Sekarang juga si Kakak suka risih kalau saya peluk, "Mama ngapain, sih?" tanyanya sambil bergidik geli. Beda dengan dua adiknya yang justru meluk-meluk saya terus. Nggak heran kalau si Kakak jadi bergantung dengan selimut itu. Ke mana-mana harus membawa selimut itu. Kalau nggak bawa, bisa rewel dan nggak tidur.
Lalu, apa akhir dari kisah di atas? Besok paginya, kami langsung ke pasar dan membeli selimut yang serupa tapi tak sama. Kami membeli selimut dari bahan bulu lagi dengan gambar yang mirip, tapi warnanya berbeda dan harganya juga lebih murah. Bulunya juga lebih tipis. Awalnya, si Kakak menolak karena itu bukan selimutnya. Tapi, lama-lama mau juga pakai itu. Alhamdulillah, si Kakak jadi punya dua selimut. Asal jangan dua-duanya tertinggal di rumah!
Ada ada aja ya mak tingkah si kecil.
ReplyDeleteSi kakak meluk selimut.
Kalok si ken (anak eikeh) malah meluk dengkul alias lutut daku. Jd kalaunmau tdur nyariin lutut daku. Lutut bidadari...wkwkwkwk.
Sukses ngontesnya lg ya mak amin :)
gak bisa tidur tanpa selimut kesayangannya ya, untungnya ada yang mirip ya sleimutnya
ReplyDeleteHiks...susahnya berbagi perhatian sama anak ya..tapi si kakak jadi gamau dipeluk ya...
ReplyDeletewaaah.... ternyata punya selimut kesayangan ya... :)
ReplyDeleteHiks jadi ikut merasa sedih bacanya ya..baru tau klo anak yg tergantung sm barang kesayangan gitu artinya dia kangen pelukan Org tuanya...sukses ya mak;)
ReplyDeleteMemang kelihatan adem selimutnya, Mak :)
ReplyDelete