R.A. Kartini |
21 April selalu diperingati
sebagai Hari Kartini, hari yang menandai kebangkitan perempuan Indonesia.
Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi perempuan Indonesia karena
surat-suratnya yang menginspirasi. Perempuan Jawa pada zaman Kartini, terbelenggu oleh adat dan tradisi. Di usia
belasan, tradisi pingit telah diterapkan.
Sekolah tak selesai. Jodoh tak bisa digugat. Begitulah Kartini. Memendam
cita agar perempuan mendapatkan pendidikan. Tak sekadar menjadi istri yang
pandai di dapur, di sumur, dan di kasur.
Tak kurang dari 135 tahun telah
berlalu, perempuan masa kini telah melampaui cita-cita Kartini. Pendidikan
telah dikenyam sebagian besar perempuan, eksis di berbagai bidang, hingga
sanggup berdiri sejajar bersama laki-laki. Ada banyak perempuan Indonesia yang
berprestasi, mengangkat nama Indonesia hingga kancah internasional. Sebutlah
Susi Susanti di bidang olah raga, Sri Mulyani
mantan Menteri Ekonomi, Megawati mantan Presiden RI, Martha Tilaar
pengusaha kosmetika alami Indonesia, Najwa Shihab pembawa berita televisi, Karen
Agustiawan Dirut Pertamina, Helvy Tiana Rosa sastrawati ternama, dan lain-lain.
Semua berprestasi di bidangnya masing-masing.
Setiap tahun, menjelang tanggal
21 April, gaung emansipasi semakin kencang. Semua orang, dari usia balita
sampai dewasa, merayakan hari kelahiran Kartini, yang juga dijadikan penanda
emansipasi perempuan. Ajang-ajang pemilihan Kartini modern pun diadakan dengan
tujuan menginspirasi perempuan lain agar bersemangat memajukan diri sendiri dan
sekitarnya.
Helvy Tiana Rosa, sastrawati Indonesia yang telah mendunia |
Kartini Membawa Misi Pendidikan
Perjuangan Kartini di masa
sebelum kemerdekaan berbeda dengan perjuangan pahlawan lainnya yang mengangkat
senjata dan berperang. Kartini berjuang melalui pendidikan. Beliau ingin
bersekolah hingga tinggi, sebagaimana kakak-kakak lelakinya. Beliau bersekolah
di ELS (Europese Lagere School), sekolah untuk anak-anak Eropa. Kartini
beruntung bisa masuk ke sekolah itu, karena bapaknya seorang bangsawan dan juga
Bupati Jepara. Kartini belajar Bahasa Belanda dan bergaul dengan teman-teman
Eropa, sehingga bisa berbahasa Belanda. Sayangnya, di usia 12,5 tahun, Kartini
harus berhenti sekolah dan menjalani tradisi pingitan, tradisi yang diterapkan
kepada seluruh perempuan Jawa di masa itu.
Walaupun hanya sebentar mengenyam
pendidikan, Kartini memiliki ide-ide yang fenomenal, tentang bagaimana
mengangkat derajat kaum perempuan Indonesia, khususnya perempuan Jawa. Pemikirannya
disampaikan melalui surat-surat yang dikirimkannya kepada teman-temannya di
Eropa. Kartini ingin perempuan memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan
yang sejajar dengan kaum laki-laki. Berikut adalah sebagian isi surat Kartini
yang ditulis pada tahun 1901, tentang keinginannya agar seluruh perempuan
mendapatkan pendidikan:
“Masyarakat kita pasti bahagia kalau wanita-wanitanya mendapat
pendidikan yang baik. Di dunia wanita kita terdapat banyak derita yang pedih. Penderitaan
yang telah saya saksikan waktu saya masih kanak-kanak itulah yang membangkitkan
keinginan saya membawa arus yang tidak mau membenarkan saja keadaan-keadaan
yang kolot.
Kami sekali-sekali tidak ingin membuat murid-murid kami menjadi
orang-orang setengah Eropah atau orang Jawa-Eropah. Dengan pendidikan bebas, kami bermaksud pertama-tama membuat orang Jawa
menjadi orang Jawa sejati, yang menyala-nyala dengan cinta dan semangat
terhadap nusa bangsanya, terbuka dengan mata dan hati terhadap keindahan serta
kebutuhannya. Kami hendak memberikan kepada mereka segala yang baik dari
kebudayaan Eropah, bukan untuk mendesak atau mengganti keindahan mereka
sendiri, melainkan untuk menyempurnakannya.”
Kartini bercita-cita memberikan
pendidikan untuk perempuan Indonesia, khususnya Jawa, karena ia melihat kaum
perempuan di Jawa memiliki status sosial yang rendah dan kerap diperlakukan
tidak adil di dalam masyarakat. Pendidikan akan mengangkat kaum perempuan dari
ketertindasan dan kesewenang-sewenangan. Setelah menikah dengan Bupati Rembang,
Kartini diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang. Kini telah berdiri pula Sekolah
Kartini di Semarang yang didirikan oleh Yayasan Kartini.
Cita-cita Kartini agar perempuan
Indonesia mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum lelaki, kini telah
tercapai. Walaupun masih banyak kaum perempuan yang belum mendapatkan
pendidikan karena ketidakmampuan orang tua, kaum perempuan terdidik mudah kita
jumpai di mana-mana di Indonesia. Tentu saja, kita masih memiliki PR besar,
karena belum semua perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak. Di
kampung-kampung, masih banyak didapati perempuan putus sekolah di usia muda
karena harus bekerja menjadi pekerja rumah tangga atau buruh migran. Banyak juga
yang putus sekolah karena menikah terlalu dini. Hal itu dikarenakan budaya yang
sudah mengakar, bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena hanya
akan tinggal di rumah, dan ketidakmampuan orang tua dalam membiayai pendidikan
anak-anaknya.
Saya memiliki satu kisah nyata
yang diceritakan oleh mantan asisten pembantu rumah tanggga di depan rumah
saya. Dia baru lulus Sekolah Dasar ketika melamar pekerjaan sebagai Pembantu
Rumah Tangga di komplek-komplek perumahan. Dia berasal dari kampung terpelosok
di Banten. Orang tuanya memiliki tiga anak, dua perempuan dan satu lelaki. Dia
adalah anak perempuan pertama, anak sulung. Seharusnya dia mendapatkan hak
untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, tetapi orang tuanya
mengutamakan adik lelakinya, dengan alasan dia hanya seorang anak perempuan. Orang
tuanya hanya mampu menyekolahkan satu anak, dan yang dipilih adalah anak
laki-laki karena anak laki-laki kelak akan bertanggung jawab kepada
keluarganya, sedangkan anak perempuan akan dibawa oleh suaminya. Dengan kata
lain, percuma memberikan pendidikan tinggi untuk anak perempuan karena tidak
akan membawa manfaat apa-apa untuk orang tua.
Sungguh sangat ironis, di masa
ketika pendidikan telah menjadi kebutuhan pokok, masih ada orang tua yang tidak
mau berjuang untuk pendidikan anaknya dan memilih-milih gender. Anak-anak
perempuan yang tidak beruntung itu dipaksa bekerja di usia muda sebagai
pembantu rumah tangga atau bahkan menjadi buruh migran. Akibat kurangnya
pendidikan, mereka tertimpa masalah di negeri orang sebagaimana yang dialami
oleh Satinah, yang nyaris dihukum gantung karena terlibat tindakan kriminal di
rumah majikannya. Kasus Satinah hanya satu dari ratusan kasus lain.
Kartini Itu Menulis
Apa yang membuat Kartini begitu
dikenang dan namanya dikaitkan dengan kebangkitan emansipasi perempuan
dibandingkan pahlawan perempuan lainnya di Indonesia? Kita mengenal nama Cut
Nyak Dien, Malahayati, Dewi Sartika, Christina Martha Tiahahu, dan banyak
pahlawan wanita lainnya yang namanya diabadikan di dalam sejarah, tetapi
mengapa hanya Kartini yang diperingati hari kelahirannya setiap tahun? Tak lain
dan tak bukan karena Kartini menulis. Kepahlawanan Kartini terabadikan di dalam
surat-surat yang ditujukan untuk rekan-rekannya di Belanda, kemudian surat itu
dibukukan oleh Mrs Abendanon, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan
judul “Habis Gelap, Terbitlah Terang.” Kartini juga sering menulis artikel di Koran-koran
dalam Bahasa Belanda. Dunia pun mengetahui ide-ide Kartini yang abadi hingga kini.
Seorang penulis bisa mati, tetapi tulisannya akan tetap hidup sampai kapan pun.
Di masa kini, sebuah tulisan
dapat tersebar secara luas melalui teknologi internet. Media sosial memberikan
fasilitas untuk menuliskan ide-ide dan pemikiran kita. Facebook, Twitter, Blog,
tak hanya hanya dijadikan tempat menjalin pertemanan, tetapi juga menyediakan tempat
untuk menyumbangkan pemikiran. Tulislah hasil pikiran Anda di blog dan sebarkan
kepada dunia. Dunia akan mengenal siapa Anda. Bahkan pikiran Anda, bisa
menginspirasi orang lain.
Perempuan Indonesia Masa Kini Antara Tuntutan dan Eksistensi
Perempuan masa kini mengalami
dilema antara tuntutan dan eksistensi, khususnya perempuan yang sudah menikah
dan memiliki anak. Mau tidak mau, seorang perempuan tetap harus melaksanakan
kewajibannya sebagai ibu dan istri. Karir yang dijalani seorang perempuan acap
kali membuatnya “terpaksa” mendelegasikan tugas kerumahtanggaan kepada pembantu
rumah tangga atau keluarga dekat. Banyak perempuan pekerja yang bekerja di luar
rumah, tetapi hatinya berada di dalam rumah. Pikirannya selalu tertuju ke
rumah, memikirkan anak-anaknya yang diasuh oleh orang lain atau sedang sakit
tapi sang Ibu tak dapat menjaganya.
Belakangan, banyak perempuan
terdidik dengan pendidikan minimal strata satu yang memutuskan untuk tidak
berkarir dan fokus pada pengasuhan anak. Mereka bukan berarti tidak mau berdiri
sejajar dengan para pria dalam berbagai sektor pekerjaan, tapi mereka memilih
untuk total mengasuh anak-anak, agar anak-anak mendapatkan pendidikan yang baik
dari ibunya sendiri. Sesungguhnya, hal ini juga sejalan dengan cita-cita
Kartini, yang ingin memberikan pendidikan kepada kaum Ibu.
“Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting
dalam hal pendidikan moral kepada masyarakat? Dialah orang yang sangat tepat
pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak)
untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas
itu padanya.
Sebagai seorang Ibu, wanita
merupakan pengajar dan pendidik yang pertama. Dalam pangkuannyalah seorang anak pertama-tama belajar merasa,
berpikir, dan berbicara, dan dalam hal pendidikan pertama ini mempunyai arti
yang besar bagi seluruh hidup anak…..
Tangan ibulah yang dapat meletakkan dalam hati sanubari manusia unsur pertama
kebaikan atau kejahatan, yang nantinya akan sangat berarti dan berpengaruh pada
kehidupan selanjutnya. Tidak begitu saja dikatakan bahwa kebaikan ataupun
kejahatan itu diminum bersama susu ibu. Dan bagaimanakah ibu Jawa dapat mendidik anak kalau ia sendiri tidak
berpendidikan?
Hanya sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. Lingkungan keluarga
(orang tua) harus membantu juga. Malahan lebih-lebih keluargalah yang
seharusnya datang kekuatan mendidik. Ingatlah! Keluarga (orang tua) dapat
memberikan pengaruhnya siang-malam, sedang sekolah hanya beberapa jam saja….
Binalah mereka (putri-putri bangsawan) menjadi ibu-ibu yang pandai,
cakap, dan sopan. Mereka akan giat menyebarkan kebudayaan di kalangan rakyat.
Sadar akan panggilan moral dalam masyarakat mereka akan menjadi ibu-ibu yang
penuh kasih sayang, pendidik yang baik dan berguna bagi masyarakat yang
memerlukan bantuan dalam segala bidang.” (Berikanlah
Pendidikan kepada Bangsa Jawa *baca: Indonesia. Nota R.A Kartini tahun 1903
yang dipublikasikan melalui berbagai surat kabar).
Jika seorang perempuan hanya di
rumah, bagaimana dengan eksistensinya? Apakah ia hanya bisa mendidik
anak-anaknya saja?
Pemberdayaan Wanita menjadi salah satu dari empat pilar PSF (Putra Sampoerna Foundation) |
Ibu Rumah Tangga yang Menulis
Ibu rumah tangga, apa yang
terbersit dalam benak Anda ketika mendengar kata itu? Perempuan yang hanya di
rumah dan melakukan pekerjaan monoton seperti membersihkan rumah dan menjaga
anak-anak? Masih saja ada anggapan miring bila seorang perempuan berpendidikan
memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga saja, “Buat apa sekolah tinggi-tinggi
kalau “cuma” di rumah?” Pekerjaan ibu rumah tangga hanya dipandang sebelah
mata, karena tidak menunjukkan prestasi apa pun dan tidak menghasilkan rupiah. Orang
tua merasa harus menyekolahkan anak tinggi-tinggi agar kelak anaknya
mendapatkan pekerjaan yang mapan dan imbalan materi yang besar. Jika seorang
anak perempuan yang sudah disekolahkan tinggi-tinggi, kemudian memutuskan untuk
berkarir di rumah, orang tua akan kecewa bukan main karena merasa percuma telah
menyekolahkan anaknya.
Stop berpikiran seperti itu
karena eksistensi seorang perempuan juga bisa dibangun dari rumah. Ada banyak
pilihan karir yang bisa dibangun dari rumah, salah satunya adalah menulis. Ya,
menulis, seperti yang dilakukan oleh ibu kita Kartini. Beliau menulis dan
menyumbangkan pemikirannya untuk kaum perempuan melalui surat-surat dan
artikel-artikel yang ditulisnya. Beliau juga
mendirikan sekolah yang letaknya dekat dengan rumahnya. Tulisan adalah sebuah
karya yang tidak dibatasi oleh tempat.
Saya adalah seorang perempuan
berpendidikan Sarjana yang memilih untuk berkarir dari rumah dan menyumbangkan
pemikiran saya melalui tulisan. Saya berterima kasih kepada orang tua atas
usaha mereka menyekolahkan saya, meskipun dalam keterbatasan. Mereka memiliki
empat anak perempuan dan yang tiga sudah berpendidikan Sarjana. Sebagai seorang
abdi Negara dengan gaji kecil, itu adalah prestasi yang luar biasa bagi orang
tua saya. Mereka tidak memandang jenis kelamin anak-anaknya. Walaupun kami
berempat adalah anak perempuan, mereka tetap menyekolahkan kami sampai Sarjana.
Saya bersama ibu-ibu rumah tangga yang belajar menulis di BAW Community |
Berada di rumah, bukan berarti
saya tidak bisa menyumbangkan pemikiran saya. Teknologi internet telah
memudahkan saya untuk menulis di jejaring sosial. Blog ini adalah salah
satunya. Saya juga mendirikan sekolah menulis melalui internet dengan nama BAW
Indonesia (Be A Writer, BAW Community). Saya bersama beberapa teman bermaksud
memberikan sedikit ilmu kami dalam tulis menulis kepada generasi muda maupun
ibu-ibu rumah tangga yang ingin belajar menulis. Saya tidak perlu ke luar rumah
untuk berbagi ilmu menulis, karena semua dilakukan melalui internet. Interaksi
aktif dilakukan melalui grup BAW Community di facebook. Kami juga membuat blog,
twitter, dan fanspage agar lebih banyak lagi ilmu menulis yang bisa dibagikan.
Twitter @BAWCommunity |
Blog BAW |
Saya sendiri masih harus banyak
belajar menulis. Saya tidak menganggap diri saya lebih baik dari teman-teman
penulis lain. Yang membuat saya terharu adalah, sebagian besar anggota BAW
Community adalah IBU RUMAH TANGGA. Mereka adalah perempuan terdidik yang
memutuskan untuk berkarir dari rumah dengan menjadi penulis dan membagi pikiran
mereka melalui tulisan. Seperti yang dilakukan oleh Kartini, 135 tahun yang
lalu. Dengan begitu, kami bisa mengatasi
dilema antara tuntutan dan eksistensi. Kami masih bisa eksis melalui
tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai media. Tulisan-tulisan yang
dipublikasikan itu tak jarang memberikan manfaat secara materi pula, yang
berguna untuk diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.
Tulisan ini disertakan dalam PSF Bloggers Award
Sumber Penulisan:
http://sosok.kompasiana.com/2012/04/20/mengenal-dan-memahami-pemikiran-ibu-kita-kartini-melalui-tulisan-tulisannya-456880.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartini
sukses mbaa lombanya, keren, aku mau ikutan tapi bingung mo nulis apa hahaha
ReplyDeleteAamiin.. makasih, Mak :D
Deletegood luck ya mbak leyla
ReplyDeleteAamiin.. makasih Mak Lidya.
DeleteGood luck yaa..
ReplyDeletekalo dulu sudah ada blog, mungkin Kartini juga akan ngeblog :)
ReplyDeletesemoga menang :)
ReplyDeletesukses mak, menang nih tulisannnya mantap, mau donk gabung di BAW hehehehe :)
ReplyDeletehebat dah mba Ela, nulis iya, ngeblo iya, banyak krucils iya..huwaaa gue sirik nih hihihihihihihihi
ReplyDeleteNggak heran kalau tulisan ini keluar sebagai salah satu pemenangnya. Selamat mak Leyla. Saya belajar banyak dari tulisannya ini. Like ^_^
ReplyDeleteiya...layak menang...! Bagus tulisannnya..Selamat mba Leyla...!
ReplyDeleteselamat mbak leyla..bagus sekali tulisannya :)
ReplyDeletebaru sempat baca, tulisan yang menang ini. sungguh layak. menginspirasi. like it.
ReplyDelete