Monday, 24 March 2014

I Love Islam: Pembagian Tugas yang Adil antara Suami-Istri

Tugas Ibu mengasuh anak-anak

Perdebatan antara perlu atau tidaknya seorang wanita bekerja di luar rumah, kembali memanas akibat postingan dialog antara seorang anak dan ibunya yang intinya begini, “kok Mamah gak mau nitipin perhiasan-perhiasan Mamah ke pembantu, tapi mau nitipin aku ke pembantu? Jadi, perhiasan itu lebih penting ya daripada aku?”


Tulisan ini tidak hendak ikut-ikutan memanaskan perseteruan antara  ibu bekerja dan ibu di rumah lho…. Saya adalah ibu yang memilih untuk tinggal di rumah setelah menikah atas dasar permintaan suami dan dorongan diri sendiri. Sejak awal taaruf untuk menikah, suami menginginkan istrinya kelak mau berada di rumah untuk total mengurus anak-anak dan rumah tangga. Pertimbangannya, pertama, suami mengikuti pendapat ulama bahwa seorang istri tidak wajib mencari nafkah. Tugas utama seorang istri adalah menjaga rumah dan anak-anak. Kedua, gaji yang saya dapatkan saat itu sangat minim, barangkali hanya habis untuk ongkos transportasi dan makan. Untuk apa saya membuang waktu pergi ke kantor bila hanya mendapatkan gaji sedikit? Ketiga, suami merasa mampu mencukupi nafkah saya dan anak-anak dengan penghasilannya sendiri.

Tentu saja keinginan suami itu selaras dengan keinginan saya yang memang ingin keluar dari kantor setelah menikah. Bukan saja karena saya ingin total mengurus rumah dan anak-anak, melainkan juga karena saya ingin lebih fokus pada hobi menulis. Kalau saya bekerja di kantor juga, mungkin hobi menulis itu akan sulit saya lakoni karena waktunya sudah habis untuk pekerjaan kantor dan rumah tangga. Kantor saya dulu punya aturan yang sangat ketat. Walaupun saya bekerja di penerbitan buku, kenyataannya saya tidak bisa menyolong-nyolong waktu untuk menulis. Saya baru bisa nulis kalau jam kerja sudah berakhir. Nah, karena saya sudah menikah, saya tidak bisa lagi melakukan sesuatu sekehendak sendiri. Saya harus melayani suami, apalagi kalau sudah punya anak-anak.

Islam tidak menghalangi wanita untuk bekerja, tetapi pekerjaan yang dilakukan harus sejalan dengan sifat dan kodratnya. Islam memberikan pekerjaan yang paling utama dalam bidang yang paling utama pula, yaitu menyiapkan dan mendidik anak-anak yang kelak akan bertanggung jawab membangun masyarakatnya. Untuk itu, Islam mewajibkan kepada kaum lelaki agar bekerja keras mencari nafkah supaya para istri dapat menjalankan tugasnya dengan baik di dalam rumah tangga mereka. (sumber: Manajemen Keluarga Sakinah, Drs. Muhammad Thalib, Penerbit Pro U Media, halaman 12).

Itulah yang membuat saya semakin jatuh cinta kepada Islam. Adanya pembagian tugas yang adil antara suami dan istri. Seorang istri sudah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak-anaknya, jadi tidak diberatkan dengan tugas mencari nafkah. Suami harus menanggung nafkah istri dan anak-anaknya.  Jihad seorang istri adalah mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak. Jalan untuk masuk surga bagi seorang istri itu mudah saja. Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Apabila seorang wanita sudah menjalankan salat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan.” (diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, hadist sahih).

Sementara itu, jihad seorang suami adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Pembagian itu sudah sangat adil. Bahkan, pada prakteknya, Rasulullah mencontohkan sikap seorang suami yang baik, bukan hanya mencari nafkah melainkan juga membantu tugas rumah tangga. Sebab, tugas rumah tangga bukanlah mutlak tugas seorang istri. Yang menjadi pekerjaan utama seorang istri adalah melayani suaminya, dalam hal biologis. Bila sedang di dapur pun, istri harus segera memenuhi panggilan suami. Tugas suami masa kini jauh lebih ringan daripada suami di zaman Nabi. Di zaman Nabi dulu, para lelaki tidak hanya bertugas mencari nafkah, melainkan juga berperang dalam arti sebenarnya.

Diriwayatkan dari Sa’ad bin  Abi Waqqash ra, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda, “Nafkah yang kamu berikan dengan niat untuk mencari keridaan Allah, niscaya diberikan pahalanya, termasuk nafkah yang kamu suapkan ke mulut  istrimu.” (hadist Sahih).

Bila kedua tugas itu diterapkan secara adil, rasanya tidak perlu ada yang menjadi ganjalan di hati suami dan istri. Kebanyakan istri yang bekerja di luar rumah beralasan ingin membantu perekonomian keluarga. Seandainya para suami mempraktekkan ajaran Islam dengan sebaik-baiknya, dia akan bekerja keras mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan istrinya agar sang istri tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Lain halnya bila sang istri selalu merasa kurang, berapa pun banyaknya nafkah yang diberikan suaminya, masih saja kurang sehingga merasa perlu mencari lagi di luar. Itu berarti istrinya tidak punya sifat qanaah (merasa puas dengan apa yang ada) dan tidak mensyukuri pemberian suami.

Oleh karena itu, para ibu rumah tangga tak perlu berkecil hati apabila sering direndahkan oleh orang-orang di sekelilingnya karena tidak bekerja di luar dan tidak memiliki penghasilan sendiri. Islam memuliakan pekerjaan seorang ibu, bahkan termasuk kategori jihadnya seorang wanita. Pekerjaan utama seorang wanita yang sudah bersuami adalah mengurus  rumah dan anak-anak. Itu bukan pekerjaan yang mudah. Islam juga tidak melarang seorang wanita untuk bekerja di luar rumah, asalkan sesuai dengan sifat dan kodratnya, serta tidak melalaikan tugas utamanya dalam mendidik anak-anak dan melayani suami. Jangan sampai dengan pekerjaannya itu, seorang istri menyia-nyiakan anak dan suaminya, bahkan berakibat pada perpecahan rumah tangga.

Aturan Islam yang sangat jelas ini, sudah tentu memudahkan tugas seorang wanita. Sebab, memang amat berat bila seorang wanita menanggung tugas mencari nafkah dan mengurus rumah tangga sekaligus. Bila wanita tersebut sanggup menjalaninya, silakan saja. Bila tidak, tidak ada keharusan untuk mencari nafkah. Suaminya harus bertanggung jawab penuh terhadap nafkahnya. Bahkan, nafkah orang tua istri pun harus ditanggung oleh suaminya. Apakah itu berat? Hohoho….  Malu dong ah, para suami jika merasa berat menanggung nafkah keluarga, baik itu istri, anak-anak, orang tua suami, dan orang tua istri. Perlu diingatkan lagi bahwa di zaman Nabi dulu, tugas suami bukan hanya mencari nafkah, tetapi juga berperang dalam arti sebenarnya. 

Betapa Islam sangat memuliakan dan menjaga kaum wanita dari eksploitasi, itulah mengapa saya sangat beruntung menjadi umat Nabi Muhammad SAW. 
























6 comments:

  1. Hiks... Subhanallah.. Andai perempuan2 menyadari bahwa sebenernya Islam sangat memuliakan wanita..

    Jazakillah for sharing.. salam hangat :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, betul, Mbak Monika. Terima kasih kembali :-)

      Delete
  2. seneng banget kak bacanya :))
    semoga terus jadi ibu yang bahagia ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, semoga bermanfaat.
      Aamiin... :-)

      Delete
  3. subhanalllaahhh... sy terharu bacanyaaa... islam begitu memuliakan wanitaa, tapi kita sebagai wanitaaa jarang menyadarinyaa...

    ReplyDelete
  4. Jaman sekarang ini byk laki2 yg ga mengerti tugasnya mba..byk is3 ikut banting tulang mencari nafkah smentara tu mengurus rumh dan ank ttp mreka lakukan..brpa wkt tidr yg mreka bisa klo smentara pulang dr krja mreka hrs masak, cuci bju, setrika dan mengurus ank..hingga pgi2 sx mreka bangun untuk mnyiapkan kbutuhan ank2, suami jg drinya sendri..para suami jarang sx da yg mau bantu pekerjaan rmh ato urus ank..para suami cuma tau cari nafkah cukup ato ga cukup y sudah sgitu..apa suami2 spt tu pantas menjadi imam yg sesuai dgn ajaran nabi Muhammas saw.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^