Tugas Ibu mengasuh anak-anak |
Perdebatan antara perlu atau
tidaknya seorang wanita bekerja di luar rumah, kembali memanas akibat postingan
dialog antara seorang anak dan ibunya yang intinya begini, “kok Mamah gak mau
nitipin perhiasan-perhiasan Mamah ke pembantu, tapi mau nitipin aku ke
pembantu? Jadi, perhiasan itu lebih penting ya daripada aku?”
Tulisan ini tidak hendak
ikut-ikutan memanaskan perseteruan antara ibu bekerja dan ibu di rumah lho…. Saya adalah
ibu yang memilih untuk tinggal di rumah setelah menikah atas dasar permintaan
suami dan dorongan diri sendiri. Sejak awal
taaruf untuk menikah, suami menginginkan istrinya kelak mau berada di rumah
untuk total mengurus anak-anak dan rumah tangga. Pertimbangannya, pertama,
suami mengikuti pendapat ulama bahwa seorang istri tidak wajib mencari nafkah.
Tugas utama seorang istri adalah menjaga rumah dan anak-anak. Kedua,
gaji yang saya dapatkan saat itu sangat minim, barangkali hanya habis untuk
ongkos transportasi dan makan. Untuk apa saya membuang waktu pergi ke kantor
bila hanya mendapatkan gaji sedikit? Ketiga, suami merasa mampu mencukupi
nafkah saya dan anak-anak dengan penghasilannya sendiri.
Tentu saja keinginan suami itu
selaras dengan keinginan saya yang memang ingin keluar dari kantor setelah
menikah. Bukan saja karena saya ingin total mengurus rumah dan anak-anak,
melainkan juga karena saya ingin lebih fokus pada hobi menulis. Kalau saya
bekerja di kantor juga, mungkin hobi menulis itu akan sulit saya lakoni karena
waktunya sudah habis untuk pekerjaan kantor dan rumah tangga. Kantor saya dulu
punya aturan yang sangat ketat. Walaupun saya bekerja di penerbitan buku,
kenyataannya saya tidak bisa menyolong-nyolong waktu untuk menulis. Saya baru
bisa nulis kalau jam kerja sudah berakhir. Nah, karena saya sudah menikah, saya
tidak bisa lagi melakukan sesuatu sekehendak sendiri. Saya harus melayani
suami, apalagi kalau sudah punya anak-anak.
Islam tidak menghalangi wanita untuk bekerja, tetapi pekerjaan yang
dilakukan harus sejalan dengan sifat dan kodratnya. Islam memberikan pekerjaan
yang paling utama dalam bidang yang paling utama pula, yaitu menyiapkan dan
mendidik anak-anak yang kelak akan bertanggung jawab membangun masyarakatnya. Untuk
itu, Islam mewajibkan kepada kaum lelaki agar bekerja keras mencari nafkah
supaya para istri dapat menjalankan tugasnya dengan baik di dalam rumah tangga
mereka. (sumber: Manajemen Keluarga
Sakinah, Drs. Muhammad Thalib, Penerbit Pro U Media, halaman 12).
Itulah yang membuat saya semakin
jatuh cinta kepada Islam. Adanya pembagian tugas yang adil antara suami dan
istri. Seorang istri sudah mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak-anaknya,
jadi tidak diberatkan dengan tugas mencari nafkah. Suami harus menanggung
nafkah istri dan anak-anaknya. Jihad
seorang istri adalah mengurus rumah tangga, suami, dan anak-anak. Jalan untuk
masuk surga bagi seorang istri itu mudah saja. Diriwayatkan dari Anas bin Malik
ra, dari Nabi Saw, beliau bersabda, “Apabila
seorang wanita sudah menjalankan salat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan
taat kepada suaminya, maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang
ia inginkan.” (diriwayatkan oleh
Ibnu Hibban, hadist sahih).
Sementara itu, jihad seorang
suami adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Pembagian itu sudah sangat adil.
Bahkan, pada prakteknya, Rasulullah mencontohkan sikap seorang suami yang baik,
bukan hanya mencari nafkah melainkan juga membantu tugas rumah tangga. Sebab, tugas
rumah tangga bukanlah mutlak tugas seorang istri. Yang menjadi pekerjaan utama
seorang istri adalah melayani suaminya, dalam hal biologis. Bila sedang di
dapur pun, istri harus segera memenuhi panggilan suami. Tugas suami masa kini
jauh lebih ringan daripada suami di zaman Nabi. Di zaman Nabi dulu, para lelaki
tidak hanya bertugas mencari nafkah, melainkan juga berperang dalam arti
sebenarnya.
Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda, “Nafkah yang kamu berikan dengan
niat untuk mencari keridaan Allah, niscaya diberikan pahalanya, termasuk nafkah
yang kamu suapkan ke mulut istrimu.” (hadist Sahih).
Bila kedua tugas itu diterapkan
secara adil, rasanya tidak perlu ada yang menjadi ganjalan di hati suami dan
istri. Kebanyakan istri yang bekerja di luar rumah beralasan ingin membantu
perekonomian keluarga. Seandainya para suami mempraktekkan ajaran Islam dengan
sebaik-baiknya, dia akan bekerja keras mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan
istrinya agar sang istri tidak perlu lagi bekerja untuk membantu perekonomian
keluarga. Lain halnya bila sang istri selalu merasa kurang, berapa pun
banyaknya nafkah yang diberikan suaminya, masih saja kurang sehingga merasa
perlu mencari lagi di luar. Itu berarti istrinya tidak punya sifat qanaah (merasa puas dengan apa yang ada)
dan tidak mensyukuri pemberian suami.
Oleh karena itu, para ibu rumah
tangga tak perlu berkecil hati apabila sering direndahkan oleh orang-orang di
sekelilingnya karena tidak bekerja di luar dan tidak memiliki penghasilan
sendiri. Islam memuliakan pekerjaan seorang ibu, bahkan termasuk kategori jihadnya
seorang wanita. Pekerjaan utama seorang wanita yang sudah bersuami adalah
mengurus rumah dan anak-anak. Itu bukan
pekerjaan yang mudah. Islam juga tidak melarang seorang wanita untuk bekerja di
luar rumah, asalkan sesuai dengan sifat dan kodratnya, serta tidak melalaikan
tugas utamanya dalam mendidik anak-anak dan melayani suami. Jangan sampai
dengan pekerjaannya itu, seorang istri menyia-nyiakan anak dan suaminya, bahkan
berakibat pada perpecahan rumah tangga.
Aturan Islam yang sangat jelas
ini, sudah tentu memudahkan tugas seorang wanita. Sebab, memang amat berat bila
seorang wanita menanggung tugas mencari nafkah dan mengurus rumah tangga
sekaligus. Bila wanita tersebut sanggup menjalaninya, silakan saja. Bila tidak,
tidak ada keharusan untuk mencari nafkah. Suaminya harus bertanggung jawab
penuh terhadap nafkahnya. Bahkan, nafkah orang tua istri pun harus ditanggung
oleh suaminya. Apakah itu berat? Hohoho….
Malu dong ah, para suami jika merasa berat menanggung nafkah keluarga,
baik itu istri, anak-anak, orang tua suami, dan orang tua istri. Perlu
diingatkan lagi bahwa di zaman Nabi dulu, tugas suami bukan hanya mencari
nafkah, tetapi juga berperang dalam arti sebenarnya.
Betapa Islam sangat memuliakan dan menjaga kaum wanita dari eksploitasi, itulah mengapa saya sangat beruntung menjadi umat Nabi Muhammad SAW.
Hiks... Subhanallah.. Andai perempuan2 menyadari bahwa sebenernya Islam sangat memuliakan wanita..
ReplyDeleteJazakillah for sharing.. salam hangat :)
Iya, betul, Mbak Monika. Terima kasih kembali :-)
Deleteseneng banget kak bacanya :))
ReplyDeletesemoga terus jadi ibu yang bahagia ^^
Alhamdulillah, semoga bermanfaat.
DeleteAamiin... :-)
subhanalllaahhh... sy terharu bacanyaaa... islam begitu memuliakan wanitaa, tapi kita sebagai wanitaaa jarang menyadarinyaa...
ReplyDeleteJaman sekarang ini byk laki2 yg ga mengerti tugasnya mba..byk is3 ikut banting tulang mencari nafkah smentara tu mengurus rumh dan ank ttp mreka lakukan..brpa wkt tidr yg mreka bisa klo smentara pulang dr krja mreka hrs masak, cuci bju, setrika dan mengurus ank..hingga pgi2 sx mreka bangun untuk mnyiapkan kbutuhan ank2, suami jg drinya sendri..para suami jarang sx da yg mau bantu pekerjaan rmh ato urus ank..para suami cuma tau cari nafkah cukup ato ga cukup y sudah sgitu..apa suami2 spt tu pantas menjadi imam yg sesuai dgn ajaran nabi Muhammas saw.
ReplyDelete