Ibuku dengan foto terakhir yang kupunya |
Ibuku, adalah wanita yang memberikan rahimnya
untuk kutempati selama sembilan bulan, sedangkan aku memberinya banyak
penderitaan. Mual, muntah, pusing, tidak enak badan, tidak nafsu makan, flek-flek
hitam di beberapa bagian tubuh, tidak bisa tidur, dan tidak bisa beraktivitas
dengan leluasa. Tetapi dia dengan sabar menjalani kehamilannya, berbicara
lembut kepadaku, dan melantunkan ayat-ayat suci Al Quran agar mendapatkan
penjagaan dari Allah Swt.
Ibuku, adalah wanita yang mengorbankan nyawanya
untuk melahirkanku, sedangkan aku memberinya banyak penderitaan. Rasa sakit tak
terkira, penantian yang lama menunggu pembukaan sempurna, kegelisahan, ketakutan,
hingga purna sudah ketika tangisanku melengking tinggi. Tetapi dia menyambut
kehadiranku dengan senyum dan raut wajah bahagia seakan-akan tak pernah ada
rasa sakit ketika melahirkanku.
Ibuku, adalah wanita yang memberikan air susunya
yang suci dan bergizi itu selama dua tahun, sedangkan aku memberinya banyak
penderitaan. Puting lecet hingga berdarah, payudara mengeras, tidak bisa
bepergian terlalu lama, dan tidak bisa tidur bermalam-malam. Tetapi dia
membelai kepalaku dengan lembut saat menyusuiku, mulutnya bercerita
dongeng-dongengan zaman dulu seakan-akan aku sudah bisa mengerti setiap
ceritanya.
Ibuku, adalah wanita yang setia mendampingi dan
merawatku ketika sakit, sedangkan aku memberinya banyak penderitaan. Membuatnya
tak dapat tidur, memuntahi pakaiannya, bahkan memukulinya karena emosi terhadap
rasa sakitku. Tetapi dia memelukku, mengompres dahiku, memberiku obat dengan
sepenuh kasih sayang, menyuapiku makan dengan sabar, dan berdoa sampai menangis
demi kesembuhanku.
Ibuku, adalah wanita yang mengajariku berjalan,
berbicara, makan, minum, berinteraksi dengan orang lain, salat, mengaji, dan
segala hal yang bisa dia ajarkan kepadaku, sedangkan aku memberinya banyak
penderitaan. Membantah perintahnya, tak menuruti kehendaknya, berpura-pura tak
mendengar nasihatnya, bahkan terkadang membentaknya. Tetapi dia terus mendoakan
serta membimbingku agar menjadi anak yang soleh dan berbakti.
Aku teringat malam-malam yang dilalui oleh ibuku
dalam belitan benang jahit, menyelesaikan pesanan baju para pelanggan. Ibu tak
kenal lelah bekerja, meski seharian telah juga mencari nafkah di kantor.
Katanya, semua demi pendidikanku agar aku lulus sarjana dan menjadi calon ibu
yang cerdas.
Ibu tak ingin menyerah oleh takdir ekonomi
keluarga kami yang serba pas-pasan, sebab takdir bisa diubah. Keyakinan itulah
yang membuatku dapat meraih gelar sarjana ekonomi. Hingga kanker merenggut
nyawa Ibu, dua bulan menjelang pernikahanku. Ibu tak sempat melihat pesta pernikahanku
yang dirancangnya sambil menahan sakit. Ibu tak dapat melihatku memakai baju
pernikahan yang didesainnya sendiri. Ibu tak pernah melihat wajah ketiga cucu
lelakinya, cucu-cucu yang amat sangat ingin ditimangnya. Ibu tak sempat menuai
hasil kerja kerasnya mendidik dan membesarkanku, karena maut keburu menutup
matanya. Sungguh, aku ingin mempersembahkan sesuatu untuknya, tetapi baginya
cukup surga.
Kini, aku pun telah menjadi Ibu.... |
Kisah kasih sayang Ibu tak akan cukup kuceritakan
dalam tulisan ini, sebagaimana tak cukup waktuku untuk mengenangnya.
Kebaikannya melebihi luas samudera. Kesabarannya tak dibatasi oleh puncak
gunung yang tinggi. Kelembutannya tak dapat diukur oleh dalamnya danau mana
pun. Terima kasih, Ibu, yang sudah menyediakan seluruh hidupnya untukku sejak
kau melahirkanku.
Di setiap hari ibu, aku hanya bisa memandangi
secarik fotomu yang tersisa dari kenangan kita. Zaman terlalu lawas untuk
mengabadikanmu dalam ratusan lembar foto. Aku hanya bisa menatap iri kepada
mereka yang masih sempat berfoto berdua dengan ibunya, sedangkan engkau hanya
bisa kukenang dalam ingatan. Walaupun engkau telah tiada, kehadiranmu masih
dapat kurasakan dalam peristiwa penting dalam hidupku. Engkau menemaniku saat
aku melahirkan cucu-cucumu, engkau menasihatiku dalam mimpiku tentang bagaimana
mengasuh cucu-cucumu, engkau hadir sebagaimana saat masih ada. Kasih sayang Ibu
sepanjang masa, tak lekang oleh waktu.
*Tulisan ini disertakan dalam kontes blog “Sejuta
Cinta untuk Ibu” yang diadakan oleh website @perempuancom, website tentang
kecantikan, kesehatan, dan gaya hidup wanita terkini www.perempuan.com.
subhanallah...... kasih sayangmu tersampaikan mba. semoga ibu diberi kelapangan kubur dan doa anak-anaknya bisa terus memberi tambahan pahala untuk beliau
ReplyDeleteAamiin.. makasih, mba Sarah atas doanya :-)
Delete
ReplyDeletewalaupun ibu mbak sudah tiada, namun kasih sayangnya tetap bisa dirasakan ya...
dan tak lupa untuk selalu megirim doa untuknya ya mbak :)
semoga kita menjadi anak-anak yang berbakti ya mbak...
Iya, Vera, aamiin...
DeleteTerharu.. :'( Ibu meninggal kapan bunda.. Sama seperti saya.. malah ibu saya tdk tau putrinya ( saya ) menikah :'( Ibu kita kini sudah tenang di Surga, bunda..
ReplyDeleteSudah 7 tahun lalu, Mba Windi. Sama, ibuku jg ga liat pernikahanku. Aamiin..
Deletekasih sayang ibu sungguh tulus tak meminta balas. kasih sayang anak tertulis dengan banyak balasan. semoga kita termaksud anak yang mengasihi ibunya dalam senyuman membuat ia bahagia pernah memiliki kita.
ReplyDeleteTerharu.