Sunday, 8 December 2013

Pelayanan Kesehatan yang Cepat, Tepat, dan Optimal

Saya dan anak saya saat dirawat di rumah sakit

Pengalaman terburuk dalam berhubungan dengan pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah sakit, adalah beberapa bulan lalu ketika saya membawa si bungsu ke dokter anak di sebuah rumah sakit ibu dan anak di kawasan Depok. Saat itu kami seharusnya dalam perjalanan ke Garut untuk menghadiri acara lamaran adik suami, tetapi tiba-tiba si sulung dan si bungsu muntah-muntah sampai beberapa kali. Agaknya mereka masuk angin karena belum sarapan. Kami pun segera berbalik arah, pertama-tama ke rumah bulek saya dulu di Depok (lokasi yang paling dekat dengan posisi kami saat itu), berganti pakaian yang terkena muntahan, lalu ke rumah sakit tersebut. Tetap saja si bungsu muntah lagi karena kondisinya memang parah. Dalam kondisi tubuh basah kuyup oleh muntahan bayi berusia satu tahun itu, saya harus mengantri administrasi dan pelayanan rumah sakit selama berjam-jam!


Sepanjang pengalaman saya, rumah sakit adalah tempat membuang waktu paling maksimal, selain terkena kemacetan parah di jalan raya. Bayangkan saja, hanya untuk mendapatkan pelayanan administrasi, saya sudah menghabiskan waktu kurang lebih satu jam. Lalu, ketika menunggu antrian dokter pun, saya harus menunggu selama dua jam. Belum cukup sampai di situ. Saya harus antri lagi untuk mendapatkan obat. Padahal, saya hanya mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan dokter selama lima menit! Ya, lima menit. Waktu yang sangat singkat. Nyaris sepanjang hari saya berada di rumah sakit dalam kondisi baju berbau tidak sedap karena terkena muntahan dan anak-anak dalam kondisi lemas tak berdaya.

Ingatan saya seperti dikembalikan pada keadaan bertahun-tahun lalu ketika mengantarkan ibu saya memeriksakan kondisi kesehatannya. Beliau mengalami sariawan yang terus menerus, sehingga kami khawatir itu pertanda penyakit buruk. Kami memakai jasa rumah sakit pemerintah. Saya ingat betapa kesalnya menunggu dilayani, datang jam sepuluh pagi dan baru mendapatkan giliran pada jam empat sore. Nyaris seharian, bukan? Pasiennya memang banyak sekali. Akibatnya, ibu saya tidak mau memeriksakan diri lagi ke rumah sakit, sampai penyakitnya memburuk dan kemudian mendapatkan vonis bahwa beliau terkena kanker lidah. Dua tahun kemudian, ibu saya meninggal dunia.

Tidak rumah sakit pemerintah, tidak rumah sakit swasta, selalu penuh dengan pasien. Sebagai masyarakat awam, saya tidak tahu di mana salahnya. Apakah jumlah dokter terlalu sedikit atau pasiennya yang terlalu banyak? Itu di rumah sakit, yang lebih menyasar pada pasien menengah ke atas. Di puskesmas pun sama saja keadaannya. Stigma yang sudah tertanam di masyarakan adalah bahwa antrian di Puskesmas itu mengular. Harus datang pagi-pagi agar bisa cepat mendapatkan pelayanan dari dokter. Otomatis, dokter juga kurang maksimal memberikan edukasi mengenai kesehatan. Amat jarang dokter yang bisa berpanjang-panjang menjelaskan mengenai penyakit pasien, yang ada cepat-cepat menentukan obat yang harus diminum karena harus segera melayani pasien lainnya.

Bila di Jakarta dan sekitarnya saja pasien harus antri berjam-jam demi mendapatkan pelayanan kesehatan, bagaimana dengan di daerah terpencil? Hasil bincang-bincang dengan pembantu rumah tangga saya yang berasal dari daerah terpencil, mereka memilih untuk mengobati sendiri dengan obat-obat tradisional. Apabila melahirkan, mereka memilih menggunakan jasa dukun beranak, yang membantu persalinan tanpa ilmu memadai dan peralatan yang tidak higienis.

Tentu saja bukan hal mudah untuk mengubah sistem dan regulasi yang sudah mengakar, akan tetapi kita masih bisa mengusahakannya.

Mengurangi Ketergantungan kepada Dokter             
Tadinya keluarga kami sangat bergantung kepada dokter, apalagi suami mendapatkan tunjangan kesehatan dari tempatnya bekerja. Sakit sedikit saja langsung ke dokter. Ironisnya, perjalanan ke rumah sakit jadi mirip dengan berekreasi. Berjalan-jalan di koridor rumah sakit terlihat seperti berjalan-jalan di mall. Anak baru panas sedikit, ke rumah sakit. Batuk sedikit, ke rumah sakit. Toh, gratis ini. Perlahan kami mengubah kebiasaan ini, apalagi kami merasakan pemborosan dari perjalanan ke rumah sakit.

Anak kedua kami, tidak suka minum obat. Itu sudah terlihat sejak usia enam bulan. Dia pernah sakit cukup serius, batuk pilek berdahak sampai kesulitan minum susu. Meskipun dibawa ke dokter dan mendapatkan obat-obatan, dia tidak mau meminum obat. Obat-obatan itu terbuang percuma. Saya pun putus asa menjejalinya dengan obat-obatan, karena pasti dimuntahkannya.

Alhamdulillah, dia masih sehat-sehat saja sampai sekarang meskipun kalau minum obat hanya sekali dua kali suap. Sampai kemudian saya memutuskan untuk tidak membawanya ke dokter bila tidak sakit serius. Percuma saja ke rumah sakit, mendapatkan obat, lalu obatnya tidak diminum. Ada banyak obat yang masih tertutup rapat, sama sekali tidak diminum. Untuknya, saya memilih terapi tradisional. Minum air putih yang banyak, buah-buahan, makan yang bergizi, dan susu.  Untuk penyakit yang tidak berbahaya dan bisa ditangani sendiri, tidak perlu dibawa ke rumah sakit karena hanya akan memperpanjang antrian pasien. Apalagi penyakit berulang seperti panas, batuk, pilek, diare, dan lain-lain. Bila sudah lewat tiga hari dan kondisi semakin parah, baru dibawa ke dokter.

Yang saya lihat, perilaku ketergantungan kepada dokter bukan hanya menimpa kepada saya. Terbukti, beberapa keluarga dekat pun sebentar-sebentar ke dokter, padahal anaknya baru sakit beberapa jam yang lalu. Tidak heran bila antrian dokter begitu panjangnya.

Komunikasi yang Intensif antara Dokter dan Pasien         
Bila berhadapan dengan dokter, yang terasa adalah bedanya kesenjangan di antara kita. Dokter seperti Dewa Penyembuh yang tak tersentuh. Semestinya dokter adalah pelayan masyarakat, yang mau menampung dan menjawab semua pertanyaan pasien, tidak semata-mata memberikan obat lalu selesai. Dulu pernah ada dokter anak yang menangani anak saya, memberikan kartu namanya. Dia mempersilakan saya untuk meneleponnya bila sewaktu-waktu ada yang ingin ditanyakan. Tentu itu suatu yang mengejutkan, mengingat selama ini terbentang jarak yang panjang antara dokter dan pasien. Dokter seperti menutup diri dari pasien. Walaupun saya belum sampai berhubungan baik dengan dokter itu karena teleponnya selalu sibuk atau tidak aktif, bagi saya itu sebuah awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih intens antara dokter dan pasien.

Saya harap dokter tidak hanya mengejar keuntungan materi sehingga menuntut pasien untuk terus berobat dan datang ke rumah sakit. Tetapi, bagaimana pasien bisa hidup sehat tanpa bergantung kepada dokter. Toh, jumlah penduduk Indonesia ini banyak sekali, jadi para dokter tidak perlu takut kehilangan pasien. Sebelum memberikan obat, ada baiknya dokter memberikan alternatif penyembuhan tanpa obat. Misalnya saja bila panas, tidak perlu langsung diberikan obat panas, kecuali bila sudah 40 derajad Celsius. Ada beberapa cara menurunkan panas tanpa obat, sebab kondisi tubuh panas itu berarti tubuh sedang melawan virus. Diantaranya: meminum cairan yang banyak, mengompres tubuh dengan air hangat, mengenakan pakaian yang tipis, dan melakukan pemijatan di bagian alis ke kelopak mata.  

Membiasakan Gaya Hidup Sehat Sejak Dini
Gaya hidup sehat sekarang sedang digembar-gemborkan lagi. Langkah yang tepat, mengingat jumlah penduduk yang berisiko terkena penyakit berat semakin meningkat. Kanker, serangan jantung, diabetes. hipertensi, dan lain-lain, salah satunya disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat. Makanan instan, jarang berolahraga, menghirup udara yang mengandung timbal,  dan sebagainya, menyumbangkan racun ke dalam tubuh kita. Tak heran bila banyak penduduk berusia muda yang sudah terserang penyakit berat. Bahkan anak-anak pun ada yang sudah mengidap diabetes.

Orang tua adalah pionir gaya hidup sehat di dalam keluarga. Seorang ibu memegang peranan penting untuk mengatur asupan makanan yang sehat untuk keluarga. Ini tantangan yang lumayan buat saya, dari menyiapkan MPASI rumahan, masakan minim minyak, gula, dan garam, serta meminimalisir jajanan yang tidak sehat untuk anak-anak. Kebersihan rumah dan lingkungan sekitar juga harus diperhatikan. Dulu rumah saya masih berlantai tanah, akibatnya si sulung sering mengalami diare. Sekarang sudah beralaskan keramik dan rutin dibersihkan setiap hari sehingga anak-anak sudah tidak pernah terkena diare.

Saya beruntung masih tinggal di perkampungan yang udaranya relatif bersih karena masih banyak pohon. Orang tua saya yang tinggal di kota, menanam tumbuhan dalam pot demi menyerap polusi yang ditimbulkan oleh asap kendaraan. Tetap saja udaranya masih lebih baik di kampung saya. Tetangga saya juga mengakui bahwa kesehatan anaknya yang terkena asma semakin membaik setelah tinggal di kampung. Ini persoalannya adalah mengganti bahan bakar yang bebas timbal, atau minim timbal karena kita tidak mungkin menyuruh semua orang untuk pindah ke kampung. Untuk perjalanan dekat, lebih baik berjalan kaki. Selain sehat, juga mengurangi polusi udara. Pilihan untuk hidup sehat itu kembali lagi kepada kita.

Hapuskan Komersialisasi Pelayanan Kesehatan
Terakhir kali saya menemani bapak saya memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam, dokter itu menyarankan agar bapak saya menggunakan fasilitas Askes dari kantornya. Bapak saya sudah pensiun dari pegawai negeri, tapi kartu Askesnya masih bisa dipakai. Pada saat itu, saya merasa simpati terhadap dokter tersebut karena terlihat niatnya untuk membantu bapak saya. Penyakit diabetesnya membutuhkan perawatan rutin yang biayanya tak sedikit. Bapak saya harus kontrol ke dokter setiap dua minggu sekali yang membutuhkan biaya ratusan ribu sekali kunjungan. Sebagai pensiunan, uang itu lebih berarti untuk biaya hidup daripada untuk obat. Apalagi bapak saya punya Askes, kenapa pula tidak dipakai?

Sayangnya, bapak saya tidak mau menggunakan Askesnya karena pengalaman dahulu amat susah memanfaatkan asuransi kesehatan yang diperoleh dari instansi tempatnya bekerja itu. Askes itu tidak gratis. Setiap bulan gaji bapak saya harus dipotong. Lalu, kenapa bapak saya tidak mau menggunakannya? Ya konon katanya dulu birokrasinya berbelit-belit. Begitu tahu pasiennya menggunakan Askes, pihak administrasi rumah sakit akan mempingpong sang pasien sehingga pengobatannya pun berbelit-belit. Jadi, alih-alih menggunakan Askes, bapak saya memilih mengeluarkan uang dari kocek pribadi.

Jika pengguna Askes saja dipersulit, bagaimana dengan masyarakat miskin pengguna kartu sehat? Kasus kematian bayi Dera di Jakarta yang ditolak oleh delapan rumah sakit gara-gara tidak memiliki biaya, hanya satu dari sekian banyak kasus rumah sakit yang mengkomersialisasikan pelayanan kesehatan. Padahal, orang tua sang bayi telah mengantungi Kartu Jakarta Sehat yang konon dapat menjamin pembiayaan perawatan rumah sakit, toh kartu itu ditolak oleh rumah sakit dengan berbagai alasan.

Pada titik ini, nurani kita bertanya. Di mana mata hati para dokter dan staf rumah sakit terhadap para pasien miskin? Mengapa mereka lebih suka para pasien meregang nyawa, ketimbang memberikan pertolongan? Apakah karena mereka sudah terbiasa melihat kematian, lalu menganggap tak berarti setiap nyawa orang miskin? Kita tak bisa menyalahkan mereka juga, karena mereka menyerah pada sistem. Sistem neoliberalisme telah menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu sektor investasi, sehingga para kapitalis membangun rumah sakit untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Tak heran bila kemudian berkembang istilah, “orang miskin dilarang sakit.”

Pemerintah telah menggulirkan program-program pelayanan gratis kepada rakyat miskin, walaupun realisasinya jauh panggang dari api. Tentu itu bergantung pada anggaran pemerintah. Jika subsidi kesehatan amat sulit dicairkan, rumah sakit mau membeli obat, peralatan kesehatan, dan membayar jasa dokter dengan apa? Oknum-oknum pejabat di pemerintahan pun tak kurang menyengsarakan rakyat dengan perilaku korupsi yang menggerogoti APBN. Belum lagi perusahaan-perusahaan besar yang mangkir dari membayar pajak, tak heran bila subsidi kesehatan tak mencukupi. Maka, menjadi amat wajar bila rumah sakit tak mau menanggung pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin, karena mereka  bisa bangkrut. Solusinya adalah pemerintahan yang bersih dan amanah dalam menyalurkan subsidi kesehatan. Juga dibutuhkan kerjasama dari rakyat melalui lembaga-lembaga kesehatan sosial yang khusus menangani pengobatan gratis untuk rakyat miskin yang dananya diperoleh dari zakat, infak, sedekah, dan sumbangan masyarakat.

Semoga saja ke depannya, kita bisa mewujudkan Indonesia sehat.

Tulisan ini disertakan dalam lomba blog "Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia" 



6 comments:

  1. Woow..hadiahnya gede amat ya Mbak.

    ReplyDelete
  2. apalagi sekarang lagi mendengung program JKN kalo g salah ya yg per 1 januari itu katanya,heumm....geleng2 aja ini saya beneran ada apa nggak,beneran apa cuma mendengung aja....

    sama mbk,saya sekarnag udah bener2 menjalani pola hidup sehat,efeknya alhamdulillah enak di badan...bener2 pingin sehat dan jauh dari obat..^^
    sukses buat kontesnya ya mbk^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga aja beneran ada ya programnya. Ya sama2 menjalani gaya hidup sehat yuuk

      Delete
  3. Soal askes aku juga sudah mengalami sendiri mbak...
    Walau aku punya askes aku juga lebih suka berobat dg menggunakan uang pribadi daripada menggunakan askes.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, Mba Reni, semoga saja ke depannya semakin baik ya.

      Delete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^