Saya dan anak saya saat dirawat di rumah sakit |
Pengalaman
terburuk dalam berhubungan dengan pelayanan kesehatan, dalam hal ini rumah
sakit, adalah beberapa bulan lalu ketika saya membawa si bungsu ke dokter anak
di sebuah rumah sakit ibu dan anak di kawasan Depok. Saat itu kami seharusnya dalam
perjalanan ke Garut untuk menghadiri acara lamaran adik suami, tetapi tiba-tiba
si sulung dan si bungsu muntah-muntah sampai beberapa kali. Agaknya mereka
masuk angin karena belum sarapan. Kami pun segera berbalik arah, pertama-tama
ke rumah bulek saya dulu di Depok (lokasi yang paling dekat dengan posisi kami
saat itu), berganti pakaian yang terkena muntahan, lalu ke rumah sakit
tersebut. Tetap saja si bungsu muntah lagi karena kondisinya memang parah.
Dalam kondisi tubuh basah kuyup oleh muntahan bayi berusia satu tahun itu, saya
harus mengantri administrasi dan pelayanan rumah sakit selama berjam-jam!
Sepanjang
pengalaman saya, rumah sakit adalah tempat membuang waktu paling maksimal,
selain terkena kemacetan parah di jalan raya. Bayangkan saja, hanya untuk
mendapatkan pelayanan administrasi, saya sudah menghabiskan waktu kurang lebih
satu jam. Lalu, ketika menunggu antrian dokter pun, saya harus menunggu selama
dua jam. Belum cukup sampai di situ. Saya harus antri lagi untuk mendapatkan
obat. Padahal, saya hanya mendapatkan kesempatan berkonsultasi dengan dokter
selama lima menit! Ya, lima menit. Waktu yang sangat singkat. Nyaris sepanjang
hari saya berada di rumah sakit dalam kondisi baju berbau tidak sedap karena
terkena muntahan dan anak-anak dalam kondisi lemas tak berdaya.
Ingatan saya
seperti dikembalikan pada keadaan bertahun-tahun lalu ketika mengantarkan ibu
saya memeriksakan kondisi kesehatannya. Beliau mengalami sariawan yang terus
menerus, sehingga kami khawatir itu pertanda penyakit buruk. Kami memakai jasa
rumah sakit pemerintah. Saya ingat betapa kesalnya menunggu dilayani, datang
jam sepuluh pagi dan baru mendapatkan giliran pada jam empat sore. Nyaris
seharian, bukan? Pasiennya memang banyak sekali. Akibatnya, ibu saya tidak mau
memeriksakan diri lagi ke rumah sakit, sampai penyakitnya memburuk dan kemudian
mendapatkan vonis bahwa beliau terkena kanker lidah. Dua tahun kemudian, ibu
saya meninggal dunia.
Tidak rumah
sakit pemerintah, tidak rumah sakit swasta, selalu penuh dengan pasien. Sebagai
masyarakat awam, saya tidak tahu di mana salahnya. Apakah jumlah dokter terlalu
sedikit atau pasiennya yang terlalu banyak? Itu di rumah sakit, yang lebih
menyasar pada pasien menengah ke atas. Di puskesmas pun sama saja keadaannya. Stigma
yang sudah tertanam di masyarakan adalah bahwa antrian di Puskesmas itu
mengular. Harus datang pagi-pagi agar bisa cepat mendapatkan pelayanan dari
dokter. Otomatis, dokter juga kurang maksimal memberikan edukasi mengenai
kesehatan. Amat jarang dokter yang bisa berpanjang-panjang menjelaskan mengenai
penyakit pasien, yang ada cepat-cepat menentukan obat yang harus diminum karena
harus segera melayani pasien lainnya.
Bila di Jakarta
dan sekitarnya saja pasien harus antri berjam-jam demi mendapatkan pelayanan
kesehatan, bagaimana dengan di daerah terpencil? Hasil bincang-bincang dengan
pembantu rumah tangga saya yang berasal dari daerah terpencil, mereka memilih
untuk mengobati sendiri dengan obat-obat tradisional. Apabila melahirkan,
mereka memilih menggunakan jasa dukun beranak, yang membantu persalinan tanpa
ilmu memadai dan peralatan yang tidak higienis.
Tentu saja
bukan hal mudah untuk mengubah sistem dan regulasi yang sudah mengakar, akan
tetapi kita masih bisa mengusahakannya.
Mengurangi Ketergantungan kepada Dokter
Tadinya
keluarga kami sangat bergantung kepada dokter, apalagi suami mendapatkan
tunjangan kesehatan dari tempatnya bekerja. Sakit sedikit saja langsung ke
dokter. Ironisnya, perjalanan ke rumah sakit jadi mirip dengan berekreasi. Berjalan-jalan
di koridor rumah sakit terlihat seperti berjalan-jalan di mall. Anak baru panas
sedikit, ke rumah sakit. Batuk sedikit, ke rumah sakit. Toh, gratis ini. Perlahan
kami mengubah kebiasaan ini, apalagi kami merasakan pemborosan dari perjalanan
ke rumah sakit.
Anak kedua
kami, tidak suka minum obat. Itu sudah terlihat sejak usia enam bulan. Dia
pernah sakit cukup serius, batuk pilek berdahak sampai kesulitan minum susu.
Meskipun dibawa ke dokter dan mendapatkan obat-obatan, dia tidak mau meminum
obat. Obat-obatan itu terbuang percuma. Saya pun putus asa menjejalinya dengan
obat-obatan, karena pasti dimuntahkannya.
Alhamdulillah,
dia masih sehat-sehat saja sampai sekarang meskipun kalau minum obat hanya
sekali dua kali suap. Sampai kemudian saya memutuskan untuk tidak membawanya ke
dokter bila tidak sakit serius. Percuma saja ke rumah sakit, mendapatkan obat,
lalu obatnya tidak diminum. Ada banyak obat yang masih tertutup rapat, sama
sekali tidak diminum. Untuknya, saya memilih terapi tradisional. Minum air
putih yang banyak, buah-buahan, makan yang bergizi, dan susu. Untuk penyakit yang tidak berbahaya dan bisa
ditangani sendiri, tidak perlu dibawa ke rumah sakit karena hanya akan memperpanjang
antrian pasien. Apalagi penyakit berulang seperti panas, batuk, pilek, diare,
dan lain-lain. Bila sudah lewat tiga hari dan kondisi semakin parah, baru
dibawa ke dokter.
Yang saya
lihat, perilaku ketergantungan kepada dokter bukan hanya menimpa kepada saya.
Terbukti, beberapa keluarga dekat pun sebentar-sebentar ke dokter, padahal
anaknya baru sakit beberapa jam yang lalu. Tidak heran bila antrian dokter
begitu panjangnya.
Komunikasi yang Intensif antara Dokter dan
Pasien
Bila berhadapan
dengan dokter, yang terasa adalah bedanya kesenjangan di antara kita. Dokter
seperti Dewa Penyembuh yang tak tersentuh. Semestinya dokter adalah pelayan
masyarakat, yang mau menampung dan menjawab semua pertanyaan pasien, tidak
semata-mata memberikan obat lalu selesai. Dulu pernah ada dokter anak yang
menangani anak saya, memberikan kartu namanya. Dia mempersilakan saya untuk
meneleponnya bila sewaktu-waktu ada yang ingin ditanyakan. Tentu itu suatu yang
mengejutkan, mengingat selama ini terbentang jarak yang panjang antara dokter
dan pasien. Dokter seperti menutup diri dari pasien. Walaupun saya belum sampai
berhubungan baik dengan dokter itu karena teleponnya selalu sibuk atau tidak
aktif, bagi saya itu sebuah awal yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih
intens antara dokter dan pasien.
Saya harap
dokter tidak hanya mengejar keuntungan materi sehingga menuntut pasien untuk
terus berobat dan datang ke rumah sakit. Tetapi, bagaimana pasien bisa hidup
sehat tanpa bergantung kepada dokter. Toh, jumlah penduduk Indonesia ini banyak
sekali, jadi para dokter tidak perlu takut kehilangan pasien. Sebelum
memberikan obat, ada baiknya dokter memberikan alternatif penyembuhan tanpa
obat. Misalnya saja bila panas, tidak perlu langsung diberikan obat panas,
kecuali bila sudah 40 derajad Celsius. Ada beberapa cara menurunkan panas tanpa
obat, sebab kondisi tubuh panas itu berarti tubuh sedang melawan virus. Diantaranya:
meminum cairan yang banyak, mengompres tubuh dengan air hangat, mengenakan
pakaian yang tipis, dan melakukan pemijatan di bagian alis ke kelopak mata.
Membiasakan Gaya Hidup Sehat Sejak Dini
Gaya hidup
sehat sekarang sedang digembar-gemborkan lagi. Langkah yang tepat, mengingat
jumlah penduduk yang berisiko terkena penyakit berat semakin meningkat. Kanker,
serangan jantung, diabetes. hipertensi, dan lain-lain, salah satunya disebabkan
oleh gaya hidup tidak sehat. Makanan instan, jarang berolahraga, menghirup
udara yang mengandung timbal, dan
sebagainya, menyumbangkan racun ke dalam tubuh kita. Tak heran bila banyak
penduduk berusia muda yang sudah terserang penyakit berat. Bahkan anak-anak pun
ada yang sudah mengidap diabetes.
Orang tua
adalah pionir gaya hidup sehat di dalam keluarga. Seorang ibu memegang peranan
penting untuk mengatur asupan makanan yang sehat untuk keluarga. Ini tantangan
yang lumayan buat saya, dari menyiapkan MPASI rumahan, masakan minim minyak,
gula, dan garam, serta meminimalisir jajanan yang tidak sehat untuk anak-anak. Kebersihan
rumah dan lingkungan sekitar juga harus diperhatikan. Dulu rumah saya masih
berlantai tanah, akibatnya si sulung sering mengalami diare. Sekarang sudah
beralaskan keramik dan rutin dibersihkan setiap hari sehingga anak-anak sudah
tidak pernah terkena diare.
Saya beruntung
masih tinggal di perkampungan yang udaranya relatif bersih karena masih banyak
pohon. Orang tua saya yang tinggal di kota, menanam tumbuhan dalam pot demi
menyerap polusi yang ditimbulkan oleh asap kendaraan. Tetap saja udaranya masih
lebih baik di kampung saya. Tetangga saya juga mengakui bahwa kesehatan anaknya
yang terkena asma semakin membaik setelah tinggal di kampung. Ini persoalannya
adalah mengganti bahan bakar yang bebas timbal, atau minim timbal karena kita
tidak mungkin menyuruh semua orang untuk pindah ke kampung. Untuk perjalanan dekat,
lebih baik berjalan kaki. Selain sehat, juga mengurangi polusi udara. Pilihan
untuk hidup sehat itu kembali lagi kepada kita.
Hapuskan Komersialisasi Pelayanan Kesehatan
Terakhir kali
saya menemani bapak saya memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam,
dokter itu menyarankan agar bapak saya menggunakan fasilitas Askes dari
kantornya. Bapak saya sudah pensiun dari pegawai negeri, tapi kartu Askesnya
masih bisa dipakai. Pada saat itu, saya merasa simpati terhadap dokter tersebut
karena terlihat niatnya untuk membantu bapak saya. Penyakit diabetesnya
membutuhkan perawatan rutin yang biayanya tak sedikit. Bapak saya harus kontrol
ke dokter setiap dua minggu sekali yang membutuhkan biaya ratusan ribu sekali
kunjungan. Sebagai pensiunan, uang itu lebih berarti untuk biaya hidup daripada
untuk obat. Apalagi bapak saya punya Askes, kenapa pula tidak dipakai?
Sayangnya,
bapak saya tidak mau menggunakan Askesnya karena pengalaman dahulu amat susah
memanfaatkan asuransi kesehatan yang diperoleh dari instansi tempatnya bekerja
itu. Askes itu tidak gratis. Setiap bulan gaji bapak saya harus dipotong. Lalu,
kenapa bapak saya tidak mau menggunakannya? Ya konon katanya dulu birokrasinya
berbelit-belit. Begitu tahu pasiennya menggunakan Askes, pihak administrasi
rumah sakit akan mempingpong sang pasien sehingga pengobatannya pun
berbelit-belit. Jadi, alih-alih menggunakan Askes, bapak saya memilih mengeluarkan
uang dari kocek pribadi.
Jika pengguna
Askes saja dipersulit, bagaimana dengan masyarakat miskin pengguna kartu sehat?
Kasus kematian bayi Dera di Jakarta yang ditolak oleh delapan rumah sakit
gara-gara tidak memiliki biaya, hanya satu dari sekian banyak kasus rumah sakit
yang mengkomersialisasikan pelayanan kesehatan. Padahal, orang tua sang bayi
telah mengantungi Kartu Jakarta Sehat yang konon dapat menjamin pembiayaan
perawatan rumah sakit, toh kartu itu ditolak oleh rumah sakit dengan berbagai
alasan.
Pada titik ini,
nurani kita bertanya. Di mana mata hati para dokter dan staf rumah sakit
terhadap para pasien miskin? Mengapa mereka lebih suka para pasien meregang
nyawa, ketimbang memberikan pertolongan? Apakah karena mereka sudah terbiasa melihat
kematian, lalu menganggap tak berarti setiap nyawa orang miskin? Kita tak bisa
menyalahkan mereka juga, karena mereka menyerah pada sistem. Sistem
neoliberalisme telah menempatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu sektor investasi,
sehingga para kapitalis membangun rumah sakit untuk mengumpulkan keuntungan
sebanyak-banyaknya. Tak heran bila kemudian berkembang istilah, “orang miskin
dilarang sakit.”
Pemerintah
telah menggulirkan program-program pelayanan gratis kepada rakyat miskin,
walaupun realisasinya jauh panggang dari api. Tentu itu bergantung pada
anggaran pemerintah. Jika subsidi kesehatan amat sulit dicairkan, rumah sakit
mau membeli obat, peralatan kesehatan, dan membayar jasa dokter dengan apa? Oknum-oknum
pejabat di pemerintahan pun tak kurang menyengsarakan rakyat dengan perilaku
korupsi yang menggerogoti APBN. Belum lagi perusahaan-perusahaan besar yang
mangkir dari membayar pajak, tak heran bila subsidi kesehatan tak mencukupi. Maka,
menjadi amat wajar bila rumah sakit tak mau menanggung pelayanan kesehatan
untuk rakyat miskin, karena mereka bisa
bangkrut. Solusinya adalah pemerintahan yang bersih dan amanah dalam
menyalurkan subsidi kesehatan. Juga dibutuhkan kerjasama dari rakyat melalui
lembaga-lembaga kesehatan sosial yang khusus menangani pengobatan gratis untuk
rakyat miskin yang dananya diperoleh dari zakat, infak, sedekah, dan sumbangan
masyarakat.
Semoga saja ke
depannya, kita bisa mewujudkan Indonesia sehat.
Tulisan ini disertakan dalam lomba blog "Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia"
Woow..hadiahnya gede amat ya Mbak.
ReplyDeleteapalagi sekarang lagi mendengung program JKN kalo g salah ya yg per 1 januari itu katanya,heumm....geleng2 aja ini saya beneran ada apa nggak,beneran apa cuma mendengung aja....
ReplyDeletesama mbk,saya sekarnag udah bener2 menjalani pola hidup sehat,efeknya alhamdulillah enak di badan...bener2 pingin sehat dan jauh dari obat..^^
sukses buat kontesnya ya mbk^^
Semoga aja beneran ada ya programnya. Ya sama2 menjalani gaya hidup sehat yuuk
DeleteSoal askes aku juga sudah mengalami sendiri mbak...
ReplyDeleteWalau aku punya askes aku juga lebih suka berobat dg menggunakan uang pribadi daripada menggunakan askes.
Iya, Mba Reni, semoga saja ke depannya semakin baik ya.
DeleteHadiahnya bikin mupeng nih
ReplyDelete