“Anakmu
diimunisasi, gak?”
Pertanyaan dari
seorang sahabat saya itu langsung membuat saya terheran-heran. Sekalipun terpisah
jarak, kami masih berhubungan melalui telepon, apalagi memakai operator seluler
yang sama sehingga tarif teleponnya sangat murah. Kebetulan kami sama-sama baru
melahirkan. Bedanya, saya melahirkan anak kedua, dia melahirkan anak pertama. Itu
karena saya menikah setahun lebih dulu dari dia.
“Ya iya dong diimunisasi,
kan wajib…” jawab saya. Anak pertama saya juga diimunisasi. Setahu saya,
imunisasi dasar sampai usia sembilan bulan memang diwajibkan. Sudah otomatis
bayi-bayi yang baru dilahirkan mendapatkan jadwal imunisasi dari dokter dan
bidan yang membantu persalinan. Begitu juga dengan bayi saya.
“Anakku enggak.
Imunisasi itu haram lho, soalnya bahan-bahannya dari babi. Imunisasi itu hasil
konspirasi zionis. Orang Yahudi sengaja membuat vaksin untuk melemahkan
anak-anak kita. Vaksin itu isinya racun!” keterangan dari teman saya itu
spontan membuat saya terbengong-bengong. Dia begitu bersemangat menjelaskan
tentang keharaman vaksin dan mengatakan bahwa dia membacanya dari buku yang
ditulis oleh seorang peneliti vaksin. Dia menyuruh saya untuk membeli buku itu.
Setelah
mendengar pemaparannya, apakah saya jadi tidak mengimunisasi bayi saya? Rupanya
penjelasan teman saya itu masih belum memuaskan buat saya. Menurut akal logika
saya, jika vaksin itu mengandung racun dan haram, mengapa pemerintah
menganjurkannya dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) tidak mengharamkannya? Tidak
mungkin kan pemerintah mau membunuh semua rakyatnya dengan vaksin? Teman saya
mengatakan, MUI mungkin sudah dibayar oleh Yahudi dan kita tidak boleh percaya
kepada MUI karena mereka bekerja hanya untuk uang. Nah, pernyataan itu
menimbulkan pertanyaan lanjutannya. Mengapa ucapan teman saya itu mengandung
prasangka buruk yang belum tentu kebenarannya? Apakah dia sudah menanyakan
kepada orang-orang di MUI bahwa mereka dibayar? Bukankah sebagai muslim kita
tidak boleh berprasangka buruk?
Akhirnya, saya
tetap mengimunisasi anak saya setelah berdiskusi bersama suami. Suami membantu
mencarikan informasi yang lebih terpercaya, bukan “katanya-katanya,” salah
satunya melalui twitter. Rupanya suami memfollow
dokter-dokter twitter yang ramah-ramah dan bersedia menjawab semua pertanyaan
pasien melalui akun sosial media itu. Bahkan, kemudian saya mengetahui bahwa
buku antivaksin yang digadang-gadang oleh teman saya itu, bukan ditulis oleh
seorang peneliti vaksin, melainkan oleh
seorang penjual obat-obatan herbal lulusan fakultas ekonomi. Sumber penulisan
buku itupun lebih banyak diperoleh dari internet dan berasal dari situs-situs
penipu.
Sistem
kesehatan di Indonesia juga kurang tegas menindak oknum-oknum yang menganjurkan
untuk tidak mengikuti program pemerintah. Misalnya, saja soal vaksinasi itu. Bayangkan,
jika banyak masyarakat awam yang terpengaruh oleh kampanye antivaksin, bukan
tidak mungkin kelak di Indonesia akan terjadi wabah penyakit yang berbahaya
dikarenakan berkurangnya anak-anak yang divaksin. Berdasarkan cerita teman saya
yang tinggal di Arab Saudi, anak-anak yang tidak divaksin tidak diperkenankan
mendaftar ke sekolah. Setiap anak harus memiliki surat telah divaksin dari
rumah sakit atau dokter untuk bisa mendaftar ke sekolah. Sedangkan di Indonesia
belum ada peraturan semacam itu.
Di era digital
ini, informasi begitu mudah tersebar. Ada kalanya benar, lebih banyak yang
menjerumuskan. Saya mulai aktif menggunakan sosial media setelah kelahiran anak
kedua. Rupanya banyak sekali ilmu yang dibagikan seputar pengurusan anak oleh
orang-orang yang berdedikasi, diantaranya dokter. Saya memang menjadi lebih
sering bersinggungan dengan dokter setelah memiliki anak-anak. Dari mulai
hamil, melahirkan, sampai merawat anak-anak, dokter anak adalah orang yang
paling sering saya kunjungi.
Pro kontra
vaksin cukup hangat di internet. Kalau kita tidak mencari informasi dari sumber
terpercaya, bisa-bisa kita mengambil pilihan yang salah. Saya bersyukur ada
beberapa orang dokter yang aktif di sosial media seperti twitter dan facebook
untuk meluruskan pemahaman yang salah mengenai vaksin dan hal-hal lain seputar
pengurusan anak. Tentu saja mereka tidak dibayar. Bayangkan, mereka mau
menyisihkan waktu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para orang tua yang
bingung mengenai masalah-masalah kesehatan anak-anak mereka. Diantaranya
adalah:
Dr. Piprim B. Yanuarso (@dr_piprim)
Beliau adalah
seorang dokter anak, pendiri rumah vaksinasi. Beliau rajin memberikan edukasi
kepada para orang tua mengenai pentingnya vaksinasi. Linimasanya ramai oleh
pertanyaan-pertanyaan para orang tua yang masih gamang mengenai kehalalan dan
pentingnya vaksinasi. Sebagai seorang muslim yang taat, beliau tidak akan
menjerumuskan para orang tua, sebab dengan berlatar belakang ilmu pengetahuan
yang dimilikinya, beliau yakin bahwa vaksin itu aman dan halal. Jika sekarang
sudah tidak banyak kasus-kasus penyakit mematikan seperti polio, campak, dan
sebagainya, itu adalah bukti keberhasilan program imunisasi di seluruh dunia. Dikhawatirkan,
bila para orang tua tidak mau memvaksin anak-anaknya, kelak penyakit-penyakit
mematikan itu akan muncul lagi karena tidak ada imunitas yang dimiliki oleh
generasi mendatang. Di tengah kesibukannya sebagai dokter, beliau mau melayani
pertanyaan-pertanyaan para orang tua di twitter. Rumah vaksinasi yang
didirikannya melayani imunisasi dengan biaya yang lebih murah demi tercapainya
program imunisasi bagi seluruh rakyat Indonesia.
Senada dengan
dr. Piprim, dr. Dirga juga melayani pertanyaan-pertanyaan seputar vaksinasi
karena latar belakang pendidikannya sebagai spesialis vaksinasi. Tak perlu
sungkan untuk menanyakan seputar imunisasi kepadanya, dan tak perlu menyediakan
biaya apa pun untuk konsultasi gratis itu. Beliau akan menjawab semua
pertanyaan dengan senang hati, bahkan disertai candaan-candaan yang mengandung
keakraban. Stigma mengenai dokter yang galak, judes, tidak ramah, akan
terpatahkan setelah berkomunikasi dengannya.
Dokter yang
satu ini sering memberikan kuliah twitter (kultwit) seputar masalah kesehatan
secara umum. Kultwit-kultwitnya sangat mencerahkan dan menambah pengetahuan.
Diantara kultwit yang pernah saya ikuti adalah tentang penyakit diabetes,
hipertensi, kanker, depresi, keamanan obat
herbal, dan lain sebagainya. Beliau begitu rajin membagi ilmu disertai anjuran
untuk beribadah.
Dokter Tiwi lebih banyak membahas mengenai pentingnya ASI dan MPASI rumahan. Promo
yang gencar dari produsen susu formula membuat banyak ibu mengambil jalan
pintas dengan memberikan susu formula kepada bayi-bayi mereka tanpa disertai
kesulitan memberikan ASI. Padahal,
pemerintah sudah mengkampanyekan ASI Eksklusif enam bulan. Pemberian susu
formula kepada bayi di bawah enam bulan, tentu saja sangat memprihatinkan bila
sang ibu nyatanya mampu memberikan ASI. Bagaimanapun, kandungan ASI lebih baik
daripada susu formula. Itulah mengapa, dr. Tiwi merasa perlu untuk memberikan
edukasi kepada para orang tua mengenai pentingnya ASI.
Sebenarnya ini
aneh mengingat banyak dokter dan bidan yang bekerjasama dengan produsen susu
formula agar bayi diberikan susu formula. Ini bukan sekadar tuduhan tanpa
sadar. Sewaktu saya melahirkan anak pertama, bidan yang membantu kelahiran itu,
melarang saya memberikan ASI bila ASI-nya belum keluar. Alasannya, agar saya
beristirahat saja. Bayi saya pun mendapatkan susu formula sampai ASI
benar-benar keluar. Ketika pulang dari bidan, saya mendapatkan satu kotak susu
formula secara gratis. Promosi terselubungkah?
Kejadian itu
cukup membuat saya bertanya-tanya karena saya pernah membaca mengenai IMD
(Inisiasi Menyusui Dini) yang juga digalakkan oleh pemerintah. Sayangnya, waktu
itu saya belum cukup tegas sebagai orang
tua. Saya masih lebih percaya tenaga medis, dalam hal ini bidan. Syukurlah,
orang tua dan suami mendukung pemberian ASI, jadi bayi saya tetap mendapatkan
kolostrum. Susu formula yang diberikan oleh bidan tersebut, akhirnya dijadikan
campuran untuk membuat kue oleh ibu mertua.
Keberadaan
dokter-dokter twitter itu sangat membantu para orang tua yang masih awam dalam
mengasuh anak. Luar biasa mereka meluangkan waktu yang sangat sedikit untuk
membalas mention dari para follower yang ribuan banyaknya. Lihatlah
jumlah follower mereka yang begitu
banyak. Dr. Piprim memiliki 36,4 ribu followers
, dr. Tiwi memiliki 61,4 ribu followers,
dr. Bram Irfanda memiliki 34, 9 followers,
dr. Dirga memiliki 13,2 ribu followers.
Mereka tidak dibayar untuk melayani
pertanyaan-pertanyaan para followers
yang mungkin lebih cerewet daripada pasien asli yang datang ke klinik. Jadi,
tidak benar bila semua dokter itu materialistis dan hanya memikirkan
keuntungan. Ada yang benar-benar berdedikasi, seperti para dokter twitter di
atas itu.
kapan hari nyimak yang di tvone tapi bentar g smpe habis,nggak semua sih mengandung minyak babi..sebagian kecil....etapiii,mkasih mbk info akun twitter para dokternya hehehe,,,siapa tau nambah ilmu,pastinyaaa hehhe
ReplyDeleteCalon juara nih. Mantap mbak Leyla
ReplyDeleteBarakallah buat dokter2 itu. Salut :)
ReplyDeleteMoga sukses ya mbak Leyla, ikut mengaamiinkan komen mbak Ika
moga sukses ya mbak... :)
ReplyDeletewah saluut, model dokter yg diidamkn masa kini :) good luck mak :)
ReplyDeleteiya, bun. ada juga temen dokter yang bikin twitter dan blog khusus untuk konsul seputar gigi.
ReplyDeletenice post mbak.. aku jg bukan antivaksin, segitunya berprasangka sm pemerintah.. ngerii prasangka itu.
ReplyDeletetapi anakku yg fahri anaknya trauma suntik krn 2x opname DBD, jd berulang kali waktunya vaksin nggak bisa disuntik, berontak hebat sampe pegel sy sama ayahe :(.. padahal dia rentan sakit huhu kekebalannya tdk seperti adiknya zahra., jd saya nyoba niru pengganti vaksin dan imun ala teman2 walimurid bercadar yg nggak mau vaksin, pake sari kurma dan madu.. usaha demi anak sih mbak
Mau follow dokternya, makasih sharingnya Mbk.
ReplyDeleteHana: yg sudah diwajibkan pemerintah insya Allah halal.
ReplyDeleteMba Ika: Aamiin.. *teriak kenceng.
Mba Niar: Aamiin...
Hana Nuranini: makasih yaa :-)
Rodamemm: Iya, Mak, makasih.
Ila: Wah, harusnya kuwawancarai itu dokternya ya :D
Binta: apa gak bisa disusul vaksinnya? Sayang banget ya.
Mba Naqy, sip deh, yuk follow :-)
Bagus mba artikelnya. Aku suka
ReplyDeletebaarakallah, Bunda Leyla... artikelnya sangat bermanfaat. Selamat, jadi pemenang :)
ReplyDelete