“Kakak udah bisa
ngitung sampai berapa?” tanya Om Farhan, Om-nya Ismail, adik suami saya. Waktu
itu kami sedang berlibur ke rumah Nenek di Garut dan kebetulan ada Om Farhan.
Ismail menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan cepat.
“100 tambah
100?”
“200”
“200 tambah
600?”
“800”
“2000 tambah
2000?”
“4000.”
“Wah! Kakak udah
bisa sampai ribuan, ya?! Hebat!” Om Farhan geleng-geleng kepala setelah semua
pertanyaannya dapat dijawab oleh Ismail. Saya sendiri ikut takjub melihat
perkembangan Ismail, karena di sekolahnya
belum sampai menghitung ribuan. Kecuali Ismail mempelajarinya dari tempat lain.
Praktek, pastinya.
Memang,
sehari-hari saya sering mengajak anak-anak berbelanja di warung dekat rumah
ataupun di tukang sayur. Bisa dikatakan, saya amat jarang berbelanja sendirian.
Salah satu atau bahkan semua anak, pasti ikut ibunya berbelanja. Kadang terasa
ribet karena semua anak ikut ke warung. Kalau mereka sedang lengah, saya akan
berlari ke luar sendirian, hehehe… tapi lebih seringnya mereka sadar ibunya mau
ke luar rumah dan pasti ikuuut…..
Begitu juga
dengan aktivitas belanja bulanan di supermarket. Anak-anak sudah pasti ikut
semua, kalau gak ikut di rumah sama siapa, coba? Maklum, gak punya pengasuh
anak. Ternyata kegiatan ini juga termasuk proses edukasi untuk anak-anak.
Mereka jadi tahu transaksi perdagangan dan hitungan matematikanya. Pernah, di
rumah, mereka mempraktekkan proses transaksi. Ismail yang berjualan, Sidiq jadi
kasirnya.
Minggu lalu,
kami pergi lagi ke supermarket. Ismail sibuk memperhatikan harga barang-barang
yang ada di brandol. Sampai kemudian dia melihat makanan yang menarik
perhatiannya. Duh, kelihatannya dia tertarik tuh. Insting seorang ibu memang
gak bisa bohong. Dia pun menunjuk-nunjuk, daaan….
Pilih-pilih buah bersama Ayah |
“Mah, itu
harganya enam ribu, ya?” tanyanya ke arah makanan ringan yang dipajang di rak
dengan posisi strategis sehingga menarik mata pengunjung. Saya tau benar itu
makanan yang biasa saja, versi seribuannya pun ada. Yang bikin mahal hanya
tempat cupnya itu, sedangkan isinya hanya sedikit. Saya pun tegas menolak
membelikannya. Hoho… sudah pasti anak-anak langsung memberontak. Jadinya memang
bukan hanya Ismail yang menginginkan makanan itu, Sidiq juga kepingin! Kacau,
kan?
“Mahal ini Kak,
harganya enam ribu…” kata saya.
“Enam ribu itu
sedikit, kan?” tanya Ismail, kalem. Hahaha.. sedikit dari mana? Saya langsung
mencari alternative pengganti yang harganya memang “sedikit.” Sepertinya yang
dicari Ismail memang tempat cupnya itu. Syukurlah saya dapat makanan cup lain
yang harganya lebih murah.
“Ini aja ya,
Kak, harganya dua ribu tujuh ratus.” Saya menyodorkan makanan itu. Ismail
memperhatikan angka yang tertera di brandolnya dengan seksama.
“Dua ribu tujuh
ratus lebih murah ya dari enam ribu?” tanyanya sambil manggut-manggut. Dia pun
setuju mengambil makanan itu, tapi…. Sidiq masih bersikeras mengambil yang
harganya enam ribu!
“Dede maunya
yang ini…!”
Bingung mau yang mana.... |
O-oow… Memang
kalau sama adiknya ini perlu waktu lebih lama untuk membujuk. Saya tunjukkan
deretan makanan cup seharga dua ribu tujuh ratus itu, memang jumlahnya lebih
banyak daripada yang enam ribu. Syukurlah matanya menangkap tempat cup yng
berwarna merah jambu (berhubung yang seharga enam ribu itu juga warna cupnya
merah). Ah, lega deh anak-anak mau membeli yang lebih murah.
Perjalanan
berbelanja pun diteruskan. Bersama ayahnya, mereka ikut memilih-milih barang. Ismail
sering bertanya, “Kalau ini murah atau mahal, Mah?” Saya bukannya mengajarkan
untuk selalu membeli yang murah, tapi membeli yang berkualitas dan murah heheh….
Harus berhati-hati juga dengan aktivitas berbelanja ini. Di satu sisi bisa
mengajarkan anak-anak berhitung dan bertransaksi, tapi di sisi lain juga bisa
menimbulkan budaya konsumtif. Untuk menghindarinya, perlu beberapa tips:
Pertama,
jangan selalu menuruti permintaan anak untuk membeli sesuatu.
Kedua,
ajarkan konsep mahal dan murah.
Ketiga,
tunjukkan alternatif barang pengganti yang harganya lebih murah.
Keempat,
ajarkan tentang bersikap hemat dalam berbelanja.
Kelima,
beritahu bahwa jumlah uang kita tidak cukup untuk membeli semua barang yang
diinginkannya.
Keenam,
ajarkan menabung agar ia punya uang untuk berbelanja dengan uangnya sendiri.
Kadang-kadang
ada saja sih “drama” yang menemani aktivitas berbelanja ini. Seperti saat Sidiq
bersikeras membeli pasta gigi berhadiah mobil-mobilan. Tentu saja yang diincar
hanya hadiah mobilnya. Tahu sendiri kalau hadiah begitu materialnya pasti murah
dan gak lama pun rusak. Ayahnya menolak membelikan, malah disuruh beli
mobil-mobilan saja yang materialnya lebih bagus. Terpaksa deh saya balik lagi
ke dalam untuk mencari mainan itu, pfff….
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^