Anak-anak, anugerah yang luar biasa besarnya |
“Sebenarnya aku capek
ngurus anak. Stress fisik dan mental. Apa boleh buat, karena ini pilihanku sendiri
ya harus tetap dijalani.”
Kalimat di atas adalah status BBM
seorang teman yang sepertinya sedang lelah menjalani profesinya sebagai ibu. Saya
memakluminya, karena pernah berada pada titik itu. Memiliki anak-anak adalah
anugerah, tetapi mereka juga perlu dihadapi dengan bekal yang cukup. Dari sejak
hamil, melahirkan, bahkan sampai dewasa, anak-anak memberikan “pekerjaan” besar
kepada para orang tua. Tidak ada seorang pun yang serta merta menjadi orang tua
sempurna. Semua melalui proses belajar, dan gurunya adalah anak-anak.
Anak-anak mengajari para orang
tua untuk bersabar melalui tingkah mereka. Menangis semalaman yang tidak
diketahui penyebabnya, ditanya pun tak bisa karena dia masih bayi usia sebulan.
Muntah dalam jumlah banyak setelah disusui, lagi-lagi penyebabnya baru
diketahui belakangan. Sakit pilek yang tidak sembuh-sembuh, walaupun sudah
dibawa ke dokter dan diminumkan obat. Belum lagi ketika sudah memasuki fase
berjalan, meniru, berbicara, bersaing memperebutkan sesuatu, tidak mau sekolah,
membantah, berbohong, dan lain sebagainya.
Para ibu yang menghadapi
anak-anaknya selama dua puluh empat jam penuh, terkadang merasakan kejenuhan,
kelelahan, dan ingin keluar dari tekanan itu. Saya sudah mempelajari perbedaan
antara ibu bekerja dan ibu di rumah. Ibu bekerja jarang mengeluhkan perilaku
anak-anaknya karena mereka tidak menghadapinya seharian. Pekerjaan lain juga
memberikan semacam penyegaran dan kepuasan berupa materi dan aktualisasi. Sedangkan
ibu di rumah lebih sering mengeluhkan perilaku anak-anaknya, karena sepanjang
hari berkutat dengan anak-anak, bosan, jenuh, serta mengalami tekanan psikis.
Ciuman anak itu membahagikan |
Seorang wanita yang memilih
menjadi ibu di rumah, kadang-kadang juga mengalami tekanan mental dari
orang-orang di sekitarnya. Misalnya saja dari
orang tua yang sudah menyekolahkannya tinggi-tinggi. Sudah disekolahkan
tinggi-tinggi, kok “hanya” di rumah saja. Apa gunanya gelar sarjana yang
dimilikinya? Atau dari pandangan masyarakat, bahwa ibu di rumah tidak memiliki
penghasilan sendiri, bergantung kepada suami, kurang wawasan, tidak “mentereng”,
dan sebagainya.
Sebenarnya, ibu bekerja pun
memiliki tekanan mental antara ingin tetap bekerja atau fokus mengasuh
anak-anak. Saya pernah mendapatkan curhatan dari seorang teman yang bekerja dan
merasa jauh dari anak-anaknya. Dia ingin melepaskan pekerjaannya, tetapi tidak
bisa karena itu bentuk tanggungjawabnya kepada orang tua yang telah
menyekolahkannya. Suami pun tak mendukungnya untuk melepaskan pekerjaan.
Selamat datang di dunia para ibu!
Dunia penuh tantangan dan rintangan. Dunia para ibu ini begitu kompleks. Ibu-ibu
sering kali menanggapi perbedaan dalam mengasuh anak secara frontal dan
agresif. Melahirkan secara normal atau ceasar? Vaksinasi atau tidak? MPASI
Instan atau alami? ASI atau susu formula? Ibu bekerja atau di rumah? Dan lain
sebagainya. Sindir menyindir antara para ibu (tentang pengasuhan anak) tak
hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga di sosial media. Masing-masing
menginginkan pihak lain mengikutinya, tetapi yang ada adalah perdebatan tak
berujung.
Saya termasuk ibu yang bingung
ketika baru memasuki dunia ibu. Banyak “kesalahan” yang saya perbuat, tetapi
apakah kesalahan itu harus dihakimi sementara pelakunya belum memiliki
pengetahuan yang memadai? Yup, sebab menjadi ibu adalah proses belajar. Saya belajar
untuk memperbaiki kesalahan. Belajar berbahagia menjadi ibu, diantaranya
dengan:
Mensyukuri anugerah sebagai ibu,
karena tak semua wanita bisa mendapatkannya dengan mudah.
Anak-anak adalah berkah yang luar
biasa dari Allah Swt. Tak sekali saya bertemu dengan wanita yang sulit
mendapatkan anak. Pertemuan itu menyadarkan saya bahwa anak-anak adalah
pemberian Tuhan yang tidak diberikan kepada semua wanita. Meskipun seseorang
sudah berusaha sedemikian rupa untuk mendapatkan anak, bila Tuhan belum
menghendaki maka anak yang diinginkan tak juga hadir. Proses hamil dan
melahirkan itu sendiri adalah proses yang menakjubkan. Merasakan gerak janin di
dalam perut, dan menunggu detik-detik melahirkan yang menegangkan dan tentu
saja sakit. Dari situ saya menyadari bahwa sosok seorang ibu adalah sosok yang
luar biasa. Pantas saja jika seorang anak manusia diwajibkan mendahulukan
berbakti kepada ibunya, tiga kali lebih banyak daripada kepada bapaknya.
Ganjaran menjadi ibu adalah surga,
bagi siapa pun yang percaya. Setiap usaha seorang ibu dalam merawat
anak-anaknya, akan mendapatkan pahala yang berlimpah dari Tuhan. Berhubung saya
mempercayai hal-hal spiritual semacam itu, maka saya meyakini bahwa tugas
menjadi ibu adalah jihad, pekerjaan di jalan Tuhan yang balasannya lebih besar
daripada semua harta yang ada di dunia ini. Ibu adalah pemelihara generasi. Bagaimana
jika tak ada seorang ibu pun yang mendedikasikan dirinya untuk merawat anak
manusia? Tentu akan terlantarlah bayi-bayi yang ada di muka bumi ini. Bersyukurlah
menjadi ibu, karena pekerjaan itu adalah pekerjaan yang paling mulia di antara
semua pekerjaan lain.
Memperbanyak pengetahuan dalam
mengasuh anak.
Pekerjaan mengasuh anak itu bukan
pekerjaan sepele. Ada banyak hal yang perlu kita pelajari agar anak-anak tumbuh
sehat secara fisik dan mental. Sejak hamil, saya sudah membaca buku-buku
tentang kehamilan, kelahiran, dan pengasuhan anak. Tetap saja ada yang kurang. Saya
juga menambah wawasan dengan membaca majalah-majalah dan tabloid pengasuhan
anak, diantaranya Tabloid Nakita. Pertemuan bersejarah dengan Tabloid Nakita
dimulai ketika saya masih lajang. Saya bekerja di sebuah perpustakaan milik
komunitas penulis yang namanya sudah tersohor. Suatu ketika, salah seorang
reporter Nakita, Mas Irfan Hasuki, membuat janji untuk meliput perpustakaan
tersebut. Saya menjadi salah satu narasumber yang turut memberikan keterangan
mengenai kegiatan perpustakaan, berkaitan dengan profesi saya yang penulis
sekaligus pustakawan.
Masuk Rubrik Buah Hati di Tabloid Nakita 3 Maret 2009 |
Setelah melahirkan anak kedua,
saya kembali bertemu dengan Mas Irfan Hasuki dan hendak mewawancarai saya dalam
rubrik Buah Hati. Wow, saya surprised
sekali. Itu pertama kalinya saya diwawancarai oleh media berkenaan dengan profesi
menulis dan ibu rumah tangga yang saya tekuni. Membaca Tabloid Nakita
memberikan banyak wawasan dalam hal pengasuhan, pendidikan, dan kesehatan
anak-anak. Selain bisa dibaca dalam bentuk cetak, Tabloid Nakita juga bisa
dibaca dalam bentuk digital. Jadi, tidak ada alasan lagi bagi para ibu untuk
menambah wawasan dalam mengasuh anak.
Menulis untuk berbagi dengan
sesama ibu dan mengembangkan potensi diri.
Menjadi ibu yang di rumah bukan
berarti tidak bisa berbagi dengan sesama. Syukurlah saya sudah suka menulis
sejak remaja, bahkan sudah menerbitkan belasan buku. Menulis adalah terapi
mujarab untuk mengobati kejenuhan, kelelahan, stress, dan lain sebagainya. Tidak
ada alasan untuk tidak menulis. Kalaupun belum sempat membuka laptop karena
kesibukan mengasuh anak, saya menulis di ponsel. Saya pernah membukukan
pengalaman menjadi ibu muda dalam buku berjudul “Catatan Hati Ibu Bahagia.”
Rasanya tak habis cerita pengalaman sehari-hari menjadi ibu yang ingin saya
bagikan kepada ibu-ibu lainnya. Proses menerbitkan buku tak secepat menulis di
blog. Maka, saya membuat blog khusus untuk menuliskan pengalaman itu, yaitu
blog ini. Judul blognya sama dengan judul buku saya itu.
Mengapa judulnya “Catatan Hati
Ibu Bahagia”? Sebab, saya ingin selalu berbahagia menjadi ibu. Dan berharap
para pembaca juga ikut berbahagia, menikmati peran sebagai ibu yang sungguh
luar biasa. Karir yang belum tentu didapatkan oleh wanita lain. Tujuan penulisannya
tak hanya untuk berbagi seputar pengasuhan anak, tetapi juga menjadi sarana
dokumentasi keseharian bersama anak-anak. Saya membayangkan seandainya dulu ibu
saya menulis di blog tentang saya, pasti sekarang saya bahagia sekali membaca
catatan-catatannya. Mengembalikan memori saya ke masa kanak-kanak. Demikian pula
yang saya harapkan dari blog ini, kelak dapat dibaca oleh anak-anak setelah
dewasa. Semoga mereka bangga memiliki ibu yang telah mendokumentasikan
keseharian mereka.
Bergaul dengan komunitas yang
mencerahkan.
Bertemu dengan sesama ibu rumah tangga |
Kita juga membutuhkan dukungan
dari rekan seprofesi, sesama ibu yang berdedikasi untuk anak-anaknya. Ibu-ibu
berkelompok untuk saling memberikan kekuatan, motivasi, dan dukungan. Walaupun tak
jarang juga berselisih paham, tetapi itu bagian dari proses pendewasaan. Yap,
bergaul dengan ibu-ibu di sekitar komplek maupun ibu-ibu di sosial media cukup
membantu memulihkan kepercayaan diri. Tentunya, dalam bergaul pun kita harus
memilih teman yang memotivasi, bukan justru menjatuhkan kepercayaan diri kita.
Fasilitas internet yang diberikan oleh suami, saya manfaatkan untuk menambah
teman sebanyak-banyaknya. Saya bergabung di grup Ibu Rumah Tangga dan Ibu Muda
Kreatif di Facebook. Belakangan ini, untuk mendukung aktivitas ngeblog, saya
bergabung di grup Kumpulan Emak-Emak Blogger. Semangat dan inspirasi pun bisa
didapatkan setiap hari. Semangat untuk menjadi ibu yang berbahagia.
Setidaknya itulah kunci untuk
berbahagia menjadi ibu yang sudah saya terapkan. Ibu-ibu lain pasti juga
memiliki kunci sendiri. Yuk, mari berbahagia menjadi ibu karena anak-anak
adalah anugerah yang paling indah yang pernah diberikan Tuhan kepada kita.
makasih mbk pencerahannya,kadang saya heran juga sm mbk ley...jagoan banyak dan masih kecil2 tapi tulisan dimana2,buku bertebran dimana2,salutttt banget bagi waktunya...makannya kalo saya ngeluh masalah sepeleee aja suami langsung ngingetin,bersyukur, dinikmati,dibuat santai,jangan jadi beban...gitu mesti kata2nya hehe...
ReplyDeletemakasih ya mbk^^
aku belum married tapi setuju banget sama postingan ini ^^
ReplyDelete"menjadi ibu adalah jihad, pekerjaan di jalan Tuhan yang balasannya lebih besar daripada semua harta yang ada di dunia ini"
#thepowerofmom :)
Memang hebat ibu yang satu ini :)
ReplyDeleteSemoga Mak Leyla terus sukses dalam berkarya dan menginspirasi ^_^