Suatu hari,
suami saya berkata begini kepada saya: “kata pakar parenting, anak-anak
sebaiknya tidak ditakut-takuti masuk neraka, tidak baik untuk perkembangannya.”
Terus terang
saya tidak setuju. Saya memang bukan pakar parenting, tetapi saya sudah
merasakan sendiri efek dari pengasuhan kedua orang tua saya yang dulu sering
menakut-nakuti saya dengan neraka.
“Jangan
nakal ya, nanti masuk neraka.”
“Kalau gak
puasa nanti masuk neraka, lho….”
“Ayo salat,
kalau gak nanti masuk neraka.”
Saking
semangatnya orang tua saya mengenalkan neraka, di usia enam tahun, saya
diberikan komik tentang siksaan neraka oleh ibu saya. Gambar di dalam komik itu
sangat menyeramkan. Kalau korupsi, nanti perutnya gendut sampai ke bawah
sehingga tidak bisa jalan. Kalau berzina, nanti kemaluannya ditusuk dengan besi
api sampai tembus ke mulut. Kalau berbohong, nanti lidahnya dipotong. Ih, seram
ya penjelasan saya ini. Kenyataannya
memang komik itu tidak berbohong. Siksaan-siksaan neraka itu bukan
karang-karangan si pembuat komik, melainkan telah disebutkan di dalam
hadist-hadist Nabi Muhammad SAW. Jika Nabi saja menjelaskan tentang siksaan
neraka itu kepada umatnya, mengapa orang tua tidak boleh menjelaskannya kepada
anak-anaknya?
Terbukti, saya
takut sekali masuk neraka. Sangat takut. Setelah membaca komik itu, saya jadi
terbayang-bayang terus dan tidak mau berbuat dosa karena takut masuk neraka. Setiap
kali mau berbohong, saya membayangkan lidah dipotong oleh malaikat neraka. Setiap mau membunuh binatang yang dilarang
dibunuh, saya ingat bahwa di neraka nanti binatang-binatang itu akan ganti membunuh
saya berkali-kali. Apalagi kalau mau berbuat zina, naudzubillah… gambar wanita
yang ditusuk kemaluannya sampai ke mulut itu masih terbayang-bayang di kepala
saya.
Namun, manusia
tidak pernah terlepas dari dosa. Setelah menjadi istri, saya merasa dosa saya
semakin banyak. Menjalani kehidupan pernikahan itu penuh lika-liku. Kesabaran
suami dan istri sama-sama diuji. Yang lebih menakutkan bagi saya bilamana saya
tergelincir melakukan kesalahan kepada suami, dan itu sudah sering terjadi.
Rasa lelah mengasuh anak dan mengurus rumah tangga membuat saya kesulitan
mengontrol emosi. Saya merasa wajib membagi kelelahan itu kepada suami, karena
dia berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah anak-anak tidur.
Sepertinya suami saya tidak perlu berlelah-lelah mengurus anak, atau
minimal mendengarkan rengekan mereka. Saya
mengeluhkan hal itu kepada suami tanpa tahu bahwa suami mungkin juga sedang
dilanda kelelahan yang sama yang berasal dari pekerjaan kantornya.
Rasulullah
bersabda, “saya melihat neraka yang tidak pernah saya lihat seperti hari ini. Dan
saya melihat penghuni terbanyak berasal dari kaum wanita. “Mereka (para
sahabat) bertanya, “kenapa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Karena
pengingkaran mereka.” Para sahabat bertanya lagi, “Apakah mereka ingkar kepada
Allah?” Rasulullah menjawab, “Mereka membangkang dan mengingkari kebaikan
suami. Jika engkau berbuat baik kepada salah satu dari mereka sepanjang tahun,
lalu ia melihat darimu sesuatu (yang tidak ia sukai), maka ia berkata: “Saya
belum pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” ” Hadist Riwayat Bukhari.
Naudzubillahimindzalik.
Bersyukur terhadap pemberian suami. Ini bukan pekerjaan mudah. Sering sekali
kita mendengar ibu-ibu mengeluhkan pendapatan suaminya yang dianggapnya tidak
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Atau, minimal mengeluhkan kebiasaan-kebiasaan
suaminya yang tidak berkenan di hatinya. Celakanya, saya juga pernah begitu. Astahgfirullahaldzim…..
Saya belajar untuk mensyukuri suami saya, agar tidak termasuk ke dalam
wanita-wanita penghuni neraka.
Maka, di ulang
tahun pernikahan kami yang ketujuh yang jatuh pada tanggal 18 November 2013,
saya ingin sungkem kepada suami. Seandainya seorang istri dibolehkan sujud di
kaki suaminya, saya akan melakukannya. Tentu saja itu tidak diperbolehkan
karena kita hanya boleh sujud kepada Allah Swt. Suami telah mengambil tanggung
jawab mendidik dan memelihara saya,
sejak Ijab Qabul diucapkan. Sudah pasti kewajibannya terhadap saya di mata
Allah Swt sangatlah besar. Jadi, mengapa saya masih menyusahkannya dengan
hal-hal sepele? Karena sesungguhnya
tanggung jawab kami sama-sama besar.
Rasulullah
juga bersabda,”Wanita mana saja yang meninggal dunia, kemudian suaminya merasa
ridho terhadapnya,maka dia masuk surga.” HR. Ibnu Majah.
Memang tidak
mudah untuk mengakui kesalahan kita, apalagi kepada suami. Di zaman emansipasi
seperti sekarang ini, kaum wanita ingin benar-benar disetarakan dengan kaum
lelaki, sehingga bisa jadi membuat mereka tidak mau tunduk dan patuh kepada
suaminya dengan alasan emansipasi. Ada rasa
gengsi ketika menuruti perintah suami. Bila tidak dilandasi oleh iman, pastilah
tidak ada istri yang patuh kepada suaminya. Selama kepatuhan itu dalam rangka
beribadah kepada Allah Swt, kenapa tidak? Kecuali jika suami menyuruh kita
melakukan keburukan, bolehlah kita tidak patuh kepadanya. Di dalam kapal pun,
hanya ada satu nakhkoda, begitu juga di dalam sebuah rumah tangga. Bila suami
istri bersikeras memaksakan pendapatnya masing-masing, tak akan pernah ada
titik temu.
Allah Swt pasti
punya maksud mengapa menjadikan suami sebagai imam istri. Sebab, para suami
dikaruniai kelebihan-kelebihan, yang barangkali tak dapat kita (para istri)
lihat secara kasat mata. Rasa syukur terhadap suami perlu ditumbuhkan dengan
cara: tidak mencela pemberian suami, tidak mengeluhkan kekurangan suami,
mengucapkan terima kasih setelah menerima pemberian suami, dan tidak membuka
aib suami kepada orang lain. Saya yakin, bila istri mau patuh dan taat kepada
suaminya, tidak ada kekisruhan rumah tangga. Saya jadi ingat bagaimana saat
Aisyah dan Hafsah mempermasalahkan pemberian Rasulullah yang dirasa kurang.
Bahkan mengajak istri-istri Rasul lainnya untuk mengadakan “demonstrasi.”
Rasulullah menyuruh istri-istrinya untuk memilih: dirinya atau hartanya? Jika
ingin harta, maka Rasulullah akan menceraikan semua istrinya karena beliau
tidak memiliki harta sebanyak yang diinginkan istri-istrinya. Jika ingin tetap
bersama Rasulullah, maka harus bersabar terhadap pemberiannya.
Lihatlah,
istri-istri Rasulullah juga memiliki sisi manusiawi, ada kalanya menginginkan
kemewahan dalam hidup. Sedangkan kita tahu Rasulullah sangat sederhana. Dari kisah
itulah, Allah Swt memberian pelajaran agar para istri bersyukur terhadap
pemberian suaminya. Apalagi bila suami sudah bekerja keras sepanjang hari. Tak elok
bila istri masih marah-marah karena merasa kurang.
Saya tidak
masuk neraka gara-gara tidak mensyukuri suami, maka saya selalu meminta kepada
suami agar meridhoi saya dan memaafkan kesalahan-kesalahan saya. Maafkan saya, suamiku, dan semoga pernikahan
kita selalu kokoh dan diridhoi Allah Swt. Aamiin….
Jika ada kesalahan dalam penulisan postingan ini, maka itu berasal dari kelemahan saya sebagai manusia. Mohon dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.
Aamiin. Istri yang baik :)
ReplyDeleteSemoga samara ya mbak
Moga menang juga ...
Aaamiin.. mba Niar, moga selalu jd istri baik :-)
DeleteAdem mbaca tulisannya mbak, semoga menjadi keluarga yg SAMARA...tahun ini, kami pun memasuki usia pernikahan yg ke 7, mhn didoakan jg ya mbak hehehe
ReplyDeleteterimakasih sudah membaca, Pak. Semoga Samara juga.Aamiin :-)
Deletehuawaaa jadi kangen suamiku, aku yooo jarang bilang makasih kalo dia ngebeliin makanan sepulang kerja
ReplyDeletebiasanya karena suka mengungkit2 kebaikan diri sendiri dan lupa kalau suami jg pernah berbuat baik, gitu ya bun? :D hehe
ReplyDeletei agree with u mb ell.... *nulisny bener g itu? :)
ReplyDeleteSaya suka bgt tulisan ini mbak :)
ReplyDeleteAmiiiiiin..
ReplyDeleteIya saya jg pernah dengar Kalo anak2 itu jangan ditakut2i sama Neraka. Tp Gmana ya..itu salah satu cara biar anak juga mau Ibadah kan. Wkt Kecil suka juga dilihat in gambar2 mnyeramkan ttg neraka
alhamdulillah, terimakasih sudah berkenan berpartisipasi,
ReplyDeleteartikel sudah resmi terdaftar sebagai peserta..
salam santun dari Makassar :-)