Solo: The Spirit of Java. Sumber foto: www.kabaresolo.com |
Bagi saya, Kota
Solo adalah kota yang tak terlupakan. Bagaimana tidak, saya lahir di kota itu. Sebagian
besar keluarga dari pihak ibu, tinggal di Solo, tepatnya Karanganyar. Semasa
kecil, setiap liburan sekolah, kami pasti pulang ke Solo, mengunjungi Mbah Kakung,
Mbah Putri, Pakde, Bude, dan saudara-saudara lainnya. Di dalam memori masa
kecil saya, masih teringat jelas butir-butir padi yang menguning terhampar di
depan rumah Pakde. Dinginnya air pegunungan, berkebalikan dengan panas matahari
yang mencekat bila siang tiba.
Ibu saya adalah
orang Solo yang hijrah ke Jakarta untuk bekerja, lalu menikah dengan bapak saya
yang asli Jakarta dan kemudian mereka tinggal di Jakarta. Sebagai anak pertama,
saya dilahirkan di Solo karena ibu saya ingin melahirkan ditemani orang tuanya.
Tidak lama setelah dilahirkan, mereka kembali ke Jakarta. Otomatis, saya tidak
bisa berbahasa Jawa. Entah mengapa ibu saya tidak mau mengajarkan, tapi kalau
berbicara dengan sesama orang Solo ya tetap pakai Bahasa Jawa.
Kami pulang ke
Solo setiap liburan sekolah atau bila ada hajatan atau musibah kematian. Saya
ingat bagaimana macetnya perjalanan ke Solo, terutama di jalur Pantura pada
libur lebaran. Namun, kemacetan itu kini saya rindukan. Sejak Mbah Putri
meninggal, yang disusul kemudian oleh Mbah
Kakung, dan akhirnya ibu saya pun meninggal, kami sudah tidak pernah
lagi ke Solo. Rindunya luar biasa, tetapi belum juga ada kesempatan ke sana.
Jembatan Bengawan Solo, kalau sudah melewati ini berarti sudah masuk Solo. Sumber gambar: Wikimedia |
Dalam
perjalanan ke Solo, saya selalu diingatkan akan jembatan Bengawan Solo,
jembatan yang berdiri di atas aliran sungai Bengawan Solo. Kita pasti ingat
dong lagi Bengawan Solo yang diciptakan
oleh Gesang. Lagu itu begitu melegenda, bahkan saya pernah mendengar
versi Cina-nya di sebuah film Taiwan. Aduh, saat itu saya tersentuh sekali.
Bagaimana tidak, lagu klasik Indonesia dinyanyikan oleh orang luar negeri?
Kalau sudah
lupa bagaimana liriknya, ini dia:
Bengawan Solo…
riwayatmu kini…
Sedari dulu…
jadi perhatian insani…
Musim kemarau…
tak seberapa airmu…
Di musim hujan
air… meluap sampai jauh…
Mata airmu dari
Solo… Terkurung gunung seribu….
Kaum pedagang
selalu… naik itu perahu….
Nah, itu lirik dalam versi aslinya. Kalau mau mendengarkan versi Cina-nya, klik video di bawah
ini, yang menjadi soundtrack film "The Sun Also Rises." Duh, bikin hati nyeees mendengarnya. Jadi makin kangen ke Solo.
Setiap liburan, sepupu-sepupu saya akan mengajak jalan-jalan ke Waduk yang letaknya dekat dengan rumah Pakde. Ah, saya lupa nama waduknya, karena di Karanganyar itu ada banyak waduk yang berfungsi untuk mengairi sawah-sawah di sekitarnya. Sukar dilukiskan betapa indah pemandangan alamnya. Dari rumah Bude, saya bisa melihat Gunung Lawu. Gunung ini mengingkatkan saya akan Drama Kolosal “Mak Lampir.” Konon, Mak Lampir itu berasal dari Gunung Lawu. Kalau tengah malam, Mbah Kakung sering memutar drama radio Mak Lampir (sebelum drama itu masuk ke televisi). Jadi, yang terekam di benak saya, di Gunung Lawu itu ada Mak Lampirnya.
Solo Itu Indah, Asri, dan Nyaman
Rumah keluarga
besar saya di Solo ada di Kota Karanganyar. Dulu, kota ini relatif sepi
walaupun jalanannya mulus. Di belakang rumah Mbah Kakung ada terminal bus, jadi
kalau mau pulang ke Jakarta ya tinggal jalan ke belakang. Rumah Mbah Kakung juga ramai oleh pendatang
yang ingin salat di Langgar (musala kecil) di depan rumah. Debu-debu selalu
masuk mengotori lantai rumah karena rumah berada di sisi jalan raya.
Seingat saya,
Kota Solo sejak dulu memang sudah indah, asri, dan nyaman. Jalanannya bersih, kendaraan
tidak banyak berlalu lalang, pedagang kaki lima di trotoar pun tak ada. Tak
heran bila Kota Solo masuk ke dalam 77 besar kontes New Seven Wonders City. Bayangkan,
Solo akan bersaing dengan Jakarta, Jepang, Paris, Doha, dan kota-kota keren
lainnya di dunia. Sudah tentu ini prestasi yang menakjubkan, mengingat kota itu
kurang disebut-sebut, kecuali setelah popularitas Jokowi. Di Indonesia ini kan
yang sering disebut-sebut itu Jakarta, Bali, Bandung, dan Yogya. Padahal, Kota
Solo juga menyimpan keindahan yang harus ditunjukkan kepada dunia.
Solo Itu Kaya Obyek Wisata
Obyek wisata di kota Solo yang pernah saya
kunjungi adalah Tawang Mangu, tempat air terjun yang mempesona. Saya masih
ingat jalan mendaki berupa anak-anak tangga yang harus dituruni demi mencapai
air terjun di Tawang Mangu. Pulangnya ya harus mendaki. Dulu ada fotonya, tapi
sekarang sudah hilang entah ke mana.
Air Terjun Tawang Mangu |
Saya juga
pernah sekali saja ke Pasar Klewer, pusat perdagangan Batik di Kota Solo. Saya
belum mengerti benar, karena ibu saya yang berbelanja baju batik itu. Hampir
mirip dengan Pasar Beringharjo di Malioboro (kalau ini saya masih ingat
kondisinya karena baru sekitar lima tahun lalu ke Yogyakarta). Banyak baju-baju
batik khas Solo yang dijajakan. Jadi, Indonesia ini hampir setiap daerahnya
memiliki batik, tapi berlainan corak. Untuk Jawa Tengah, ada batik Pekalongan,
Solo, Yogya, dan sebagainya. Saya bukan pakar batik, jadi tidak bisa membedakan
corak-corak tersebut.
Dan jangan
lupakan Keraton Solo, keraton yang dijadikan Kasunanan Surakarta. Saya juga
hanya numpang lewat di sini. Sampai sekarang bangunannya masih dipertahankan
keasliannya, serta berfungsi sebagai tempat tinggal Sunan dan rumah tangga
istana. Selain itu juga digunakan sebagai museum, obyek wisata budaya, serta
diadakannya upacara-upacara adat seperti: Grebeg, Sekaten, Kirab Mubeng Beteng,
dan Pusaka (Heirloom).
Keraton Surakarta |
Solo Itu Kaya Kuliner
Brem Solo |
Kalau ke Solo,
saya tak akan melewatkan memakan kue brem asli Solo yang berbeda dengan brem
Madiun. Brem Madiun kan warnanya kuning, kalau brem Solo ini warnanya putih.
Rasanya lebih manis dan lembut, lumer di mulut. Setiap akan pulang ke Jakarta,
Mbah Putri pasti mengoleh-olehi brem ini. Saya pernah merasa kangen sekali
dengan brem ini. Susahnya mendapatkan brem Solo kalau tidak ke Solo. Syukurlah,
sekarang di Jakarta pun bisa mendapatkannya di toko oleh-oleh khas Solo.
Ampyang |
Selain itu, ada
juga Ampyang dan Intip Solo. Kedua makanan ini juga masuk ke dalam tas
oleh-oleh dari Mbah Putri. Saya ingat betul Mbah Putri akan ke pasar di
belakang rumah dengan berjalan kaki, lalu berbelanja oleh-oleh tersebut. Beberapa
kali saya juga ikut ke pasar yang dekat dari rumah itu dan masih tercetak jelas
di dalam ingatan.
Apakah hanya
itu makanan khas Solo yang saya sukai? Ya, tidak. Bubur sumsum juga sangat
familiar di lidah saya. Untungnya yang ini mudah membuatnya, meskipun rasanya tak
selalu sama dengan aslinya. Orang Solo sangat suka makanan manis, jadi makanan
di sana yang manis-manis. Setiap pagi dan sore selalu disuguhi teh manis yang
sangat manis. Seakan-akan teh manis itu sudah menjadi minuman wajib. Saya hapal
sekali rutinitas ini. Sewaktu saya berkunjung ke rumah saudara di Yogya (yang
aslinya dari Solo), rutinitas ini masih berlangsung. Padahal, saya sudah jarang
minum teh manis, kecuali kalau sedang makan di restoran (soalnya teh manis itu
paling murah harganya).
Menuliskan ini
membuat saya ingin ke Solo lagi. Kota itu begitu mempesona, seperti berada di
masa lampau dengan jalanan yang bebas hambatan dan bangunan-bangunan tua yang
masih bertahan. Seandainya dulu saya sudah memiliki kamera handphone, tentu
setiap sudutnya akan saya abadikan. Kini,
hanya tulisan ini yang bisa saya tuliskan sambil menunggu adanya kesempatan
berkunjung ke Solo.
Catatan:
Informasi tentang 77 Seven Wonders bisa dibaca di sini.
Informasi tentang Keraton Solo bisa dibaca di sini.
Catatan:
Informasi tentang 77 Seven Wonders bisa dibaca di sini.
Informasi tentang Keraton Solo bisa dibaca di sini.
Solo...saya juga punya banyak kenangan manis dengan kota ini mba...walaupun baru pertama,,,karena ke Solo waktu itu dalam rangka ASEAN Blogger Festival Indonesia...seruuu dan hebooh :D...TFS
ReplyDeleteWwah, asik tuh kalo diceritain juga, Mba Indah, biar saya tahu kabar terakhir dari Solo :-)
Deletekalo denger dan menyanyikan lagu bengawan solo, merinding.... terbawa arus suasana, padahal saya belum pernah ke solo dan belum pernah lihat bengawan solo :D
ReplyDeleteIya Mbak, memang lagunya itu menyentuh banget.
DeleteSaya pernah tinggal di Solo, Mak. Aseli betah banget n berat mau pindah :'(
ReplyDeleteWaktu ke Tawangmangu bawa rombongan keluarga, ponakan sy ngitung ada 80-an anak tangga. Entah hitungannya bener apa enggak, yg jelas kaki sy langsung sakit2 besoknya krna naik tangga sambil gendong anak :D
Ditunggu ceritanya ttg Solo, Mak Inna. Wah, sampe 80 anak tangga ya hehe
Deleteaduh, jadi kepengen bubur sumsum :D aku belum pernah ke solo, mudah2an ada kesempatan berkunjung ke sana :)
ReplyDeleteAamiin.. klo bubur sumsumnya bisa dibuat sendiri Mak :-)
Delete