credit |
Judul: Anakku Sehat Tanpa Dokter (ASTD)
Penulis: Sugi Hartati, S.Psi
Penerbit: Stiletto Book, April 2013
Halaman: 201
ISBN: 978-602-7572-14-0
Harga: Rp 40.000
Terakhir kali saya pergi ke
dokter anak, rasanya mengesalkan sekali. Saya harus menunggu berjam-jam hanya
untuk mendapatkan bagian lima menit memeriksakan kondisi anak saya dan
mendapatkan resep dokter. Mengantri di
dokter anak adalah pekerjaan menjemukan. Entah di dokter anak yang mana saja,
selalu mengantri. Sepertinya banyak orang tua yang percaya bahwa anak sakit,
harus ke dokter, walaupun penyakitnya umum, semacam flu, batuk, dan pilek.
Ketika membaca judul buku ini,
“Anakku Sehat Tanpa Dokter,” rasanya seperti sedang menampar saya. Apalagi
ketika mulai membaca bagian-bagian awal di mana penulis memaparkan mengenai
perlunya melepaskan ketergantungan kepada dokter, “aduh, ini sih nyindir saya
banget….” Sepertinya bukan hanya saya yang tersindir.
Penulis bukan seorang dokter, melainkan
seorang ibu rumah tangga dengan tiga orang
anak. Ulasan di buku ini lebih berdasarkan pengalamannya dalam menangani
penyakit anak-anaknya. Penyakitnya pun penyakit yang umum diderita anak seperti
flu, batuk, pilek, diare, mual, panas, demam, dan lain-lain. Bukan penyakit
berbahaya yang membutuhkan bantuan dokter. Tidak semua penyakit harus ditangani
oleh dokter, orang tua pun bisa menangani penyakit yang umum diderita anak.
Tidak percaya? Setidaknya penulis
sudah mempraktekkannya sendiri kepada
anak-anaknya. Contohnya ketika anaknya dan anak tetangganya sakit bersamaan
dengan penyakit yang sama, penulis
memilih menerapi anaknya di rumah dengan cara-cara terapi yang dia yakini,
ketimbang membawanya ke dokter. Toh, itu penyakit yang umum terjadi pada
anak-anak. Sedangkan tetangganya membawa anaknya ke dokter. Hasilnya? Dokter
meminta anak tetangganya agar diopname selama lima hari dan tentunya
menghabiskan biaya berjuta-juta. Kedua anak itu sama-sama sembuh. Bedanya, anak
penulis tak membutuhkan biaya kesembuhan sampai berjuta-juta.
Apakah kita tidak boleh ke
dokter? Tentu saja boleh, tetapi tak semua penyakit harus dibawa ke dokter.
Dokter cukup menjadi tempat untuk mengkonsultasikan mengenai penyakit anak
kita, tak mesti meminta obat. Sedangkan paradigma yang sekarang berkembang,
kita berniat pergi ke dokter untuk mendapatkan obat. Bagaimanapun, obat dibuat
dari bahan kimia yang harus berhati-hati dalam penggunaannya, karena beberapa
obat dapat menimbulkan reaksi alergi yang justru memparah kondisi penyakit.
Penulis memberikan masukan-masukan mengenai gaya hidup sehat untuk mencegah
penyakit serta cara menerapi penyakit tanpa obat, diantaranya dengan
mengonsumsi makanan bergizi yang bisa memberikan efek pengobatan dan melakukan
pemijatan pada bagian-bagian tubuh tertentu.
Buku ini benar-benar bermanfaat
untuk para ibu yang diamanahi mengurus anak-anak. Ketika anak sakit, ibulah
yang paling menderita. Bahkan, sudah jamak terdengar ibu-ibu yang ingin
penyakit anaknya dipindahkan saja ke dirinya, daripada melihat anaknya yang
sakit. Yang benar adalah, ibu harus tetap sehat agar bisa menyembuhkan anaknya.
Ibu juga yang seringkali menjadi kambing hitam bila anak sakit, karena dianggap
tidak memperhatikan kesehatan anak. Di Bab V, kita akan disajikan tips-tips
menangani penyakit anak tanpa dokter: Panas/ Demam, Diare, Infeksi Telinga,
Asma (Sesak Napas), Sariawan, Amandel, Batuk, Pilek, Gatal-Gatal, Sakit Kepala,
Muntah-muntah, Sakit Perut, Sakit Gigi. Kalau kita ingin lebih afdal, kita
boleh tetap ke dokter untuk mengkonsultasikan penyakit anak kita. Beberapa obat
juga boleh dikonsumsi dalam kondisi darurat.
Intinya, bijaklah dalam
menggunakan jasa dokter dan mengonsumsi obat, karena rahasia sehat ada pada gaya
hidup sehat (makanan dan kebersihan).
Saya dan Sidiq (4,5 tahun) baca buku ASTD |
iya mbak buku ini bener2 manfaat.. sy suka praktek beberapa resep juznya.
ReplyDeletedan sekarang jd gak grusa grusu lagi kalau anak sakit tergesa maunya ke dokter.. dapet ilmunya penanganan pertama. alhamdulillah :)
Bener mb, ini buku yg sangat bermanfaat :-)
DeleteReviewnya bagus mbak. Makasih ya. Semoga anak-anak dan keluarga bisa sehat tanpa dokter.
ReplyDeleteAamiin.. sama-sama Mb Sugi :-)
Deletekeren Mb....jadi pingin baca bukunya....kalau kemarin pingin, sekarang jadi pingiiiiinnn bangettttt
ReplyDeleteAyo beli, mb Pujia, dan ikut lomba resensinya juga :-)
DeleteJadi pengen punya bukunya.. bungsuku sering radang siapa tau ada solusinya di buku ini :(
ReplyDeleteMengatasi radang juga ada di buku ini, mba :-)
Deletesaya juga jarang ke dokter dan minum obat setelah nikah mbk,kena virus suami yg g pernah minum obat....kalo meriang banyak2 minum air hangat,selimutan,istirahat udah gitu aja hehehe....
ReplyDeletepenasaran bukunya ^^
Klo saya emang harus dikemplang nih, terlalu bergantung sama dokter, maklum gratis :D
DeleteAyo baca mbaa
reviewnya baguuuuus mbak...mantap kali isinya :D
ReplyDeleteKayaknya aku harus punya buku ini, semoga ada di Aceh
btw, pake bajunya kompak banget anak sama emaknya, xixixiiiii
Kebetulan abis solat Ied kemarin, bajunya kembaran, mb. Ya sudah, langsung foto-foto aja XD
DeleteSaya seorang dokter umum, saya juga jarang membawa anak saya ke dokter spesialis kalau sakit.
ReplyDeletekalau ada yang bilang,"wajar lah emaknya dokter,"
Bukan begitu. Saya juga jarang memberi anak obat kecuali terpaksa. Misalnya demam terpaksa minum obat (anak demam, wajib diturunkan dengan obat karena demam akan cepat memepngaruhi jaringan otak anak). Kalau antibiotik? Hmm.. anak2 saya belum pernah kemasukan antibiotik, walaupun obatnya ada sejangkauan mata. Karena saya tahu, antibiotik hanya untuk penyakit karena bakteri saja.
Selama anak saya sakit, terutama kalau sakit akibat virus, saya utamakan homecare, yang meliputi gizi seimbang, istirahat, dan obat seperlunya. Tapi kalau gak mau makan sama sekali, ya saya juga gak menutup mata untuk pertimbangan opname.
Kalau di ruang praktek, saya sering menemukan pasien anak, cuma batpil dan demam ringan, sakitnya pun baru hari pertama, tapi langsung dibawa ke dokter. Saya cuma pesen, 3 hari belum reda demamanya silahkan kemari lagi.
Pernah ada pasien anak demam lumayan tinggi, sekitar 38 derajat, baru hari pertama sakit, mau cek lab juga percuma, wong baru hari pertama (akhirnya cek darah juga karena orang tua memaksa, dan hasilnya baik2 saja). Ya akhirnya, cuma dikasih obat penurun panas. Saya bilang, 3 hari belum sembuh, datang lagi ke sini. 4 hari kemudan ps datang lagi, masih demam, cek lab trombo turun drastis, opname. Kemungkinan kuat demam dengue.
Maksud cerita tadi, sebelum hari ke 3 sakit, usahakan melakukan homecare dulu. Kalau 3 hari belum reda, baru ke dokter. Karena percuma saja kalau baru hari pertama udah dibawa, kita belum bisa membaca karakter sakitnya karena apa, dan cek darah pun akan sedikit memberi informasi.Yah, maklum deh ibu2... kalau lihat anak nya sakit ya pasti panik. Padahal, kalau memiliki pengetahuan cukup mengenai homecare, gak usah sepanik itu.
Tapi, ada beberapa penyakit anak yang statusnya emergensi, jadi haru dibawa saat itu juga ketika sakit, misalnya:
demam tinggi pada bayi baru lahir.
demam >38,5 pada anak (umum)
demam dengan kejang
perdarahan hebat
asma akut yang tidak bisa diobati dengan terapi uap di rumah
dll...
Diare dan muntah pun, kalau hebat dan anak tidak mau minum/makan, atau setiap minum dimutahkan lagi, harus langsung bawa ke UGD.
saya belum baca bukunya, jadi belum tahu apa yang harus dikritisi. Terus, apakah di dalam buku itu ada informasi tentang perbedaan penyakit karena bakteri atau virus.
Soalnya, ada seorang teman (bukan dokter), karena ikut-ikutan 'anti ngasih antibiotik' ke anak2nya, pas suatu hari anaknya sakit diresepkan antibiotik, antibiotiknya dia buang cuma minum anti demamnya. Dan anaknya tidak kunjung sembuh. Ternyata baru saya tahu, kenapa dokter anaknya memberi antibiotik karena diagnosisnya ISK (infeksi saluran kemih), yang hampir dipastikan karena bakteri. Lha, kalau gak minum antibiotik ya gak akan sembuh. Yah, ikut-ikutan tren bagus boleh lah, tapi tahu penempatan juga :)
overall, dari review mbak Layla, saya setuju, tidak semua penyakit anak harus di bawa ke dokter dan diutamakan melakukan tindakan preventif spt pencegahan penyakit, meningkatkan imunitas, dll.
Saya juga kalau flu jarang minum obat apalagi antibiotik, cuma minum air putih, vit c dosis tinggi, makan banyak, isitrahat. Udah :)
Wah, senang sekali ada Bu Dokter di sini. Ada dijelaskan jg di buku ini tentang penggunaan antibiotik, Bu, dan penjelasan penulis sama dgn yg dijelaskan oleh Bu Dokter.
DeleteSemoga makin banyak dokter seperti Bu Dokter ya :-)
terima kasih sudah mampir.
Bu dokter cantik, penjelasannya cantik, suka ^_^
ReplyDeleteMba Leyla..keren resensinya*aku ga bisa nih T.T
fotonya juga kelen, ga berminyak tuh hahahah
Aku juga suka protes sama dokter kalo mau dikasih antibiotik. Antibiotik biasa aku ganti dengan propolis.
ReplyDeleteSelamat ya, udah menang lomba review-nya ^_^.
ReplyDeleteWah selamat ya menang lomba review bukunya. Saya juga mau coba lomba review berikutnya ah :)
ReplyDelete