“Ma, dulu Mama juga ada di dalam
perut Nenek, bersama Ayah?”
“Ya enggak, dong. Dulu Mama ada
di perut nenek yang lain.”
“Nenek yang mana lagi?”
“Neneknya udah meninggal.”
“Meninggal itu apa? Terus,
sekarang neneknya ada di mana?”
“Meninggal itu…. Ehmmm…. Mati.
Sekarang ada di dalam kubur.”
“Mati kenapa? Kubur itu apa?”
Aku tak langsung bisa menjawab
pertanyaan Ismail. Dengarlah itu, Ma. Cucu pertamamu sudah bisa menanyakan
keberadaanmu. Dia belum pernah melihatmu sejak dilahirkan. Tak ada seorang cucu
pun yang pernah melihatmu, karena kau memang meninggal dua bulan sebelum aku
menikah. Sampai hari ini aku berharap kau masih ada. Melihatku mengasuh ketiga
cucu laki-laki yang kaudambakan. Ya, bukankah kau dulu sangat menginginkan anak
laki-laki? Lihatlah, sekarang ketiga cucumu ini laki-laki semua.
Ini ketiga cucu lelakimu, Ma.... |
Di usia 42 tahun, kau mengandung
lagi, anak keempat. Kau tak ingin memeriksakan jenis kelamin adikku itu karena
tak mau mendengar vonis dokter bila disebutkan bayinya perempuan. Kau sangat berharap
mendapatkan bayi laki-laki. Ketiga anakmu perempuan semua. Saat itu usiaku 17
tahun, sudah duduk di bangku kelas 3 SMA, dan aku akan mendapatkan adik bayi!
Perempuan lagi.
Ternyata, adik bayiku itu
terlahir sebagai perempuan. Kucari raut kecewa di wajahmu, dan tak ada. Kau
tetap mensyukuri kelahiran putri keempatmu, bahkan cenderung memanjakannya. Lihatlah
sekarang, Ma, anak keempatmu itu sudah duduk di bangku kelas 1 SMA. Dia sudah
besar. Kau sempat mengkhawatirkannya dulu, kan? Ketika kanker lidah itu
menyerangmu, kautitipkan Echa kepadaku. Echa, adik bungsuku, yang dulu baru
berusia 5 tahun.
Aku bisa memahamimu, Ma. Betapa
sedihnya kau saat memikirkan tak akan bisa merawat Echa yang masih balita. Kanker
lidah itu menggerogotimu dengan ganas selama dua tahun. Dua tahun, Ma! Aku tak
sanggup membayangkan betapa menderitanya engkau menahan rasa sakit. Penyakit
itu menggerogoti tubuhmu hingga kurus kering.
Maafkan aku, Ma, karena aku
meminta Tuhan agar mencabut nyawamu saja daripada melihatmu kesakitan. Aku tak
tahu apakah masih ada harapan sembuh untukmu. Aku sudah berdoa untuk kesembuhanmu,
tetapi keajaiban itu tidak datang juga. Tak sanggup aku melihatmu kesakitan
terus menerus, dan bahkan kau meminta agar mati saja. Jika kematian itu adalah
yang terbaik bagimu, maka aku ikhlas, Ma. Walau aku mencintaimu dan ingin
melihatmu tetap bersamaku, tetapi jika Tuhan menghendaki kau bersama-Nya, aku
ikhlas.
Keikhlasan itu kembali diuji
ketika aku mengandung dan melahirkan cucu pertamaku. Aku sangat ingin kau ada di sisiku, sampai
aku memimpikanmu. Rasanya begitu nyata melihatmu ada di hadapanku. Kau berpesan
segala hal tentang kehamilan dan melahirkan. Dan ketika aku melahirkan,
kubayangkan penderitaanmu dulu saat melahirkanku. Sesakit itukah rasanya, Ma? Maafkan
aku yang pernah membantah dan tak mendengarkan ucapanmu. Aku ingat dulu pernah
menutup telinga saat kau mengomeliku panjang lebar karena kenakalanku.
Aku sering bertanya, “Ma, kenapa
kau pergi begitu cepat?” Seandainya kau
masih ada, kau pasti bahagia sekali melihat ketiga cucumu. Kau juga akan
memiliki cucu keempat yang sedang dikandung Irma, anakmu yang kedua. Menurut
hasil USG, cucu keempatmu itu juga laki-laki! Wow! Lihat, Ma… kau memang
memiliki empat anak perempuan, tapi keempat cucumu itu laki-laki!
Sebentar lagi, Tria, anak
ketigamu akan menikah. Lagi-lagi tanpa pendampinganmu. Tapi, jangan khawatir,
Ma. Alhamdulillah, Allah selalu memberikan kemudahan bagi keluarga kita,
walaupun kau tiada. Semua lelaki yang datang melamar anak-anakmu adalah
laki-laki yang baik. Mereka tahu kondisi keluarga kita sepeninggalmu. Keluarga
besar mereka membantu penuh dalam urusan pernikahan, walaupun dalam adat kita, pihak perempuan
yang menjadi pemangku hajat. Biaya pernikahan, nyaris 100 persen ditanggung
pihak laki-laki. Kami hanya mengurus acaranya saja.
(berhenti sejenak karena gak sanggup nahan tangis)
(ternyata berhentinya lama juga. Gak
tau mau nulis apa lagi).
(ke kamar mandi dulu deh. Ngilangin air mata dulu).
Sudah tujuh tahun kau
meninggalkan kami. Rasanya seperti kau masih ada di sini. Aku meminta
anak-anakku memanggilku, “Mama,” dan bukan Ummi, Bunda, Ibu, semata karena
mengikutimu dan agar selalu ingat kepadamu. Kau akan selalu menjadi
inspirasiku, Ma. Kau dengan semangat kerja kerasmu demi agar anak-anakmu
menjadi sarjana. Terima kasih atas perjuanganmu membesarkan kami. Kutahu itu
tak mudah, Ma. Dengan semua kesabaranmu, yang saking sabarnya, tak kuingat kau
pernah memukulku. Terima kasih, Ma. Aku yakin kau sudah tenang di sisi Allah
swt.
satu-satunya foto Mama yang tersimpan di laptopku |
Allahummaghfirlaha warhamha wa'afihi wa'fuanha.....
ReplyDeleteAamiin.. makasih, mb Hanna
Delete