“Maaa…
susu….”
“Maaa…
e’e….”
“Maaa…
jajaaaan….”
Setiap
hari, telingaku selalu dipenuhi oleh suara anak-anak yang meminta ini-itu.
Ismail (5,5 tahun), Sidiq (4,5 tahun) dan Salim (10 bulan). Kadang-kadang ada
rasa kesal bila tubuh sudah letih, tetapi anak-anak tak mengizinkanku
beristirahat. Aku melayani mereka 24 jam dan tak ada nominal rupiah yang
kudapatkan. Bukan.. aku bukan sedang mengeluh. Inilah usaha terbaik yang pernah
kulakukan selama hidup di dunia ini. Menjadi ibu dan melayani anak-anak dengan
tanganku sendiri.
Sebagai
individu, tentu aku juga punya kesenangan dan keinginan melakukan sesuatu
sesuai ego. Aku ingin membaca buku, menulis, jalan-jalan dengan teman-teman,
merawat diri, dan sebagainya. Tetapi, sejak aku melahirkan Ismail, dan disusul
dengan adik-adiknya, aku hanya bisa melakukan itu setelah melayani anak-anakku.
Dan itu berarti aku harus pandai membagi waktu dan tak bisa melakukan sesuatu
sekehendakku.
Sering
aku iri dengan wanita lain yang bisa melenggang bebas ke luar rumah,
meninggalkan anak-anak mereka. Ada pembantu atau neneknya anak-anak yang
membantu menjagakan. Sedangkan aku tak punya siapa pun yang bisa kumintai
bantuan. Bukan suamiku tak mampu membayar pembantu, tetapi memang sulit sekali
mencari pembantu yang mau mengasuh anak-anak, dengan bayaran yang kami sanggupi.
Mengasuh
anak memang tugas seorang ibu. Siapa pula yang bilang kalau itu tugas pembantu
dan baby sitter? Aku bersyukur dapat menjalankan amanah ini dan tak
melimpahkannya kepada siapa pun, selagi masih sanggup dan kuat. Tugas ini
memang membutuhkan keikhlasan yang luar biasa. Ada kalanya kurasakan keikhlasan
itu menguap bersama amarah yang membuncah, manakala anak-anak membuat ulah. Mengapa
kubilang ini tugas yang membutuhkan keikhlasan? Karena tidak ada bayarannya
berupa materi. Pekerjaan lain pasti ada bayarannya, tapi pekerjaan seorang ibu
tak pernah dibayar.
Beberapa
waktu lalu, aku melihat iklan jasa pembantu rumah tangga dan baby sitter. Di
sana tertera gaji per hari dan per bulan.
Pembantu
rumah tangga: 1,2 juta/ bulan.
Baby
sitter: 2,5 juta per bulan.
Suamiku
mungkin sanggup membayar jasa mereka, tapi bukankah lebih baik uangnya
digunakan untuk investasi pendidikan anak-anak? Toh, kami belum menjadi
keluarga konglomerat sehingga harus membayar semahal itu. Itulah gaji seorang
ibu, bila dinominalkan. Ibu melakukan tugas pembantu dan rumah tangga, per
bulan 3,7 juta. Tetapi tak ada sepeser pun yang diterima seorang ibu, semuanya
kembali ke keluarga. Itu belum imbalan mengandung dan melahirkan anak-anak yang
mempertaruhkan nyawa. Dulu aku pernah menonton film India, Chouri-Chouri Coupke-Coupke, tentang seorang pelacur yang diminta
mengandung dan melahirkan seorang anak dari lelaki kaya yang istrinya tak bisa
memberikan anak. Bayarannya Rp 200 juta. Mungkin itu bisa dijadikan patokan
harga seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu. Inul Daratista bahkan
membayar 600 juta untuk bayi tabungnya. Lalu, berapa harga per tetes ASI yang
mestinya jauh lebih mahal daripada susu formula, karena kandungan ASI yang jauh
berkualitas? Ibu memberikannya secara cuma-cuma.
Imbalan
keikhlasan, insya Allah diberikan langsung oleh Allh Swt, karena menurut hadist,
pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak adalah jihadnya seorang wanita. Pahala
jihad, insya Allah surga. Bukankah surga adalah tempat di mana semua kemewahan berada? Surga tak dapat dibeli
dengan 3,7 juta rupiah, atau 200 juta atau 600 juta. Surga terlalu mahal. Untuk
itulah, aku memang sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk anak-anakku.
Melakukan tugasku sebagai ibu dengan sebaik-baiknya, kalau bisa tanpa mengeluh
dan marah-marah. Itu tidak mudah, memangnya ada jihad yang enak?
Anak-anakku,
terima kasih telah menjadi jalanku meniti surga. Semoga keikhlasan ini terus
terjaga sampai aku menutup mata.
Mom is the greatest and the toughest job in the world... Salut utk ibu yg berdedikasi spt Drimu mbak :-)
ReplyDeletealhamdulillah, makasih udah mampir mak :-)
DeleteSubhanallah..semoga selalu berbahagia ya mak..amin..aku jg lg berupaya nih.meski kadang hati mendua...selama 9 thn kerja full di luar rumah, super sibuk, tiap hari. baru memulai urus anak awal Januari 2013..hmmmm memang sebuah pilihan yg hrs dijalani.
ReplyDeleteAamiin.. semangat, mak.. hati mudah terbolak-balik. Kuncinya hanya ikhlas.
DeleteHebat sekali mak.. Aku jd ingat sosok ibuku, yg jg merawat 3 anak, tanpa bantuan siapapun. Pasti melelahkan, tp dijalani dgn ikhlas. Aku juga ingin merawat anak2ku sndri, tanpa pembantu. Tp krn aku kerja, jdnya terpaksa pake pembantu. Semoga suatu saat nanti aku bs jd fulltime mom.
ReplyDeleteoh iya, salam kenak mak ^^
Aamiin. salam kenal juga. Salam buat ibunya ya, Mak. Trimakasih komentarnya :-)
DeleteTerima Kasi atas partisipasinya di Semut Pelari Give Away Time! :)
ReplyDeletesama-sama, Om:-)
DeleteSalut sama Mba Leyla, meski rempong dengan 3 anak yang diasuh tanpa ART, tapi bisa produktif juga dengan tulisannya. Pengeeen bisa seperti Mba Leyla.
ReplyDelete