Thursday, 25 July 2013

Menjadi Ibu adalah Usaha Terbaik yang Pernah Kulakukan


“Maaa… susu….”
“Maaa… e’e….”
“Maaa… jajaaaan….”

Setiap hari, telingaku selalu dipenuhi oleh suara anak-anak yang meminta ini-itu. Ismail (5,5 tahun), Sidiq (4,5 tahun) dan Salim (10 bulan). Kadang-kadang ada rasa kesal bila tubuh sudah letih, tetapi anak-anak tak mengizinkanku beristirahat. Aku melayani mereka 24 jam dan tak ada nominal rupiah yang kudapatkan. Bukan.. aku bukan sedang mengeluh. Inilah usaha terbaik yang pernah kulakukan selama hidup di dunia ini. Menjadi ibu dan melayani anak-anak dengan tanganku sendiri.

Sebagai individu, tentu aku juga punya kesenangan dan keinginan melakukan sesuatu sesuai ego. Aku ingin membaca buku, menulis, jalan-jalan dengan teman-teman, merawat diri, dan sebagainya. Tetapi, sejak aku melahirkan Ismail, dan disusul dengan adik-adiknya, aku hanya bisa melakukan itu setelah melayani anak-anakku. Dan itu berarti aku harus pandai membagi waktu dan tak bisa melakukan sesuatu sekehendakku. 

Sering aku iri dengan wanita lain yang bisa melenggang bebas ke luar rumah, meninggalkan anak-anak mereka. Ada pembantu atau neneknya anak-anak yang membantu menjagakan. Sedangkan aku tak punya siapa pun yang bisa kumintai bantuan. Bukan suamiku tak mampu membayar pembantu, tetapi memang sulit sekali mencari pembantu yang mau mengasuh anak-anak, dengan bayaran yang kami sanggupi. 

Mengasuh anak memang tugas seorang ibu. Siapa pula yang bilang kalau itu tugas pembantu dan baby sitter? Aku bersyukur dapat menjalankan amanah ini dan tak melimpahkannya kepada siapa pun, selagi masih sanggup dan kuat. Tugas ini memang membutuhkan keikhlasan yang luar biasa. Ada kalanya kurasakan keikhlasan itu menguap bersama amarah yang membuncah, manakala anak-anak membuat ulah. Mengapa kubilang ini tugas yang membutuhkan keikhlasan? Karena tidak ada bayarannya berupa materi. Pekerjaan lain pasti ada bayarannya, tapi pekerjaan seorang ibu tak pernah dibayar. 

Beberapa waktu lalu, aku melihat iklan jasa pembantu rumah tangga dan baby sitter. Di sana tertera gaji per hari dan per bulan. 

Pembantu rumah tangga: 1,2 juta/ bulan.
Baby sitter: 2,5 juta per bulan. 

Suamiku mungkin sanggup membayar jasa mereka, tapi bukankah lebih baik uangnya digunakan untuk investasi pendidikan anak-anak? Toh, kami belum menjadi keluarga konglomerat sehingga harus membayar semahal itu. Itulah gaji seorang ibu, bila dinominalkan. Ibu melakukan tugas pembantu dan rumah tangga, per bulan 3,7 juta. Tetapi tak ada sepeser pun yang diterima seorang ibu, semuanya kembali ke keluarga. Itu belum imbalan mengandung dan melahirkan anak-anak yang mempertaruhkan nyawa. Dulu aku pernah menonton film India, Chouri-Chouri Coupke-Coupke, tentang seorang pelacur yang diminta mengandung dan melahirkan seorang anak dari lelaki kaya yang istrinya tak bisa memberikan anak. Bayarannya Rp 200 juta. Mungkin itu bisa dijadikan patokan harga seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu. Inul Daratista bahkan membayar 600 juta untuk bayi tabungnya. Lalu, berapa harga per tetes ASI yang mestinya jauh lebih mahal daripada susu formula, karena kandungan ASI yang jauh berkualitas? Ibu memberikannya secara cuma-cuma.  

Imbalan keikhlasan, insya Allah diberikan langsung oleh Allh Swt, karena menurut hadist, pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak adalah jihadnya seorang wanita. Pahala jihad, insya Allah surga. Bukankah surga adalah tempat di mana  semua kemewahan berada? Surga tak dapat dibeli dengan 3,7 juta rupiah, atau 200 juta atau 600 juta. Surga terlalu mahal. Untuk itulah, aku memang sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk anak-anakku. Melakukan tugasku sebagai ibu dengan sebaik-baiknya, kalau bisa tanpa mengeluh dan marah-marah. Itu tidak mudah, memangnya ada jihad yang enak? 

Anak-anakku, terima kasih telah menjadi jalanku meniti surga. Semoga keikhlasan ini terus terjaga sampai aku menutup mata.





9 comments:

  1. Mom is the greatest and the toughest job in the world... Salut utk ibu yg berdedikasi spt Drimu mbak :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. alhamdulillah, makasih udah mampir mak :-)

      Delete
  2. Subhanallah..semoga selalu berbahagia ya mak..amin..aku jg lg berupaya nih.meski kadang hati mendua...selama 9 thn kerja full di luar rumah, super sibuk, tiap hari. baru memulai urus anak awal Januari 2013..hmmmm memang sebuah pilihan yg hrs dijalani.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin.. semangat, mak.. hati mudah terbolak-balik. Kuncinya hanya ikhlas.

      Delete
  3. Hebat sekali mak.. Aku jd ingat sosok ibuku, yg jg merawat 3 anak, tanpa bantuan siapapun. Pasti melelahkan, tp dijalani dgn ikhlas. Aku juga ingin merawat anak2ku sndri, tanpa pembantu. Tp krn aku kerja, jdnya terpaksa pake pembantu. Semoga suatu saat nanti aku bs jd fulltime mom.
    oh iya, salam kenak mak ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin. salam kenal juga. Salam buat ibunya ya, Mak. Trimakasih komentarnya :-)

      Delete
  4. Terima Kasi atas partisipasinya di Semut Pelari Give Away Time! :)

    ReplyDelete
  5. Salut sama Mba Leyla, meski rempong dengan 3 anak yang diasuh tanpa ART, tapi bisa produktif juga dengan tulisannya. Pengeeen bisa seperti Mba Leyla.

    ReplyDelete

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^