Keimanan yang tertinggi adalah ketika kita
melakukan segala hal lillahi ta’alaa, hanya untuk Allah semata. Ikhlas.
Kalimat
itu saya dengar kembali dari bibir seorang dai muda ANTEVE. Saya sudah pernah
mendengar soal itu, tapi masih harus terus diingatkan. Apalagi kalau sedang
membanding-bandingkan pekerjaan yang saya pilih dengan pekerjaan teman-teman.
Seorang
teman saya, mendapatkan beasiswa S2 ke Australia, dan sekarang menduduki
jabatan tinggi di salah satu instansi pemerintahan. Seorang teman yang lain,
sedang menjalani pendidikan di luar negeri juga, dibiayai oleh instansi
pemerintah tempatnya bekerja. Mereka telah menjadi PNS yang sukses. Sedangkan
saya?
Saya
memilih menjadi penulis. Pilihan yang sudah dijalani jauh sebelum orang tua
meminta untuk menjadi PNS. Saya menganggapnya sebagai hobi. Orang tua pun tak
berharap anaknya fokus menjadi penulis. Apa yang bisa diharapkan dengan menjadi
penulis?
Jika yang
diharapkan itu adalah materi, maka saya bisa mengatakan bahwa setelah tujuh
belas tahun menulis dan menerbitkan puluhan buku, saya belum juga kaya. Para
penulis pemula sering kali menjadikan kekayaan JK Rowling, Andrea Hirata, dan
penulis best seller lain sebagai acuan. Kenyataannya, tidak mudah untuk
menduduki posisi sebagai penulis best seller. Menjual buku tak semudah menjual
sembako. Di antara beberapa penulis yang
berhasil mendulang rupiah dari ketak-ketiknya, ribuan penulis lain terseok-seok
mendapatkan royalti.
Penulis?
Pekerjaan apa itu? Penulis itu semacam pekerjaan untung-untungan. Kalau buku
sedang banyak yang terbit, royalty lancar, rekening pun menggemuk. Sebaliknya,
kalau sedang tidak produktif atau produktif tapi kesulitan menembus penerbit,
royalty seret, rekening bisa nol. Untungnya, suami saya seorang karyawan tetap
di sebuah perusahaan. Tak perlu terlalu cemas dengan rekening yang nol, karena
suami memberikan sebagian gajinya untuk keperluan rumah tangga. Bagaimana
dengan penulis yang benar-benar membiayai hidupnya dari menulis, dan dia bukan
penulis best seller?
Setelah
menikah, saya memilih mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai editor di sebuah
penerbit. Dulu, saya bekerja di kantor karena tak ingin mengecewakan orang tua.
Menulis hanyalah pekerjaan sampingan. Kemudian, saya kesulitan membagi waktu
antara menulis, bekerja di kantor, dan mengurus suami (apalagi kalau sudah
punya anak). Keputusan pun diambil. Saya tidak bisa meninggalkan hobi menulis,
karena pekerjaan kantor yang menyita waktu. Saya memilih menjadi penulis dan
ibu rumah tangga.
Orang tua
tetap ingin saya menjadi PNS. Saya sudah
pernah mengikuti tes CPNS dan gagal. Tak pernah terpikir ingin mengikuti tes
CPNS lagi, kalau saja Ayah tak mendesak.
Untuk pertama kalinya, suami mengiyakan permintaan saya yang ingin
mengikuti tes CPNS. Saat itu, perasaan saya gamang. Apakah saya siap
meninggalkan anak-anak bila lolos CPNS? Saya sudah punya dua anak yang masih
balita. Lalu, saya berpikir; ibu, tante, sepupu, teman, banyak yang menjadi PNS
dan tak ada masalah dengan anak-anaknya. Kan ada pembantu. Saya juga
“dibesarkan” oleh pembantu.
Walaupun
kini saya menyadari ada posisi yang tidak diisi oleh orang tua—terutama Mama—di
hati saya. Saya jarang berbincang dari hati ke hati dengan Mama. Juga banyak
kejadian masa kecil yang menyisakan kepedihan—semacam bullying—karena Mama tak
memperhatikan. Mama baru pulang kantor di sore hari, dan malamnya meneruskan
pekerjaan sampingan, menjahit baju. Memang, materi yang didapat adalah untuk
anak-anaknya, tetapi mengorbankan kedekatan dengan anak-anak.
Namun,
saya tetap melangkahkan kaki ke Gelora Bung Karno, mengikuti seleksi CPNS lagi.
Anak-anak dijaga oleh adik saya. Toh, hanya sampai setengah hari. Tapi, selama
setengah hari itu, saya terus memikirkan anak-anak dan menelepon adik sebelum
mengikuti seleksi. Setelah ujian pun, saya menelepon kembali. Anak sulung
relative tenang, karena sejak bayi sudah sering dioper-oper. Anak yang bungsu
tak bisa tenang, karena masih menyusu ASI. Berkali-kali mencari saya untuk
menyusu. Saya langsung pulang ke rumah dan tak memikirkan hasil seleksinya.
Akhirnya,
saya gagal lagi. Ada sedikit perih, mengapa gagal? Orang tua, keluarga,
saudara, banyak yang berhasil menjadi PNS? Prestasi akademis pun lumayan.
Memang, tesnya cukup sulit, tapi saya tak berharap gagal. Saya sudah dua kali
mengikuti tes. Banyak yang ikut berkali-kali dan masih gagal. Saya anggap bahwa
tes CPNS itu bagai mencari sebatang jarum di dalam jerami. Sulit sekali. Kemudian,
saya pandangi anak-anak. Kemarin ketika ikut tes, si bungsu menangis terus
karena tak bisa minum ASI. Jika saya
berhasil, apakah kelak saya sanggup meninggalkan anak-anak sampai sore setiap
hari?
Bahagia
itu sederhana. Bahagia adalah ketika dapat memberikan air surga ke setiap mulut
anak-anak, langsung melalui galonnya. Menikmati sentuhan jemari mereka di bibir
saya, ketika sedang menyusu. Lalu, mereka tertawa seakan berterimakasih karena
telah memberikan ASI. Menikmati tidur siang bersama anak-anak, sering kali saya
ketiduran saat sedang mengeloni. Dapat memperhatikan semua makanan yang masuk
ke dalam mulut mereka, memilih yang baik dan tidak baik. Dapat melihat
perkembangan mereka dari detik ke detik, karena selalu bersama sepanjang hari. Dan
mendapatkan prioritas di hati mereka, sebab bila disuruh memilih antara mamanya
dan orang lain (bahkan ayahnya), mereka pasti memilih mamanya.
Itulah
berkah yang saya rasakan dari kegagalan dahulu. Menjadi PNS bukanlah jalan
hidup saya, setidaknya untuk saat ini. Sebab, saya telah diberikan pilihan
terbaik: menjadi penulis, sesuai dengan minat, dan ibu yang selalu ada untuk
anak-anaknya.
Ga jd PNS bkn akhir dunia ko mbak.. Ada kewajiban yg hrs di dahulukan.. Salut buat mu mbak.. Makasih sdh berpartisipasi dalam GA ku bun :-)
ReplyDeletembaaaak... latar belakang tlsn jd begini sih? .. susah dibaca jadinya hiks hiks..
ReplyDeleteHidup adalah pilihan..dan disitu ada tangan-tangan Tuhan yang juga berperan :)
ReplyDeleteMak Muna, iya betul... sama2 terimakasih sudah mampir :-)
ReplyDeleteMbak Binta, masa sih gak bisa dibaca? Aku yg mata minus aja bisa :-)
Mba Esti, iya Mbak. Betul sekali.
Masya Allah ... kita senasib ya. Kalo saya, di awal lulus kuliah thn 1997, negara krisis termasuk lowongan pekerjaan. Yang biasanya bejibun di koran2 hari Ahad, tiba2 tidak ada sama sekali. Bbrp tes yang saya ikuti gagal. Lalu sy bekerja di sebuah perusahaan jasa komputer kecil di mana sudah ada bbrp teman di dalam. Gajinya pun kecil. Kemudian saya nikah, resign dan ikut suami merantau. Lalu balik lagi ke Makassar.
ReplyDeleteWaktu si sulung 3 tahun, belum ada adiknya saya coba2 ikut2 tes kerja tapi lagi2 gagal. Dan akhirnya takdir membawa saya ke dunia menulis dan bertemu mbak Leyla dan merasakan kebahagiaan ketika menulis meski materi yang didapatkan minim.
Pingin berharap orang2 tak mengukur baju untuk saya di badannya. Tapi kayaknya tidak mungkin. Baru kemarin ada lagi yang menanyakan keapda ibu saya, mengapa saya tak bekerja, "Padahal Niar pintar." Alhamdulillah masih dikatakan pintar *tsaah*
Barakallah. Sama2 saling menguatkan dan meyakini kelak hikmahnya akan amat besar bagi kita ya. Bravo ibu2 RT sedunia :)
Dulu pernah beberapa kali ikut tes PNS, itupun diajak teman :-) Pernah sampai tes akhir, eh ga lolos. Tapi ada positifnya sih ga lolos, krn habis gitu pindah kota ikut suami.
ReplyDeletewah padahal bulan2 depan ada tes CPNS, jd gak berani berharap tuk diterima nih aku mbak.
ReplyDeletewaah... aku malah gak boleh jadi PNS ama ortuku dulu pas kuliah. disuruh jadi PS alias pegawai swasta yang banyak duitnya aja, gak masalah gak ada pensiun kan ada suami.. hehehe
ReplyDeletesaat ini saya juga sedang gamang untuk ikut tes cpns Mba.. suami sih mengijinkan, tapi saya sudah terlanjur nyaman dengan dunia tanpa ikatan ini.. dimana saya sendiri yg mengatur semuanya termasuk pensiunan saya kelak... :)
ReplyDeletemenidng nyoba sambil buka usaha mbak.. :-)
ReplyDelete