piala yang hanya bertahan dua hari |
Kau menunjuk ke arah piala yang kaupajang di atas lemari buku Mama. Saat menerimanya sepulang acara kartinian di sekolahmu, kau terus menanyakan hal yang sama. Itu hanya sebuah piala peserta. Semua peserta lomba fashion show di acara kartinian itu, mendapatkannya. Semuanya dapat piala yang kecil, kecuali 6 orang pemenang lomba yang dapat piala lebih besar. Kata Ayah, biarlah kau tidak menang. Di hati Ayah, kau tetap nomor satu.
Ya, itu pialamu. Piala keikutsertaan, bukan piala pemenang. Kau sendiri yang memajangnya, seakan bangga, padahal hanya piala peserta. Dan anehnya, kau tak mengerti itu apa, lalu mengapa kaupajang? Sikapmu membuat Mama merenung, betapa semua orang butuh penghargaan, sekalipun itu seorang anak berusia lima tahun, yang belum tahu untuk apa piala itu.
Meski Mama sudah menjelaskan tentang piala itu, kau masih tak mengerti. Ketika Mama menyingkirkannya sedikit untuk berbagi dengan tas Mama, kau kembalikan lagi posisinya biar lurus dan dapat terlihat. Mama tersenyum sendiri. Kau memang terlihat bangga dengan piala pesertamu, bukan piala pemenang. Hingga dua hari kemudian....
"Ma... pialanya patah," katamu, menatap Mama, menutupi piala dengan selimut kesayanganmu.
Refleks, Mama terbelalak. Menatap piala yang sudah copot kepalanya itu, mengambilnya seketika, dan melemparnya ke atas lemari. Yaaah... uang 20 ribu untuk membeli piala itu, akhirnya terbuang percuma. Hanya dua hari, dan kau mematahkannya. Mama ingin marah, tapi kemudian berpikir.....
Ya, memang, buat apa pula piala itu? Dimainkan pun tak bisa. Baru sebentar sudah patah. Buat apa kalau bukan hanya untuk "membanggakan diri?" Buat apa ibu-ibu membeli piala di lomba-lomba di facebook, yang membuatku terkikik geli. Pemenang membayar puluhan ribu untuk piala, yang nantinya mau dipakai buat apa? Sebuah kebanggaan yang menerbitkan kesombongan?
Mama jadi ingat piala hasil lomba menulis novel yang juga kaupatahkan. Iya, benar, piala itu kaupatahkan saat kamu masih bayi. Sekarang teronggok begitu saja di dalam lemari baju. Malas untuk merekatkannya lagi. Padahal, Mama bermimpi kelak memajang semua piala itu di dalam lemari khusus yang berisi semua penghargaan: piala, sertifikat, apa pun itu, yang pernah Mama terima. Buat apa? Ya... buat menunjukkan bahwa Mama berprestasi. Ujung-ujungnya, Mama hanya mencoba memakai selendang kesombongan milik Allah.
Terima kasih, Nak, karena kaupatahkan piala itu. Piala itu memang tak bernilai apa-apa, terlebih bila kelak hanya untuk menerbitkan kesombongan di dalam hatimu.
Ismail untuk acara kartinian 22 April 2013 |
Ceritanya bikin haru nih mbak, bisa diambil pelajaran berharga untuk anak2 kita tercinta :)
ReplyDeletejadi merenung jg.. makasih mbak :)
ReplyDeletehiks, kayaknya memang ngga terlalu penting tuh piala...
ReplyDeleteIsmail unyu banget, pengen nyubit pipinya sebelum jadi haram heheheh :)
ReplyDeletetulisannya ber-ruh. hikzzzz...
ReplyDeletesetuju Mbak :)
ReplyDeletesenengnyaaa ngambil pelajaran dari sekecil apapun kejadian:D alhamdulillah ya ...^^ salam kenal sama KK Ismail dari Hika n Alun ya Mama:)
ReplyDelete