Anakku, Sidiq, kini usianya sudah
4 tahun pada 31 Desember 2012 lalu. Masih teringat proses kelahirannya yang
lancar dan mulus, hanya memakan waktu setengah jam dari mulai kontraksi yang
kuat. Bidanku sudah menduga, kelahiran putra keduaku itu akan mudah karena
jarak usianya yang hanya setahun dengan putra pertamaku. Jalan lahirnya masih
lentur, kata Bu Bidan. Alhamdulillah, semua atas kehendak Allah SWT.
Berhubung rentang usianya yang
hanya setahun dengan kakaknya (Ismail), aku jadi lebih mudah mengenali
perbedaan-perbedaan di antara keduanya. Jika Ismail baru memanggilku “Mama” di
usia 2 tahun, Sidiq sudah bisa memanggilku “Mama” di usia 9 bulan! Ya, Sidiqku
memang cepat berbicara. Dia cepat menangkap dan meniru ucapan orang lain. Aku
jadi harus sangat berhati-hati saat berbicara di dekatnya, karena bisa dengan
cepat ditirunya.
Sidiqku sangat lincah, hingga aku
sering kewalahan dibuatnya. Saat baru mulai berjalan di usia setahun, dia sudah
mendapatkan luka di dahinya karena terjatuh dari atas tangga rumah tetanggaku. Aku
memang sedang sangat kecapaian, sehingga lengah mengawasinya. Mengurus
pekerjaan rumah tangga dan mengasuh dua bayi (Sidiq 1 tahun, Ismail 2 tahun)
sendirian, benar-benar menguras energiku. Meskipun demikian, kuusahakan untuk
memanfaatkan Golden Age keduanya. Aku dan suamiku bahu membahu memberikan
stimulasi dan nutrisi yang tepat untuk mengoptimalkan kecerdasan anak-anak
kami.
Belajar dari Sang Kakak
Usia Ismail memang hanya terpaut
setahun dengan Sidiq, tetapi putra sulungku telah mengajarkan banyak hal kepada
adiknya. Sidiq sang peniru, juga meniru apa pun yang dilakukan Ismail. Di usia
2,5 tahun, Ismail sudah bisa menggambar dan menulis beberapa huruf dan angka. Aku
dan suamiku memang sudah memberikan alat tulis kepada Ismail, untuk mengisi
waktu bermainnya. Bagi Ismail, mencoret-coret di kertas adalah salah satu
permainan yang mengasyikkan. Tidak percaya? Ismail lebih memilih dibelikan
pulpen dan kertas saat ke warung, daripada jajanan. Melihat kakaknya serius
mencoret-coret kertas, Sidiq pun mengikuti. Dari coretan-coretan tak berbentuk,
kini Sidiq sudah bisa menggambar berbagai macam benda. Kami hanya bisa menghela
napas, ketika akhirnya kecolongan. Di saat kertas-kertas itu habis, anak-anak
menyasar tembok rumah sebagai tempat coret-coret. Itulah mengapa kami tak
meneruskan proses pengecatan tembok rumah, karena nanti hanya akan
dicoret-coret oleh anak-anak.
Marahkah kami? Mulanya memang
terbelalak, tapi tak ada bentakan yang keluar. Justru kami terkagum-kagum
melihat anak-anak sudah bisa menulis banyak hal. Lima bulan lalu, mereka
kumasukkan ke PAUD (Pendidikan Anak Usia DIni). Alhamdulillah, ibu guru senang
karena anak-anakku sudah bisa menulis dengan lancar, sehingga lebih mudah
mengajarinya. Semua itu bukan berdasarkan paksaan, karena anak-anak senang menjalaninya.
Juga kelegawaan kami membiarkan tembok rumah menjadi sasaran. Kami tak
membiarkan hal itu berlarut-larut. Bagaimanapun, anak-anak harus diajari untuk
tidak mencoret-coret sembarangan. Suamiku membelikan papan tulis untuk
keduanya. Aku juga merelakan kertas-kertas naskah buku yang sudah tak terpakai,
digunakan untuk media tulisan anak-anak. Semula, aku merasa sayang dengan
kertas-kertas itu dan mau kujadikan dokumentasi. Tapi, kupikir buat apa juga,
toh naskahnya ada yang sudah menjadi buku, ada yang harus direvisi lagi sebelum
diterbitkan. Oya, selain mengurus rumah tangga, profesi sampinganku adalah
Penulis Lepas.
Memilih Mainan yang Merangsang
Motorik Anak
Selain menyukai alat tulis,
anak-anakku juga suka mainan. Siapa sih anak-anak yang tidak suka mainan?
Bedanya, kalau Ismail tak “lapar mata,” Sidiq sama persis dengan mamanya,
hehe…. Kalau diajak ke mall, jangan harap isi dompet selamat saat melewati toko
mainan anak-anak. Sidiq akan berhenti di depannya, menunjuk-nunjuk mainan yang
menarik hatinya, dan merajuk minta dibelikan. Mainan-mainan itu paling lama
bertahan dua hari. Sidiq tak pernah bisa tahan untuk tidak mengutak-atik
mainannya. Mainannya akan dipreteli bagian-bagian tubuhnya sampai tak
berbentuk. Kalau mainan itu tidak bisa dipreteli, Sidiq akan bosan dan
meninggalkannya. Mainan itu pun hilang entah ke mana.
Di antara semua mainannya, Sidiq
menyukai lego, puzzle, dan kereta api. Kesukaannya ini tak jauh beda dengan
kakaknya, karena dia memang peniru yang ulung. Mulanya dia terganggu dengan
keasyikan Ismail mengutak-atik lego. Ismail jadi tidak mau diajak bermain
berdua, tapi kemudian dia ikut mengutak-atik lego. Permainan lego
mengoptimalkan konsentrasi dan kreativitas anak. Aku takjub saat keduanya bisa
menyusun lego menjadi robot, pesawat, atau rumah. Oya, sebenarnya Sidiq yang
cenderung kinestetis, tak menyukai permainan penyendiri seperti menulis,
bermain lego, dan menyusun puzzle. Dia lebih suka menyanyi, bergerak-gerak dan
berlari-lari ke sana kemari, berteriak-teriak, dan aktivitas fisik lainnya. Setelah
memperhatikan kakaknya, dia mengikuti aktivitas kakaknya. Hal ini cukup
membantu meningkatkan konsentrasinya.
Aku juga memberikan mainan puzzle
untuk keduanya. Semula Sidiq benci dengan mainan puzzle, karena dia tak pernah
bisa menyelesaikannya. Saking seringnya memperhatikan Ismail menyusun puzzle,
dia pun jadi suka. Dan mainan yang paling disukainya adalah kereta api. Seingatku,
aku sudah membelikan lima buah kereta api untuk keduanya, jadi kalau ditotal
ada sepuluh. Aku memang selalu membeli dua buah mainan yang sama, agar tidak
berebut. Pengalamanku membelikan mainan yang berbeda, salah satu dari mereka
tiba-tiba menyukai mainan yang lain dan minta dibelikan yang serupa. Kenapa aku
sampai membeli sepuluh kereta api? Tentu saja karena mainan itu tidak pernah
awet. Meskipun sudah kupesankan agar dijaga baik-baik, mereka tak mendengar. Kuperhatikan,
Sidiq tak sekadar mencongkeli keretanya. Dia juga mencoba memperbaikinya
kembali, meski lebih sering tak berhasil. Dia meminta lem untuk merekatkan roda
kereta yang telah dipretelinya. Aktivitas itulah yang menstimulasi otaknya
untuk berpikir bagaimana cara merangkai kembali bagian-bagian dari keretanya.
Membacakan Cerita di Sela Bermain
Berhubung aku seorang penulis,
sudah tentu aku suka membaca. Rumahku penuh dengan buku, termasuk buku
anak-anak. Aku sengaja membelikan buku anak-anak untuk anak-anakku, agar mereka
menyukai aktivitas membaca. Kubacakan buku cerita di sela bermain maupun saat
akan tidur. Sidiq yang tidak bisa diam, mulanya tak tertarik dengan buku. Saat
aku membacakan cerita, dia sibuk mengoceh dan bergerak ke sana kemari. Perlu
kesabaran untuk membuatnya mau mendengarkan cerita. Sering kali, dia malah
bercerita sendiri. Atau, mengobrol dengan kakaknya.
Perjuanganku membuahkan hasil.
Kini, anak-anakku justru minta dibacakan cerita. Ajaibnya, aku sering memergoki
Ismail sedang “membacakan cerita” untuk Sidiq. Tentu saja keduanya belum bisa
membaca. Rupanya Ismail mengingat kata-kataku saat membacakan cerita. Dia
menirukan kata-kataku sambil menunjuk gambar-gambar di buku ceritanya. Sidiq
pun mengikuti tingkah kakaknya. Dia bersikap seolah-olah sudah bisa membaca. “Membaca
cerita” sendiri dengan mengulang-ulang kata-kataku. Dibawanya buku cerita ke
mana pun. Dari buku-buku itu pula, dia mengetahui banyak hal. Kalau sedang
dibacakan cerita, Sidiq tak lagi berlari-larian dan bersikap tak mendengarkan.
Dia duduk dengan tangan memangku dagu, dan mendengarkan ceritaku dengan tekun.
Salah satu buku cerita favoritnya
adalah buku sains tentang kuman dan parasit di tubuh manusia. Untunglah aku
sering membacakan ceritanya, dan sering kukaitkan ke dalam aktivitas
sehari-hari. Kalau anak-anak tidak mau mandi, aku katakan nanti ada kuman yang
bisa membuat tubuh gatal-gatal. Kalau anak-anak tidak mau menyikat gigi, aku katakan
nanti ada kuman yang bisa membuat gigi bolong. Anak-anak pun mandi dan menyikat
gigi dengan senang, meski terkadang mereka “malas” juga. Kalau sedang malas,
Sidiq suka menjawab, “biar ada kuman aja ah….”
Memberikan Tontonan yang Mendidik
Menonton televisi termasuk salah
satu cara meningkatkan kecerdasan anak secara audio visual. Tentu saja waktunya
harus dibatasi dan tontonannya pun harus sesuai untuk anak-anak. Anak-anakku
menonton televisi hanya sekitar dua jam sehari. Mereka lebih banyak bermain,
menulis, dan membaca buku. Kalau menonton pun harus ditemani. Jika aku tidak
bisa menemani, mereka tidak akan menonton. Otomatis, aku memilihkan acara
televisi yang sesuai dengan usia mereka. Kami juga berlangganan teve kabel dan
memilih program khusus anak-anak. Cukup banyak hasil positif yang diperoleh
anak-anakku setelah menonton acara yang mendidik.
Sidiq suka mengikuti bahasa
Inggris yang diucapkan para tokohnya, berhubung acara di teve kabel banyak yang
belum dialihsuarakan ke bahasa Indonesia. Mengajari bahasa Inggris kepada anak
yang masih cadel, ternyata sangat mudah. Sidiq bisa mengucapkan dengan lafal
yang tepat. Adegan –adegan di televisi, sering dipraktekkannya dalam kegiatan
bermain.
Memberikan Pelajaran Melalui
Bernyanyi
Seperti yang kusebutkan sekilas
di atas, Sidiqku juga suka bernyanyi, apalagi setelah masuk PAUD. Nyanyian
gurunya sering dipraktekkan di rumah, dan dia sering memintaku untuk bernyanyi
apa saja. Yang lucu, Sidiq memintaku menyanyikan lagu yang mengandung satu kata
yang disebutkannya. Misalnya, “Mama, ayo nyanyi kereta….” Maksudnya,
menyanyikan lagu yang ada kata kereta-nya. Jadi, kunyanyikan lagu “Kereta Api.”
Sering juga dia memintaku menyanyikan lagu yang tidak ada lagunya. Aku harus
mengarang sendiri, deh. Dia pernah memintaku menyanyikan lagu yang ada kata
“anak.” Ada lagu “Aku Anak Soleh,” tapi aku tidak hapal liriknya. Jadi
kutambahi sendiri yang penting permintaan Sidiq terpenuhi. Begini liriknya,
Aku anak soleh
Berbakti kepada orang tua
Sayang kakak, sayang dede
Rajin solat dan mengaji
Rajin belajar, rajin bantu Mama
Aku anak baik
Senang membantu orang lain
Tidak nakal, tidak cengeng
Tidak berantem sama kakak
Atau lagu yang ini,
Sebelum kita makan… cuci tanganmu dulu….
Sebelum kita tidur… cuci kakimu dulu…
Ayo hidup bersih, supaya gak gampang sakit
Anak sehat… pasti kuat....
Kupikir, sebuah lagu bisa menjadi
media pembelajaran yang efektif untuk anak. Anak-anak seringkali tidak menurut
dengan perintah orang tua apabila diucapkan dalam bentuk kelimat perintah.
Berbeda dengan menyanyi, yang diucapkan dengan riang dan gembira. Anak-anak
mengikuti nyanyian kita, meskipun awalnya diucapkan di mulut, yakinlah bahwa
nilai-nilai itu akan tertanam di benak anak-anak. Tapi, tidak sembarang lagu
yang kuperdengarkan kepada anak-anakku. Anak-anakku tidak mengenal lagu-lagu
dewasa, lho. Di rumah, aku tidak membiarkan mereka mendengarkan lagu-lagu
dewasa yang mengandung lirik tidak pantas untuk anak-anak. Dulu, saat masih
pakai pembantu, aku sering menegur pembantuku yang asyik mendengarkan lagu-lagu
cinta. Aku larang dia mendengarkan lagu-lagu cinta orang dewasa saat ada
anak-anakku di sampingnya.
Selain stimulasi, untuk
mengoptimalkan kecerdasannya, aku juga memberikan nutrisi yang seimbang dan
tepat. Nutrisi pertama adalah ASI, yang kuberikan sejak ia baru lahir sampai
berusia 2,8 bulan. Lama juga, ya? Ya, karena Sidiq cukup susah disapih dan aku
ingin menyapihnya dengan cinta. Aku tak mau memaksa, meskipun akhirnya harus
dipaksa. Sidiq terpaksa dititipkan ke rumah neneknya selama sebulan, sampai dia
lupa dengan ASI-nya. Itupun ternyata dia tidak benar-benar lupa. Ketika bertemu
lagi denganku, dia masih suka dikeloni di ketiak dan dekat dengan tempat
ASI-nya.
Pemberian ASI benar-benar
berdampak positif bagi tumbuh kembang Sidiq. Secara kecerdasan, Sidiq cepat
menangkap pelajaran dan sangat kreatif. Saking kreatifnya, rumahku tidak pernah
bersih, hehehe…. Secara fisik, tubuh Sidiq sangat padat dan berisi. Tidak
gendut, tapi juga tidak kurus. Seimbang dan ideal. Dia juga tidak mudah sakit. Setelah
melewati ASI Eksklusif 6 bulan, aku memberinya MPASI yang sesuai dengan
usianya. Mungkin karena aku di rumah dan rutin memberikan ASI, Sidiq agak sulit
makan. Saat pertama kali diberikan MPASI, dia langsung memuntahkannya.
Ujung-ujungnya larinya ke ASI. Perlahan-lahan, Sidiq mau mencoba makanan apa
saja, dan kini dia pemakan segala. Dia tidak picky eater. Dia suka makan apa saja. Sayur, buah-buahan, ikan,
semuanya dilahap.
Aku bersyukur bisa memberinya ASI
secara langsung, karena memperkuat ikatan di antara kami. Sampai sekarang,
Sidiq sangat lekat denganku, tak bisa dipisahkan. Kalau diajak menginap di
rumah orang lain, dia sulit tidur karena tidak ada aku di sisinya. Setelah
usianya dua tahun, aku menyapihnya dengan sedikit-sedikit memberinya susu
formula tambahan, yang mendukung asupan nutrisi untuk tumbuh kembang anak.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^