Bikin kue |
“Mama, lihat nih!”
Sidiq membuatku terkejut. Dia
mengangkat bajunya dan bertingkah seolah sedang menyusui bayi, karena dia
memang sedang menggendong boneka teddynya.
“Dede lagi nenenin boneka….,”
katanya, sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi.
Aku tergelak. Ya ampun, ada-ada
saja Sidiq! Sigap kuambil kamera dan mengabadikan kelucuannya itu. Rupanya dia
meniruku yang sedang menyusui adik bayinya. Sejak usianya 1,5 tahun, aku tahu
bahwa dia suka meniru ucapan dan perbuatan siapa saja. Itu yang membuatku harus
sangat-sangat berhati-hati menjaga ucapan dan perbuatanku. Sikapnya itu tak
berlaku pada Ismail, kakaknya, yang hanya terpaut usia satu tahun. Ismail tidak
suka meniru ucapan dan perbuatanku. Mungkin ada yang ditiru, tapi tak banyak.
Sedangkan Sidiq hampir meniru semuanya. Bahkan pernah Sidiq berada dalam fase
mengcopy-paste semua ucapan dan perbuatan Ismail. Kalau Ismail bilang, “Mama
minta susu….” Sidiq juga akan bilang, “Mama minta susu….” Ibarat orang yang
sedang mendaki gunung lalu berteriak dan disambut dengan gema, Sidiq itulah
gema-nya.
Masalahnya, Sidiq itu anak
laki-laki. Bagaimana jadinya kalau kebiasaanku yang bersifat wanita juga
ditirunya? Iya, pernah aku dikejutkan dengan wajahnya yang bertabur bedak dan
bibirnya celemotan lipstick. Masya Allah! Rupanya dia baru saja berdandan
mengikutiku! Kulihat lipstick di laci lemari sudah habis dipatahkan olehnya.
Padahal itu lipstick baru beli, hiks! Yang lebih lucu, dia juga suka memakai
kerudungku dan menyebut dirinya, “cantik.” Sidiq juga mengikuti kegiatanku
sehari-hari seperti memasak, mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, dan
membuat kue.
Aku ingat saat usianya baru 1,5
tahun dan baru lancar berjalan, aku sedang mengepel kamar tidur. Ember berisi
air sabun kuletakkan di ruang tengah. Salahku juga yang tak berpikir bahwa
Sidiq akan meniruku. Dia gulingkan ember sehingga airnya tumpah ke seluruh
ruang tengah.
Mulanya aku khawatir dengan
kesukaannya meniruku berdandan dan memakai kerudung, tapi sekarang tidak lagi,
setelah kuberi pengertian bahwa dia anak laki-laki. Untuk pekerjaan rumah
tangga, ah kenapa tidak anak laki-laki juga piawai mengerjakannya? Anak
laki-laki juga harus bisa memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan
membuat kue! Tidak ada aturan yang menyatakan bahwa semua pekerjaan itu hanya
boleh dikerjakan oleh anak perempuan. Apalagi aku tak punya anak perempuan,
maka anak-anak laki-lakiku-lah yang kuharapkan dapat membantu pekerjaanku
kelak.
Namanya belajar, tentu ada
biayanya. Begitu juga saat Sidiq “belajar” mencuci piring. Dia keluarkan semua
piring bersih, diceburkan ke dalam bak mandinya, dan bersikap seolah-olah sedang mencuci piring. Sama
halnya saat dia mencuci baju. Semua baju kotor diceburkan ke air. Dia habiskan
semua persediaan sabun cuciku, bahkan yang baru kusobek bungkusnya (sebanyak 1
kg), membuatku menangis. Dia sering memintaku membuat kue, tapi saat aku hendak
membuatnya, dia bersikeras mengambil alih tugasku.
“Mama, sini Dede aja yang bikin
kuenya!”
Waduh! Bahaya deh kalau dia yang
bikin, bisa-bisa bahan kuenya berhamburan ke mana-mana. Awalnya aku menolak,
tapi melihat wajah Sidiq yang cemberut dan sangat kukuh ingin membuat kue,
kuberikan dia kesempatan. Mula-mula dia membantu menuang terigu ke dalam
adonan. Yihaaa… terigu pun berhamburan ke mana-mana. Oke deh, tak apa-apa.
Namanya juga belajar, kan? Dia juga meminta memecahkan telur, dan…. Telur pun
terciprat ke mana-mana. Yang lebih parah, pernah kuminta dia memegang mixer
yang sedang mengaduk adonan, karena aku mau menyiapkan oven dan loyangnya, lalu
dia angkat mixer yang masih berputar itu, sehingga adonan kuenya terbang ke
segala arah. Menempel di tembok, baju, lantai, dan wajahnya.
Aku hanya termangu menatapnya.
“Mama, Dede belat niih!” katanya,
dengan ekspresi kesulitan. Aku mengambil mixernya, lalu meneruskan mengaduk
kue, menatap miris pada bercak-bercak adonan kue yang berhamburan ke mana-mana,
termasuk ke baju Sidiq. Ah, biarlah. Nanti juga hilang kalau sudah dicuci,
gumamku. Hingga kue masuk ke dalam oven dan siap sedia 45 menit kemudian,
kulihat senyum sumringah di bibir Sidiq.
“Liat nih, kue Dede….” Katanya,
bangga.
“Gimana, kuenya enak, gak?”
tanyaku, setelah dia mencicipi sepotong.
“Enak, dong!” Sidiq mengangkat
jempolnya. Kubelai rambutnya, sambil berucap pelan, “mungkin dia cuma ingin
meniruku membuat kue, tapi siapa tahu kelak dia jago membuat kue seperti Chef
Bara!” Kubayangkan suatu hari nanti dia benar-benar menyuguhkan kue buatannya
sendiri untukku di masa senjaku. Kue yang manis, semanis momen saat membuatnya.
Optimis dan selalu berpikir
positif. Menjadi kotor itu baik.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^