Ahmad Sidiq Aghniya, anakku yang
sangat istimewa. Kehadirannya tak terduga. Saat kakaknya baru berumur 5 bulan,
aku hamil lagi. Kehamilanku itu sudah berumur 2 bulan. Jadi, aku hamil saat
anak sulungku baru berumur 3 bulan! Tentu saja tak seperti kakaknya yang
kehadirannya dinanti-nanti, kehadiran Sidiq sangat mengguncangku. Belum lepas
trauma melahirkan, belum pintar menjadi Ibu, eh sudah diberikan momongan lagi.
Bersama suami, aku berusaha menerima kehadiran Sidiq dengan ikhlas. Insya
Allah, aku bisa menjalankan dengan baik kedua amanah ini, meski seorang diri.
Berbeda dengan kehamilan anak
pertama, saat hamil Sidiq, aku justru rajin mandi dan membersihkan rumah.
Sempat kupikir calon bayiku berjenis kelamin perempuan. Ternyata itu isyarat
bahwa kelak anakku, meskipun laki-laki, suka melakukan pekerjaan rumah tangga
dan bermain air! Ya, saat kakaknya berusia setahun, Sidiq lahir ke dunia. Aku
susah payah merawat keduanya. Kadang dibantu asisten rumah tangga, tapi sering
kali harus sendiri bila ART pulang tidak kembali. Aku pernah mendengar ART-ku
mengeluh, betapa repotnya bekerja denganku, karena harus mengasuh dua bayi. Tentu
aku tidak membebani semua pekerjaan kepadanya. Kami berbagi tugas mengurus
rumah tangga sekaligus mengasuh bayi-bayi.
Saat baru dilahirkan pun, Sidiq
tidak menangis sewaktu dimandikan. Berbeda dengan kakaknya yang langsung
menjerit dan menangis saat dimasukkan ke dalam air. Ketika ia sudah bisa
berjalan, kehebohan-kehebohan pun terjadi berkaitan dengan kesukaannya bermain
air. Di usia 1,5 tahun, saat aku sedang
mengepel lantai kamar, tahu-tahu embernya digulingkan oleh Sidiq sehingga seluruh
ruang tengah dibanjiri air pel. Gemas bukan main, mengingat tubuhku amat letih
karena melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh dua batita sendirian. Sementara
kakaknya anteng dengan mainannya yang dihamparkan di lantai, Sidiq sibuk
mencari mainan “baru” yang membuat emosiku sering naik.
Air di tempat minum yang
menyerupai dispenser tapi tidak pakai listrik, sudah beberapa kali “habis”
bukan karena diminum, tapi karena dimainkan oleh Sidiq. Seharusnya aku
bersyukur karena Sidiq belajar sendiri mengambil air minum. Ia mengambil gelas
di atas meja, lalu menuang air dari dispenser. Tapi, pertama-tama ya kaget juga
melihat air mengucur ke lantai, karena dispensernya tidak ditutup lagi. Parahnya
lagi, usai minum, Sidiq melempar gelasnya ke lantai. Tak terhitung gelas
belingku yang pecah dan hanya tersisa gelas-gelas plastic. Seharusnya aku
memberikan gelas plastik, tapi Sidiq pun lebih suka gelas beling, huhuhu…..
Kalau mandi, Sidiq suka
berlama-lama. Berendam di bak mandinya dan bermain air di pancuran. Seringkali
airnya menyebar ke mana-mana, sehingga aku harus mengepel ulang. Bajunya pun
harus sering diganti. Keuntungannya, aku tidak harus memaksanya untuk mandi.
Tanpa disuruh pun, kalau waktunya mandi, Sidiq akan minta mandi. Ada kalanya ia
tidak mau mandi, begitu kutawarkan untuk bermain-main dengan air, dengan
sukacita ia langsung menyebur ke bak mandinya.
Lama-lama, eksplorasinya dengan
air semakin berkembang. Bukan hanya mandi, sering kali kalau mandi ia
memasukkan cucian kotor ke bak mandinya. Pernah, ia memasukkan cucian yang
sudah bersih dan sudah dikeringkan ke dalam bak mandinya. Otomatis cucian yang tinggal
dijemur itu pun basah lagi. Kalau sudah begitu, aku bisanya marah-marah. Tak mau
memahami mengapa anakku berbuat begitu.
Kesukaannya dengan air, membuat
kami memperkenalkannya pada kolam renang di usia,1,5 tahun. Hebatnya, tidak
seperti kakaknya yang menjerit-jerit sesaat setelah diceburkan ke dalam air, Sidiq
justru kesenangan sampai aku kewalahan memeganginya. Kakinya mengepak-ngepak.
Bahkan, ia tak mau dipegangi, sampai nyaris tenggelam karena berontak.
Sayangnya, kami jarang pergi ke kolam renang, karena cukup jauh. Biasanya, kami
pergi ke pemandian air hangat di Garut, yang airnya cocok untuk anak-anak.
Kalau di air dingin, anak-anak cepat menggigil. Biarpun dingin, Sidiq suka
memaksakan diri untuk terus berenang sampai muntah-muntah. Hadeuuh….
Sudah lama juga sejak terakhir
kali mengajak anak-anak berenang, dua minggu setelah Lebaran, kami sekeluarga
bersilaturahim ke rumah Bulikku di Depok. Seperti biasa, anak-anak antusias
menghabiskan hari. Usai makan siang, semestinya kami pulang ke rumah. Sayangnya,
tak lama hujan deras mengguyur Depok. Terpaksa kami menunda kepulangan. Tidak
mungkin memaksa untuk pulang dengan berkendara motor. Bulikku pun menyuruh kami
untuk tidur siang di kamar tamu. Bulik dan suaminya juga terlihat sudah lelah.
Mereka masuk ke kamar dan tak terdengar suara lagi.
Sementara itu, anak-anakku susah
disuruh tidur siang. Mereka berlarian ke sana kemari, hingga… o-oow… si Kakak
buang air besar di celana. Kedua anakku memang belum cakap ke toilet. Si Kakak
masih suka buang air besar di celana, tapi kalau buang air kecil sudah bisa ke
kamar mandi. Untung aku membawa celana ganti. Saat ini, anak-anakku sudah tidak
mau dipakaikan diapers. Aku memasuki kamar mandi Bulik, dan menyeboki si Kakak.
Sidiq ikut-ikutan ke kamar mandi.
Dan… begitu dia melihat bak mandi Bulik yang menyerupai kolam renang, dia
langsung merengek,
“Mama… enang (berenang)…. Mama…
enang….”
“Nggak boleh, Dede. Itu bukan
kolam renang. Itu punya Nenek (Bulik). Jangan, yaa…” aku sebisa mungkin
melarang, dengan meraih tubuh Sidiq yang sudah siap-siap naik ke bak mandi.
Memang, di rumahku tidak ada bak
mandi. Cukup pakai ember untuk menampung air. Sedangkan bak mandi Bulik dibuat dari
keramik biru, menyerupai kolam renang kecil.
Usai menyeboki si Kakak, aku
kembali ke kamar dan mencoba mengeloni anak-anak. Ehm… susahnya bukan main. Si
Kakak malah lompat-lompat di atas ranjang, dan Sidiq menghilang. Sesaat aku
biarkan Sidiq menghilang. Ah, paling-paling lari-larian ke ruang tamu,
mengambil cemilan atau apa. Suamiku malah sudah terbawa ke alam mimpi. Suasana
hujan deras memang asyik buat tidur. Aku juga sudah ingin tidur, tapi
anak-anakku tak mau kompromi.
Tiba-tiba, aku mendengar bunyi
kecipak air. Perasaanku langsung melesat. Sidiq pasti main air! Kalau di rumah
sendiri sih tidak apa-apa, tapi ini di rumah orang. Khawatir jadi becek. Aku
buru-buru berjalan ke kamar mandi. O-oow….. Ternyata Sidiq bukan hanya sedang
main air, tapi sedang siap-siap memasukkan kakinya ke kolam renang, eh bak
mandi!
“Dedeee… jangaaaan….!” Aku
berteriak, sambil berlari menghampirinya. Dia menjerit-jerit dan tetap ingin
berenang.
“Dede mau enaaang…. Dede mau
enaaang….!”
Biarpun meronta-ronta, aku tetap
menariknya dan mengajaknya keluar dari kamar mandi. Seluruh pakaiannya telah
basah. Sidiq terus menangis minta berenang. Susah payah aku menjelaskan bahwa
itu bukan kolam renang. Mungkin kami harus ke kolam renang lagi, supaya Sidiq
senang.
Entahlah, berbeda dengan kakaknya
yang membenci air, Sidiqku malah suka air. Mungkin saja kelak ia menjadi perenang
andal. Impianku saat ini membuatkan kolam renang di depan rumah. Yeaah… kolam
ikan saja belum terlaksana, hihihi…..
Mbak Ela blognya banyak bangeeet :D
ReplyDeleteHo oh niih :D
ReplyDelete