Hari pertama bersekolah Agustus 2012, ceria dan semangat |
Belum lama berselang saat anak-anakku bersemangat berangkat ke sekolah pertama mereka. Berebut memakai baju seragam. Berkejaran saling mendahului ke sekolah. Sekarang, Sidiq sudah kukeluarkan dari sekolah karena tak mau sekolah lagi. Toh, umurnya baru 4 tahun. Ismail pun sudah menolak setiap kali kuajak ke sekolah. Aku jadi ingat status beberapa ibu di facebook yang mengeluhkan anak-anaknya yang mogok sekolah. Kini, aku pun mengalami hal yang sama. Repot membujuk anak-anak untuk mau sekolah. Padahal, mereka belum setahun bersekolah. Mengapa?
Kutanyakan kepada Ismail (5 tahun), jawabnya karena sekolahnya kecil. Iya memang sekolahnya hanya menempati ruangan depan rumah kepala sekolah. Maklum, sekolahnya masih darurat. Aku juga ingin menyekolahkan di tempat yang bagus, tapi jauhnyaaa... sementara aku harus membawa tiga orang anak ke mana-mana. Kupikir, sekolah PAUD dan TK belumlah terlalu penting bagi anak-anak. Aku dan suamiku bersepakat menyekolahkan mereka hanya untuk mendidik mereka bersosialisasi dengan teman-temannya. Namun, pendidikan di sekolah sudah melampaui kemampuan anak-anak. Belum setahun duduk di PAUD, Ismail sudah diajari penjumlahan 9 + 8 dan seterusnya. Aku bertanya-tanya, sudahkah anakku sanggup menerima pelajaran itu? Apakah itu tidak terlalu cepat?
Aku ingat dulu temanku begitu bangga menceritakan bahwa anaknya yang baru berusia 3 tahun, diajari Calistung (Baca, Tulis, Hitung). Kalau menulis, Ismail sudah bisa. Diajari tanpa paksaan. Aku memberikannya kertas dan pulpen sejak usia 2,5 tahun dan Ismail melakukannya seperti bermain. Tapi kalau membaca dan menghitung, kuajari dengan santai. Membaca kuajari sambil mendongeng, berhitung pun sambil bermain. Nah, di sekolah ini (PAUD!), gurunya mengajarkan seperti mengajari anak SMA, penuh intimidasi. Entah aku yang berpikiran buruk atau apa, kenyataannya bukan anak-anakku saja yang menolak bersekolah, beberapa anak yang lain juga menunjukkan tanda-tanda mogok sekolah. Ada yang tadinya sudah berani berangkat sendiri, mendadak minta ditunggui di dalam kelas oleh neneknya (karena ibunya bekerja).
Aku teringat mimpi-mimpi burukku saat masih bersekolah (bahkan kini pun masih sering bermimpi buruk), selalu saja melukiskan suasana di dalam kelas, dengan guru yang otoriter, menuntut siswa harus cepat-cepat menguasai materi pelajaran. Ketika aku terbangun, lega rasanya karena aku sudah terlepas dari institusi bernama sekolah. Apakah anak-anakku kini mengalami mimpi buruk seperti yang kualami, sehingga mereka mogok sekolah? Apakah sekolah PAUD dan TK harus begitu menekan? Katanya sih tuntutan dari pihak SD, anak sudah harus bisa baca, nulis, dan ngitung saat masuk SD. Padahal zamanku dulu, aku bahkan tidak sekolah TK dan Calistung saat masuk SD.
Anak-anak tak kan berbohong. Saat mereka menolak sekolah, itu berarti sekolah sudah tidak menyenangkan buat mereka. Padahal, mereka masih kecil, haruskah terampas keasyikannya bermain? Kuingat jawaban Ismail kala kuajak ke sekolah,
"Kakak kan mau main!"
Tegas, tak bisa ditawar.
Maka, kini, aku tak peduli apabila gurunya berkata bahwa Ismail belum bisa ini, itu, bla, bla, bla. Hanya kuingat tujuanku menyekolahkan Ismail supaya dia bersosialisasi dengan teman-temannya. Itu saja. Segala pelajaran yang diajarkan di sekolah, bukan paksaan. Aku tak peduli dengan nilai akademiknya. bahkan, jadwal sekolah yang tiga kali seminggu, sesuka anakku saja melakoninya. Biasanya, anakku hanya dua kali ke sekolah. Ah, biar saja. Aku tak ingin menjadikan sekolah sebagai mimpi buruk bagi anak-anakku.
Mari kita santai saja, Nak.... Nikmati saja.... Kelak Mama akan mengarahkanmu sesuai dengan bakat dan minatmu.
Salam kenal Mba Leyna,
ReplyDeleteSaya pernah mengalami hal yang sama, hampir 2 minggu lamanya anak saya setiap pagi tidak mau berangkat sekolah. Sudah sekolah hampir 1 tahun, tapi baru mogok sekarang, jadi saya cari tau sebabnya dan diskusi dengan gurunya. Saat itu saya memang jadi misuh2 gak karuan, karena setau saya selama ini dia selalu happy di sekolah.
Singkatnya dapatlah sebabnya, anak saya sedih ketika dia tidak dapat memeluk guru karena tidak menghabiskan air minumnya (anak saya memang susaaah sekali minum, maunya air dingin). Itu yang membuat anak kecil itu berpikir kalau gurunya tidak sayang dengannya. Jadi selama 2 minggu tersebut saya mengantarnya setengah jam lebih awal dan menjemputnya setengah jam lebih lama, supaya dia punya private session dengan gurunya, tanpa ada anak lainnya. Ya tujuannya untuk menunjukkan bahwa gurunya tetap sayang dia..Anak-anak memang sensitif. Tapi kalau problemnya akademis, saya berpandangan masa kecil anak adalah masa dia bermain. Jadi mungkin ada baiknya cari sekolah yang materinya tidak berat buat anak-anak :)
Oia, jalan-jalan ke blog saya yuuk mumpung hari Sabtu
Makasih masukannya, Bunda Kiki.
DeleteIya, jawabannya berubah-ubah terus klo ditanya kenapa gak mau sekolah.
Harus diselidiki lagi penyebabnya,
Wah jadi di PAUD udah diajarin calistung toh mba? aku juga galau mendekati thifa usia sekolah. kalo ayahnya kpengen dy ga usah sekolah, belajar kan bisa dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja
ReplyDeleteNiatnya cuma untuk sosialisasi aja, Bunda Rahmi.
DeletePAUD harusnya belum diajari calistung, terlalu 'berat' buat anak seusia bermain. kalau saya pribadi, kalau ibunya sanggup mengajari sendiri ketrampilan buat si anak, mending nggak usah PAUD. :)
ReplyDeleteIya yah, Bun, tapi katanya buat persiapan masuk SD. Masuk SD-nya saja sudah berat.
Delete