"Mama hebat, deh!" kata Sidiq |
Suatu sore, usai membuatkan susu
untuk Sidiq, anak keduaku yang berumur 4 tahun itu menatapku, dalam. Dari
mulutnya terucap kata yang mengejutkan,
“Mama hebat, deh.”
Aku mengerutkan kening. Ada rasa
ge-er menyelinapi hatiku.
“Kenapa Dede bilang Mama hebat?”
tanyaku, membalas tatapan matanya yang romantis.
Sidiq berpikir sejenak sambil
senyum-senyum, lalu….
“Mama buatin Dede susu.”
Ah! Ternyata hanya karena itu.
Betapa sederhananya definisi hebat bagi seorang anak usia 4 tahun. Aku terharu
hingga berkaca-kaca. Hanya karena telah membuatkannya susu, dia menyebutku
hebat. Kukira apa. Seorang temanku yang pernah kuliah di Psikologi menjelaskan
bahwa, bagi seorang anak, arti hebat itu manakala kita melakukan sesuatu yang
memenuhi kebutuhan dasarnya. Aku sudah membuatkan susu untuk Sidiq, dan memang
aku yang paling sering membuatkannya susu, sehingga tertanamlah di benaknya
bahwa aku yang selalu memenuhi kebutuhan dasarnya. Bagi balita, susu adalah
makanan paling berharga dalam hidupnya. Penyambung nyawa. Dan aku-lah yang
paling sering menyediakan makanan berharga itu untuknya (meski belinya pakai
uang ayahnya).
Bila mengingatnya, aku merasa
bahagia telah memilih menjadi ibu rumah tangga total, menemani anak-anakku
sepanjang hari. Tidak punya asisten rumah tangga. Setiap hari kurasakan letih
menjalari tubuhku dan emosi yang kerap naik ke ubun-ubun. Hanya suamiku yang
menyimpan keluhanku. Mengerjakan pekerjaan rumah tangga itu kecil. Sungguh, aku
bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu setengah hari. Yang paling berat
adalah: mengasuh anak-anak. Tiga anak bayi dan balita yang semua keperluan
mereka masih harus diladeni. Sahut-sahutan meminta susu, makan, cebok,
bertengkar, menangis, berteriak-teriak. Kepalaku rasanya ingin pecah. Namun,
semua pengorbananku itu terbalas dengan kalimat-kalimat cinta yang sering
keluar dari mulut mereka tanpa rekayasa.
“Dede sayang Mama….”
“Dede cuma mau sama Mama.”
“Mama cantik, deh.”
“Dede maunya tidul sama Mama….”
Maka, begitu emosinya aku
manakala membaca artikel di sebuah situs wanita yang berjudul: “Me time untuk
ibu bekerja.” Ealaaah… ibu bekerja minta “me time”? Me time, diartikan waktu untuk sendiri, misalnya saja jalan-jalan
sendiri, ke salon, nonton, bersenang-senang, tanpa harus “diganduli” anak-anak.
Ini bukan masalah antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga full. Aku menghargai pilihan setiap ibu, apakah ingin tetap bekerja
atau di rumah. Namun, ketika seorang wanita memutuskan untuk menikah, dia harus
menyadari bahwa kelak waktunya tak akan dikuasainya sendiri. Dia punya suami
dan anak-anak yang harus mendapatkan bagian dari waktunya, dan terutama:
anak-anak.
Anak-anak membutuhkan figure seorang
ibu. Jadi, bila seorang ibu sudah bekerja di luar rumah dan terpisah dari
anak-anak selama 12 jam (bisa lebih), lalu masih minta “me time”, apakah itu
bukan egois, namanya? Lalu, kapan waktu untuk anak-anak? Dengan seorang ibu
memutuskan untuk bekerja, dia sudah mendapatkan “me time”nya. Ya, bagiku, “me
time” adalah saat aku mendapatkan waktu untuk menulis, yang mana itu adalah
pekerjaan sekaligus hobiku. Aku mendapatkan dua kesenangan di sana: materi,
bila tulisanku menghasilkan, dan kesenangan melakukannya. Sebagai ibu rumahan,
aku tak bisa banyak mendapatkan me time.
Tidak bisa setiap hari kudapatkan waktu
untuk sendiri dan melakukan kesenanganku. Anak-anak tak bisa ditebak. Kadang mereka
sudah tidur jam 7 malam, eh tahu-tahu bangun lagi jam 9 malam. Kadang mereka
tidak tidur-tidur. Dan lebih seringnya, aku terlalu capai setelah seharian
mengurus rumah dan anak-anak, sehingga tak bisa melakukan apa-apa.
Sementara itu, seorang ibu
pekerja, otomatis setiap hari mendapatkan “me time”nya. Dan anak-anak-lah yang
dikorbankan waktunya, karena anak-anak nomor dua. Nomor satu, sudah tentu
pekerjaan. Anak-anak dititipkan kepada asisten. Jadi, kalau ibu bekerja masih
ingin me time? Hmm… baiknya, baca
dulu penuturan jujur dari Mak Elisa Koraag, seorang mantan ibu bekerja, di
blognya www.elisakoraag.blogspot.com dengan judul “Akhirnya mereka katakan “Mama is the best!”
Aku sudah membaca tulisan ini
sebelum ada even giveaway yang diadakan Mak Elisa Koraag, sesama member di grup
Emak-Emak Blogger. Waktu itu aku sedang mencari referensi untuk lomba blog yang
disponsori sebuah produk susu dan aku bertemu dengan blog Mak Elisa. Aku belum
pernah bertukar sapa dengannya, tapi aku jadi
mengenalnya melalui tulisan-tulisan di blognya. Seperti biasa saat
blogwalking ke sesama blogger, aku membaca tulisan-tulisannya yang lain dan aku
tertarik untuk membaca artikel tersebut di atas. Hatiku bergetar saat
membacanya. Inilah pengakuan jujur seorang mantan ibu bekerja, yang pernah
larut dalam pekerjaannya dan menomorduakan anak-anak.
“Sejak sebelum menikah hingga mempunyai anak, aku adalah wanita bekerja.
Praktis, waktuku bersama keluarga sangat sedikit. Dalam sebulan, aku melakukan
perjalanan dinas 2-3 kali, dengan rentang waktu 3-10 hari. Pernah di suatu
waktu, bungsuku bertanya, “mengapa hanya mamaku yang tidak pernah muncul di
sekolah?” Urusan sekolah anak-anak, memang papanya anak-anak yang menangani. Ada
sedikit rasa iri. Bukan itu saja. Bahkan saat anak-anak mengucapkan kata
pertama, yang diucapkan adalah Papa. Januari 2011, aku mengambil keputusan
berhenti bekerja.
Ternyata tidak mudah. Perjuanganku
dimulai dari nol. Sebagai ibu, ternyata aku tidak bisa apa-apa. Bagi kedua
anakku, keberadaanku di rumah membuat mereka tidak nyaman. Kedua anakku sangat
tidak mandiri, karena selalu dibantu oleh asisten. Ketika aku menerapkan
aturan, kedua anakku tidak menyukaiku. Tahun 2011, aku anggap sebagai tahun
kebangkitanku sebagai istri dan ibu. Nyaris setiap malam aku berkeluh kesah dan
menangis kepada suamiku. Aku merasa tidak diterima anak-anak dan tidak mengenal
mereka. Pelan-pelan aku berusaha mengenali mereka dan sifat keduanya.
Aku mulai mengenali mereka secara utuh, di saat usia keduanya 11 tahun
dan 8 tahun. Better late than never. Kini, kedua anakku sudah mengatakan: “Mamaku
is the best!” Ucapan itu jauh lebih berharga daripada hadiah apa pun di muka
bumi ini. Ucapan itu merupakan bentuk pengakuan mereka akan keberadaanku. Aku
seorang ibu yang mulanya hanya melahirkan mereka. Kini, aku ibu yang mereka
miliki.”
Sungguh, aku terharu ketika
membaca catatan Mak Elisa itu, sampai harus menahan airmata. Betapa kita—aku,
khususnya—sibuk mencari pengakuan (eksistensi) di luar sana, tapi lupa pada
yang di rumah. Bahwasanya bagi seorang anak, eksistensi seorang ibu adalah
keberadaannya di sisi mereka. Kemampuan seorang ibu melayani kebutuhan dasar
mereka. Bukanlah ibu yang hebat di mata anaknya, yang memiliki karir memukau di
luar sana, lalu mengabaikan anak-anak. Inilah yang membuatku tersinggung, bila
seorang ibu bekerja masih menginginkan “me time.”
Ketika sudah sampai di rumah,
simpan berkas-berkas pekerjaanmu. Sembunyikan gadgetmu. Luangkan waktu untuk
anak-anakmu. Peluk dan cium mereka. Dengarkan cerita mereka. Belajarlah dari kisah
Mak Elisa. Terima kasih, Mak Elisa, sudah berbagi kisah ini. Menguatkan
keteguhanku untuk tetap di rumah, bersama anak-anakku.
Wiiih cool...
ReplyDeleteMamaku workaholic dan dia jd gak kenal anak2nya :(
klo aku maunya sih tetep kerja tp yang supersingkat waktunya (saat anak sekolah misalnya).. no way deh kerja 8-5 :D
Ternyata ini diikutkan dalam kontes Giveaway yah,,sukses yah :)
ReplyDelete