Thursday, 7 March 2013

Beratnya Menjadi Ibu


Apakah sebaiknya anakku dikasih susu formula aja ya, biar aku bisa leluasa ngetik?

Kira-kira begitulah bunyi status facebook salah seorang penulis wanita yang baru memiliki anak pertama berusia 3 bulan. Sebuah pertanyaan yang membuatku tercengang, meski sebenarnya pernah juga tercetus dalam benakku ketika kewajiban memberikan ASI Eksklusif membatasi gerakku dalam melakukan pekerjaan lain, termasuk menulis.


Penulis lain, menuliskan status seperti ini:

“Ayo dong, bobo…. Biar Mama bisa nerusin nulis lagiiiii….”

Bayi yang diberi ASI Eksklusif, memang akan sering menyusu, kurang lebih satu jam sekali. Belum lagi untuk menidurkannya memakan waktu berjam-jam. Otomatis, waktu ibu banyak terpakai  untuk mengurus bayi. Ibu yang bekerja di rumah (terlebih lagi penulis, di mana pekerjaan bukan sekadar profesi tapi juga hobi), harus merelakan banyak waktunya demi memenuhi idealisme memberikan ASI Eksklusif. Tak jarang, aku (yang juga punya bayi usia 3 bulan), harus merelakan waktu menulisku terpotong, bahkan nyaris tidak ada.

Ketika memiliki anak pertama, aku bahkan merelakan pekerjaan menulisku terhenti untuk beberapa waktu. Aku belum bisa membagi waktu antara mengurus bayi dan menulis. Meskipun ide-ide di kepalaku sudah meluap, ingin ditumpahkan dalam barisan kata-kata. Aku hanya menuliskan kisi-kisinya saja di dalam buku diary, berhubung belum punya hape canggih dan laptop. Membayangkan harus menyalakan komputer yang lamban, dan belum menulis apa-apa sudah diganggu dengan tangisan bayi, membuatku selalu mengurungkan niat untuk mengetikkan ide-ideku itu. Ah, malas. Belum-belum sudah dipotong dengan tangisan bayi. Jadi, kubiarkan saja ide itu mengendap sampai aku bisa membagi waktu antara mengurus anak dan menulis.

Seorang gadis yang ingin menikah, harus menyadari bahwa kelak waktunya akan dibagi untuk banyak orang; suami dan anak-anak. Bahkan mungkin sulit menemukan waktu untuk dirinya sendiri. Begitulah, tugas seorang istri dan ibu. Tak bisa berlaku egois lagi, hanya mementingkan kesenangan pribadi. Terlebih memiliki bayi, di mana di bulan-bulan pertama, bayi amat bergantung pada ASI ibunya. Kalau kita tidak punya pemahaman yang benar mengenai ASI dan mengurus bayi, mungkin kita akan ikuti saja kebiasaan-kebiasaan buruk yang dilakukan ibu-ibu lain sebelum kita, misalnya memberi susu formula, padahal persediaan ASI melimpah, memberikan makan sebelum usia 6 bulan, dan memberikan pengasuhannya kepada orang lain.

Namun, pernahkah kita sadari, hal-hal semacam itulah yang menyebabkan Rasulullah bersabda, “surga itu berada di bawah telapak kaki ibu.” Menjadi ibu bukan sekadar mengandung dan melahirkan, lebih dari itu, ia adalah pendidik pertama bagi anak-anak. Berbahagialah para ibu yang diberikan kesempatan untuk mengasuh bayinya. Allah telah memberikannya kepercayaan. 

1 comment:

Terima kasih atas komentarnya. Mohon maaf, komentar SPAM dan mengandung link hidup, akan segera dihapus ^_^